Oleh Taufik Al Mubarak
Bagaimana kita membaca Aceh hari ini? Atau perlukah kita membaca kembali Aceh hari ini? Pentingkah bagi kita merenungkan kembali tentang Aceh hari ini, serta apa pengaruhnya terhadap Aceh masa depan? Lalu, bagaimanakah bentuk Aceh masa depan itu?
Itulah beberapa pertanyaan yang mengusik saya dalam beberapa hari ini. Dan saya yakin, kita—khususnya yang merasa diri rakyat dan bangsa Aceh—perlu membaca kembali Aceh. Sebab, jangan-jangan Aceh sudah jauh dari cita-cita kita di masa lalu. Dan, kita seperti sudah lupa dengan cita-cita itu. Apalagi, kita seperti tak ingat lagi bagaimana Aceh masa depan yang ingin kita bentuk.
Bagi saya, ada dua hal yang membuat kita perlu membaca kembali Aceh. Pertama, Aceh pasca-Gempa dan Tsunami. Kedua, Aceh pasca-MoU Helsinki. Kedua hal itu sudah mengubah perjalanan Aceh sekarang. Gempa/Tsunami mengubah status Aceh dari terisolasi menjadi go-international. Dari daerah yang tak dikenal menjadi terkenal. Sementara MoU Helsinki menciptakan kondisi sosial-politik-ekonomi yang kondusif di Aceh. Aceh bisa menjalankan pemerintahan sendiri.
Tapi, dalam beberapa hal, khususnya melihat kondisi hari ini, MoU lebih terkesan sebagai sebuah kecelakaan sejarah, ketimbang resolusi yang bermartabat. Faktanya dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama, MoU telah menutup pintu untuk kemerdekaan Aceh, yang diikuti dengan pemusnahan senjata GAM. Kedua, MoU merupakan jalan yang mulus bagi integrasi total Aceh ke dalam konstitusi Indonesia. Ketiga, MoU membuat penyelesaian Aceh dipenuhi tanda tanya.
Meski MoU memberi jalan terbentuknya 'self goverment' di Aceh, tapi faktanya Aceh tetap dalam pengontrolan ketat dari pemerintah di Jakarta. Contoh dekat terlihat dari perumusan UU PA yang banyak bertentangan dan tak sejalan dengan amanat MoU Helsinki serta lebih banyak menguntungkan pemerintah pusat. Keempat, MoU telah mereduksi militansi rakyat Aceh. Hal ini terlihat, banyak rakyat Aceh sudah terlena sekarang, dan menjadi bangsa yang tidak kreatif. Sementara banyak mantan pejuang sekarang berasyik masyuk bermain proyek. Jika ini dibiarkan, proyek Aceh masa depan yang pernah digariskan oleh para indatu akan menjadi ilusi sejarah. Mitos.
Padahal, jika kita membuka kembali sejarah Aceh, hampir sepanjang perjalanan sejarah bangsa Aceh dihabiskan dalam perang dan konflik. Namun, identitas ke-Acehan tidak pernah luntur apalagi pudar. Dulu, saat Aceh dibalut dalam situasi Darurat Militer (DM), kita berfikir bahwa itulah isyarat kematian nasionalisme Aceh, yang dibuktikan dengan ikrar setia NKRI. Tetapi, rekayasa Tuhan mengalahkan segala-galanya.
Karena itu, kita berharap identitas ke-Acehan tetap terjaga. Jangan kotori ia untuk kepentingan politik sesaat apalagi hanya karena faktor kebencian. Lebih jelasnya saya ingin katakan bahwa, penggunaan bendera GAM sebagai simbol partai GAM juga dapat dibaca sebagai kecelakaan sejarah. Jika pun saya dianggap pengkhianat, tapi saya harus katakan, itu sama sekali tidak patut. Bendera GAM, seperti sebut Sofyan Dawood adalah milik rakyat Aceh. Ia bukan lagi milik kelompok.
Banyak rakyat Aceh syahid demi memperjuangkan bendera itu berkibar di Aceh. Mereka yang syahid itu sama sekali tak berharap bahwa pengorbanan mereka sekedar menjadikan bendera itu sebagai simbol partai. Jika pun kita belum mampu mewujudkan harapan dan impian mereka, setidaknya kita perlu menjaga amanah itu. Bendera itu terlalu mahal harganya untuk sekedar dijadikan bendera partai.
Jika itu tetap dipaksakan, kita telah kehilangan sejarah. Perjuangan kita benar-benar memasuki terminal terakhir. Dan, perjuangan kita akan kembali dimulai dari nol. Kita takutkan, tak ada lagi yang mau berkorban untuk bendera itu, karena bukan lagi sakral, bukan lagi simbol perlawanan, melainkan bendera partai politik. Ia kehilangan tuahnya sebagai marwah bangsa Aceh.
Tak hanya itu, akan banyak roh-roh pejuang yang menjerit sedih saat kampanye bendera yang dulunya mereka puja diinjak-injak di jalan, di lapangan kampanye dan disinari mentari sampai pudar karena ditempel di tembok, tiang listrik dan juga di pagar beton. Ia pasti kehilangan makna.
Saya tak tahu, apakah Wali Neugara yang menghidupkan kembali budaya dan roh resistensi rakyat Aceh tahu lakon politik yang sedang berjalan di Aceh. Saya pribadi ragu, jangan-jangan Wali Neugara sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi di Aceh. Apalagi, jika informasi yang disampaikan ke Wali tak lengkap dan banyak bumbu AWS-nya. Asal Wali Senang. Bahkan, banyak informasi yang ditutupi dan tak sampai ke telinga Wali.
Jika bendera itu tetap dipaksakan menjadi bendera partai, saya ingin bertanya satu hal, apakah Wali memberi restu terhadap penggunakan bendera GAM sebagai simbol partai GAM. (Partai GAM bukan akronim Gerakan Aceh Merdeka). Saya takutkan, ada penyusupan liar di kalangan tim perumus partai GAM. Jangan-jangan ada anasir lain yang merecoki fikiran para tim perumus partai bikinan GAM yang mencoba menghapus ideologi yang pernah diajarkan oleh Wali.
Lewat mimbar ini, saya ingin ingatkan bahwa jika kita gagal mengembalikan nasionalisme Aceh yang hampir pudar pasca-MoU Helsinki percayalah kita tak bisa mendesain nasionalisme Aceh lagi dalam waktu sekejab. Karena, nasionalisme bukanlah produk asal jadi, apalagi produk yang lahir karena paksaan. Karena saya selalu percaya, bahwa nasionalisme adalah produk final sejarah: terutama sejarah perlawanan.
Karena itu, sebagai produk sejarah, nasionalisme Aceh bukan lahir pasca reformasi 1998 lalu. Bukan pula pasca Wali Neugara mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada 1976. Nasionalisme Aceh sudah lahir jauh sebelum generasi yang memperjuangkannya lahir. Nasionalisme Aceh sudah lahir sebelum kita lahir! Generasi sekarang hanya meneruskannya apa yang telah digariskan sejarah. Sedangkan tahun 1998-1999 (saat gema kemerdekaan dan referendum menghipnotis rakyat Aceh) hanya mempertegas garis pemisah antara nasionalisme Indonesia dengan nasionalisme Aceh. Tahun 1998 hanya mempertegas gejolak kekecewaan terhadap nasionalisme Indonesia yang terlalu dipaksakan.
Pertanyaannya, jika kita sangat nasionalis, senangkah kita terhadap pemaksaan bendera GAM sebagai simbol partai GAM (tanpa akronim)? Apalagi, partai itu nantinya tunduk di bawah hukum RI yang tentu saja menghilangkan makna bendera itu sendiri. Atau, jangan-jangan proses ideologisasi Nasionalisme Aceh belum tuntas. Hal itu mungkin karena: orang hanya berpura-pura—padahal seperti ditulis Wali Negara Aceh Dr Hasan di Tiro dalam Demokrasi untuk Indonesia—dalam perkara nasionalisme dan kebangsaan orang tidak mungkin berpura-pura atau menipu dirinya sendiri. Bangsa Amerika tidak mungkin berpura-pura menjadi bangsa Indonesia, bangsa Korea tidak mungkin berpura-pura menjadi bangsa Arab, begitu juga bangsa Arab tidak bisa berpura-pura menjadi bangsa Arya dan lain-lain.
Seseorang menjadi bangsa Aceh bukan faktor kebetulan atau karena keinginannya. Apalagi klaim sepihak. Kebangsaan seseorang tidak bisa direkayasa. Hal ini berbeda dengan negara/kewarganegaraan. Kita bisa mengganti kewarganegeraan setiap atau jika kita sudah bosan dan benci pada negara induk. Kita bisa menjadi warga negara lain. Hari ini menjadi warga negara Indonesia, pada lain waktu kita bisa menggantinya. Tetapi dalam hal kebangsaan tidak bisa segampang itu. Nasionalisme/kebangsaan adalah produk final dari sejarah!
Karena itu, saya berkesimpulan kita perlu membaca lagi Aceh. Sebab, jangan-jangan kita sudah berbeda sudut pandang sekarang dalam membaca Aceh. Terakhir saya ingin mengutip lagi pernyataan Wali yang sering ditulis dalam bukunya: ”Hai aneuk...tadong beukong, beutuglong lagee geupula.” Entahlah!
Bagi saya, ada dua hal yang membuat kita perlu membaca kembali Aceh. Pertama, Aceh pasca-Gempa dan Tsunami. Kedua, Aceh pasca-MoU Helsinki. Kedua hal itu sudah mengubah perjalanan Aceh sekarang. Gempa/Tsunami mengubah status Aceh dari terisolasi menjadi go-international. Dari daerah yang tak dikenal menjadi terkenal. Sementara MoU Helsinki menciptakan kondisi sosial-politik-ekonomi yang kondusif di Aceh. Aceh bisa menjalankan pemerintahan sendiri.
Tapi, dalam beberapa hal, khususnya melihat kondisi hari ini, MoU lebih terkesan sebagai sebuah kecelakaan sejarah, ketimbang resolusi yang bermartabat. Faktanya dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama, MoU telah menutup pintu untuk kemerdekaan Aceh, yang diikuti dengan pemusnahan senjata GAM. Kedua, MoU merupakan jalan yang mulus bagi integrasi total Aceh ke dalam konstitusi Indonesia. Ketiga, MoU membuat penyelesaian Aceh dipenuhi tanda tanya.
Meski MoU memberi jalan terbentuknya 'self goverment' di Aceh, tapi faktanya Aceh tetap dalam pengontrolan ketat dari pemerintah di Jakarta. Contoh dekat terlihat dari perumusan UU PA yang banyak bertentangan dan tak sejalan dengan amanat MoU Helsinki serta lebih banyak menguntungkan pemerintah pusat. Keempat, MoU telah mereduksi militansi rakyat Aceh. Hal ini terlihat, banyak rakyat Aceh sudah terlena sekarang, dan menjadi bangsa yang tidak kreatif. Sementara banyak mantan pejuang sekarang berasyik masyuk bermain proyek. Jika ini dibiarkan, proyek Aceh masa depan yang pernah digariskan oleh para indatu akan menjadi ilusi sejarah. Mitos.
Padahal, jika kita membuka kembali sejarah Aceh, hampir sepanjang perjalanan sejarah bangsa Aceh dihabiskan dalam perang dan konflik. Namun, identitas ke-Acehan tidak pernah luntur apalagi pudar. Dulu, saat Aceh dibalut dalam situasi Darurat Militer (DM), kita berfikir bahwa itulah isyarat kematian nasionalisme Aceh, yang dibuktikan dengan ikrar setia NKRI. Tetapi, rekayasa Tuhan mengalahkan segala-galanya.
Karena itu, kita berharap identitas ke-Acehan tetap terjaga. Jangan kotori ia untuk kepentingan politik sesaat apalagi hanya karena faktor kebencian. Lebih jelasnya saya ingin katakan bahwa, penggunaan bendera GAM sebagai simbol partai GAM juga dapat dibaca sebagai kecelakaan sejarah. Jika pun saya dianggap pengkhianat, tapi saya harus katakan, itu sama sekali tidak patut. Bendera GAM, seperti sebut Sofyan Dawood adalah milik rakyat Aceh. Ia bukan lagi milik kelompok.
Banyak rakyat Aceh syahid demi memperjuangkan bendera itu berkibar di Aceh. Mereka yang syahid itu sama sekali tak berharap bahwa pengorbanan mereka sekedar menjadikan bendera itu sebagai simbol partai. Jika pun kita belum mampu mewujudkan harapan dan impian mereka, setidaknya kita perlu menjaga amanah itu. Bendera itu terlalu mahal harganya untuk sekedar dijadikan bendera partai.
Jika itu tetap dipaksakan, kita telah kehilangan sejarah. Perjuangan kita benar-benar memasuki terminal terakhir. Dan, perjuangan kita akan kembali dimulai dari nol. Kita takutkan, tak ada lagi yang mau berkorban untuk bendera itu, karena bukan lagi sakral, bukan lagi simbol perlawanan, melainkan bendera partai politik. Ia kehilangan tuahnya sebagai marwah bangsa Aceh.
Tak hanya itu, akan banyak roh-roh pejuang yang menjerit sedih saat kampanye bendera yang dulunya mereka puja diinjak-injak di jalan, di lapangan kampanye dan disinari mentari sampai pudar karena ditempel di tembok, tiang listrik dan juga di pagar beton. Ia pasti kehilangan makna.
Saya tak tahu, apakah Wali Neugara yang menghidupkan kembali budaya dan roh resistensi rakyat Aceh tahu lakon politik yang sedang berjalan di Aceh. Saya pribadi ragu, jangan-jangan Wali Neugara sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi di Aceh. Apalagi, jika informasi yang disampaikan ke Wali tak lengkap dan banyak bumbu AWS-nya. Asal Wali Senang. Bahkan, banyak informasi yang ditutupi dan tak sampai ke telinga Wali.
Jika bendera itu tetap dipaksakan menjadi bendera partai, saya ingin bertanya satu hal, apakah Wali memberi restu terhadap penggunakan bendera GAM sebagai simbol partai GAM. (Partai GAM bukan akronim Gerakan Aceh Merdeka). Saya takutkan, ada penyusupan liar di kalangan tim perumus partai GAM. Jangan-jangan ada anasir lain yang merecoki fikiran para tim perumus partai bikinan GAM yang mencoba menghapus ideologi yang pernah diajarkan oleh Wali.
Lewat mimbar ini, saya ingin ingatkan bahwa jika kita gagal mengembalikan nasionalisme Aceh yang hampir pudar pasca-MoU Helsinki percayalah kita tak bisa mendesain nasionalisme Aceh lagi dalam waktu sekejab. Karena, nasionalisme bukanlah produk asal jadi, apalagi produk yang lahir karena paksaan. Karena saya selalu percaya, bahwa nasionalisme adalah produk final sejarah: terutama sejarah perlawanan.
Karena itu, sebagai produk sejarah, nasionalisme Aceh bukan lahir pasca reformasi 1998 lalu. Bukan pula pasca Wali Neugara mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada 1976. Nasionalisme Aceh sudah lahir jauh sebelum generasi yang memperjuangkannya lahir. Nasionalisme Aceh sudah lahir sebelum kita lahir! Generasi sekarang hanya meneruskannya apa yang telah digariskan sejarah. Sedangkan tahun 1998-1999 (saat gema kemerdekaan dan referendum menghipnotis rakyat Aceh) hanya mempertegas garis pemisah antara nasionalisme Indonesia dengan nasionalisme Aceh. Tahun 1998 hanya mempertegas gejolak kekecewaan terhadap nasionalisme Indonesia yang terlalu dipaksakan.
Pertanyaannya, jika kita sangat nasionalis, senangkah kita terhadap pemaksaan bendera GAM sebagai simbol partai GAM (tanpa akronim)? Apalagi, partai itu nantinya tunduk di bawah hukum RI yang tentu saja menghilangkan makna bendera itu sendiri. Atau, jangan-jangan proses ideologisasi Nasionalisme Aceh belum tuntas. Hal itu mungkin karena: orang hanya berpura-pura—padahal seperti ditulis Wali Negara Aceh Dr Hasan di Tiro dalam Demokrasi untuk Indonesia—dalam perkara nasionalisme dan kebangsaan orang tidak mungkin berpura-pura atau menipu dirinya sendiri. Bangsa Amerika tidak mungkin berpura-pura menjadi bangsa Indonesia, bangsa Korea tidak mungkin berpura-pura menjadi bangsa Arab, begitu juga bangsa Arab tidak bisa berpura-pura menjadi bangsa Arya dan lain-lain.
Seseorang menjadi bangsa Aceh bukan faktor kebetulan atau karena keinginannya. Apalagi klaim sepihak. Kebangsaan seseorang tidak bisa direkayasa. Hal ini berbeda dengan negara/kewarganegaraan. Kita bisa mengganti kewarganegeraan setiap atau jika kita sudah bosan dan benci pada negara induk. Kita bisa menjadi warga negara lain. Hari ini menjadi warga negara Indonesia, pada lain waktu kita bisa menggantinya. Tetapi dalam hal kebangsaan tidak bisa segampang itu. Nasionalisme/kebangsaan adalah produk final dari sejarah!
Karena itu, saya berkesimpulan kita perlu membaca lagi Aceh. Sebab, jangan-jangan kita sudah berbeda sudut pandang sekarang dalam membaca Aceh. Terakhir saya ingin mengutip lagi pernyataan Wali yang sering ditulis dalam bukunya: ”Hai aneuk...tadong beukong, beutuglong lagee geupula.” Entahlah!
Tags:
editorial