Membumikan Perdamaian di Aceh

Pertemuan Helsinki II antara Pemerintah RI dan GAM kembali digelar di Helsinki, Finlandia (21/02/05). Pertemuan ini merupakan pembicaraan lanjutan setelah pada perundingan sebelumnya tidak berhasil merumuskan suatu komitmen untuk perdamaian permanen di Aceh. Seperti sebelumnya, perundingan ini kembali difasilitasi oleh CMI yang diketuai mantan Presiden Finlandi, Martti Ahtisaari.

Kebijakan yang ditempuh kedua belah pihak ini cukup menggembirakan, mengingat penderitaan rakyat Aceh sudah di ambang batas. Mereka ingin segera menikmati kebebasan dan perdamaian yang selama ini absen dalam kehidupan mereka. Namun, kita juga pantas pesimis dan harap-harap cemas, karena seperti pengalaman sebelumnya, perundingan ini juga tak begitu jelas membawa harapan bagi perdamaian di Aceh.

Kita hanya berharap agar perundingan ini tidak menjadi arena untuk mempertegas dan mempertebal bibit permusuhan antara RI dan GAM.

Perdamaian yang Tertunda
Perundingan antara RI dan GAM sudah lama digagas, tetapi hasilnya tak selalu menggembirakan. Perundingan-perundingan terus digelar, tapi tak pernah secara tepat merumuskan apa yang sebenarnya dirundingkan. Semuanya serba kabur.

Sejak Mei 2000 perundingan sudah mulai digelar dalam bentuk “Joint Understanding for Humanitarian Pause for Aceh (Jeda Kemanusiaan). Intinya agar terbuka akses aman bagi mengalirnya bantuan kemanusiaan untuk rakyat Aceh. Hasil ini cukup positif sebagai sebuah langkah penting membangun kepercayaan (confidence building measures) sebagai langkah bagi pembicaraan selanjutnya demi mewujudkan perdamaian.

Tapi yang harus dicatat, bahwa hasil itu tak cukup berhasil menuntun masyarakat menuju kedamaian. Apalagi, akses bantuan bagi korban juga sangat terbatas, dan faktor keamanan menjadi salah satu lambatnya bantuan tersebut. Tercatat, komitmen perdamaian ini hanya efektif pada awal-awalnya saja. Setelah itu birahi perang yang lebih ditonjolkan.

Pasca 2000, ada beberapa perundingan lagi digelar, tetapi hanya sebagai sebuah seremonial untuk menunjukkan bahwa kedua belah pihak serius menyelesaikan konflik Aceh. Nyatanya masyarakat tak pernah tahu hasil kongkrit (kenyataan di lapangan) dari pembicaraan-pembicaraan itu. Yang ada hanya suasana Aceh makin hari makin mencekam. Suasana tak menentu. Kadang-kadang seperti tak ada konflik, namun tiba-tiba terjadi berbagai kejadian, dan bom meledak di mana-mana. Kondisinya mirip seperti pernah direkam sebelum Jepang mendarat di Aceh, “tidak aman, namun tidak juga rusuh.”

Akhir 2002, lewat serangkaian upaya dan tekanan dari berbagai pihak, dicapailah sebuah keputusan penting antara RI dan GAM untuk menghentikan permusuhan di Aceh dalam bentuk Cessation of Hostilities Agreement (Perjanjian Penghentian Permusuhan—CoHA). Terbangun suatu komitmen antara kedua belah pihak untuk menempuh cara-cara damai dalam mewujudkan cita-cita politik masing-masing sembari memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.

Saat itu, angka kekerasan sangat menurun. Bahkan, RI dan GAM terlihat sangat mesra. Tetapi, CoHA justru melupakan faktor masyarakat dan rakyat sipil lainnya. Kesepakatan itu lebih mirip kesepakatan antara RI dan GAM untuk tidak saling menyerang atau melakukan pelanggaran atas masing-masing pihak.

Memang, dalam CoHA berhasil dirumuskan sebuah point yang memberikan kepada masyarakat sipil (civil society) untuk mengekpresikan aspirasinya secara demokratis (pasal 2 ayat f). Namun, kenyataan di lapangan sering timbul pelanggaran atas penggunaan atas hak ini. Terjadi tumpang tindih soal hukum, seperti apakah masyarakat sipil yang hendak menyampaikan aspirasinya harus merujuk kepada UU No 9 tahun 1998, atau seharusnya regulasi yang digunakan adalah CoHA? Sering muncul perdebatan di sini, antara pihak polisi dan masyarakat sipil.

Selain itu, banyak juga masyarakat yang menjadi korban, tetapi seperti tak diperdulikan. Pihak TNI/Polri—karena terikat pada perjanjian—dalam melakukan penangkapan mengunakan faktor kriminal. Jika ada masyarakat yang kena tembak diklaim sebagai pelaku kriminal, bukan GAM. Hal-hal seperti ini yang sering terjadi selama penerapan CoHA.

Terlepas dari itu, CoHA berhasil mengembalikan sedikit perdamaian di Aceh, walau hanya beberapa bulan saja. Selebihnya perang wacana di media, saling tuding sebagai pihak yang melanggar kesepakatan sampai berakhir pada penerapan status Darurat Militer di Aceh, yang dianggap sebagai jalan penyelesaian oleh pemerintah RI.

Penyelesaian Perspektif Korban
Saya melihat dari pengalaman sebelumnya bahwa faktor masyarakat jangan sampai diabaikan dalam pertemuan ini. Memang, prinsip-prinsip dasar kedua belah pihak harus tetap dipegang karena itu ciri khas masing-masing pihak. Tetapi, titik temu keduanya justru terletak pada keinginan untuk memberikan peluang kepada rakyat Aceh menikmati perdamaian. Jika prinsip ini mempertemukan ide keduanya, penyelesaian Aceh bisa ditempuh melalui perspektif korban.

Saya kira, pihak GAM sudah menunjukkan itikat ke arah itu, dengan menyerahkan masalah otonomi kepada rakyat Aceh. Menurut mereka, masalah otonomi tergantung sikap rakyat Aceh. Apakah mereka akan menerima atau menolaknya. Untuk itu harus diuji lewat sebagai forum seperti all inclusive dialogue (AID), atau bisa jadi seperti musyawarah masyarakat yang sifatnya independen bebas dari berbagai anasir politik dan ideologi yang ada. Di situlah kemudian, teruji, apakah rakyat Aceh menerima otonomi atau menolaknya.

Itikat seperti itu, seharusnya juga ditunjukkan oleh pemerintah. Bukan mendekti agenda perundingan dan menekan pihak GAM untuk menerima otonomi khusus seperti selama ini terjadi. Karena, hal itu tidak memberikan peluang sedikitpun untuk terbuka kran perdamaian. Sebab, logika perang dan keinginan menghancurkan lawan yang lebih mendominasi pembicaraan ketimbang keinginan membangun komitmen untuk perdamaian.

Karena perundingan RI dan GAM yang sedang digelar ini tidak akan memiliki makna apa-apa jika tidak mengikutsertakan aspirasi masyarakat untuk dirundingkan. Apapun yang disepakati haruslah berpijak dari persepktif korban (rakyat Aceh). Sementara, menyangkut konflik bersenjata, keduanya harus merumuskan mekanisme gencatan senjata. Mekanisme itu harus bisa mengikat kedua belah pihak, dalam arti mampu mengontrol penggunaan kekuatan senjata masing-masing.

Dua hal ini penting untuk dicatat. Pertama, penyelesaian politik, mau tidak mau aspirasi rakyat Aceh harus diadopsi oleh kedua belah pihak seperti keinginan hidup dalam damai, hak menentukan nasib sendiri dan lain-lain. Tidak bisa berpegang pada prinspip para pihak. Seperti diketahui, dalam masyarakat Aceh—diakui atau tidak—punya sikap politik sendiri dalam hal masalah Aceh. Katakanlah, ada yang mendukung NKRI dan tidak sedikit pula yang ingin merdeka. Prinsip seperti ini harus dirundingkan. Di sini nantinya akan ditemukan batas kompromi antar kedua belah pihak.

Sementara menyangkut penghentian permusuhan, harus benar-benar dirumuskan model gencatan senjata. Tidak boleh ada pihak yang keberatan setelah perjanjian ditanda tangani. Semua harus patuh. Untuk itu, dibutuhkan mediator yang akan memantau jalannya hasil kesepakatan. Jika tidak keberatan, keduanya harus ikhlas menerima pasukan penjaga perdamaian untuk memastikan kedua belah pihak tidak melanggar butir-butir kesepakatan. Hal ini penting, karena tanpa mediator/pasukan penjaga perdamaian, sulit untuk berharap keduanya tidak akan melanggar hasil kesepakatan.

Saya kira jika keduanya sepakat dengan hal ini, perundingan ini tidak akan menjadi sebuah basa-basi politik. Tapi langsung menyentuh ke pokok persoalannya. Asalkan faktor korban (rakyat Aceh) ikut dijadikan topik pembahasan dalam perundingan. Jika tidak, maka kedua belah pihak yang berunding di Helsinki hanya datang untuk menunda perdamaian yang mulai ada pascabencana Gempa dan Tsunami!

Post a Comment

Previous Post Next Post