Penangkapan Hasan Tiro dan Pemulihan Aceh

Saya mengutip Tajuk Rencana Sinar Harapan, Penangkapan Hasan Tiro dan Pemulihan Aceh (17/06), karena masalah ini sedang menghangat terkait penangkapan tiga petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh Kejaksaan Swedia, Selasa (15/06). Muncul anggapan, bahwa penangkapan para petinggi GAM ini bakal memudahkan penyelesaian konflik di Aceh, bahwa rantai komando gerakan yang dikendalikan di Swedia itu terputus sehingga mempengaruhi psikologis pejuang GAM di lapangan.

Pemerintah RI meyakini, untuk menghentikan gerakan GAM di Aceh, mau tidak mau, sistem dan pengendali komando di luar negeri itu harus diputuskan terlebih dulu. Tindakan ini, sudah dilakukan pemerintah sejak mengumumkan status Darurat Militer di Aceh pada Mei tahun lalu. Kekuatan militer dikerahkan ke Aceh dalam jumlah terbesar (konon terbesar setelah invasi ke Timor Timur) untuk menghancurkan pasukan GAM, yang dalam perkiraan pemerintah hanya 5000 orang itu. Sementara, untuk menghentikan tokoh-tokoh GAM di luar negeri, pemerintah meningkatkan lobi dan diplomasi politik, menjerat tokoh-tokoh GAM dengan tuduhan melakukan teror di Aceh. Pemerintah berharap mata rantai komando GAM terputus. Dengan begitu, GAM bisa dilumpuhkan baik kekuatan militernya maupun kekuatan diplomasinya (GAM politik).

Pertanyaan yang mungkin muncul sekarang adalah, apakah penangkapan tokoh-tokoh GAM dengan sendirinya akan menghentikan perlawanan GAM di Aceh? Selain itu, apakah penangkapan itu, juga berarti bagian dari penyelesaian konflik Aceh?

***
Harus diakui, proklamator GAM Tgk Hasan Tiro merupakan tokoh yang kharismatik dalam struktur GAM. Cucu pahlawan Aceh, Tgk Chik di Tiro ini, mendapatkan tempat istimewa dalam hati para pejuang GAM di Aceh dan juga di luar negeri. Sejak memproklamirkan GAM 4 Desember 27 tahun lalu, Hasan Tiro masih mengendalikan GAM dari sebuah kota kecil di Swedia sampai sekarang. Penangkapan terhadap dirinya, dipandang mampu mempengaruhi pergerakan GAM di Aceh. Setidaknya, logika demikian yang digunakan pemerintah.

Tapi, pemerintah lupa, ada sebuah tradisi dalam masyarakat Aceh yang berlaku secara turun temurun, bahwa seorang pemimpin dan panglima perang itu bukan posisi permanen. Setiap saat bisa digantikan oleh orang lain, bila pemimpin atau panglima itu tertembak, tertangkap atau syahid (meninggal). Dalam perang melawan Belanda, ketika Teuku Umar meninggal, dengan cepat digantikan oleh isterinya, Cut Nyak Dhien. Begitu juga, ketika suami Cut Meutia meninggal, langsung digantikanya oleh dirinya. Tradisi pergantian pemimpin dan panglima perang di Aceh tidak mengenal sistem formalitas, tak harus ada upacara besar-besaran dan segala tetek bengeknya.

Pergantian panglima perang itu, sering berlangsung dalam perang. Seseorang yang dianggap mampu dan dituakan, dia yang dipercaya sebagai panglima. Selain itu, dalam sejarah perang melawan Belanda dan Jepang, banyak perlawanan sporadis yang dilakukan pejuang Aceh tanpa komando seorang panglima. Hal ini dikarenakan, di Aceh tidak begitu fanatik menganut paham paternalistik. Tanpa seorang panglima pun, perang bisa terjadi di Aceh.

Tradisi itu diwariskan secara turun temurun. Ketika Panglima GAM, Abdullah Syafie meninggalkan dalam sebuah kontak senjata dengan pasukan TNI di Pidie (23 Januari 2001), tidak sampai satu hari sudah ada penggantinya, Tgk Muzakkir Manaf, yang sampai saat ini masih memimpin Tentara Neugara Aceh (TNA-sebutan untuk pasukan GAM). Banyak juga panglima-panglima wilayah (setingkat Kodam) yang syahid digantikan secara cepat oleh wakil atau orang yang dianggap cakap dalam taktik perang.

Walaupun demikian, sosok Hasan Tiro masih memegang peran dominan dalam gerakan yang menuntut kemerdekaan untuk Aceh ini. Tetapi belakangan ini, karena pertimbangan faktor kesehatan, tugas-tugas yang dulu dilakukannya sudah banyak yang dilakukan oleh Perdana Menteri Malik Mahmud, yang juga ditangkap oleh kejaksaan Swedia bersama Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri). Sementara Hasan Tiro tidak ditahan karena faktor kesehatan, tetapi aktivitasnya tetap di awasi. Untuk sementara pengendali GAM itu berada dalam tahanan pihak kejaksaan Swedia.

Penangkapan tokoh-tokoh penting GAM ini, apakah membawa dampak terhadap penyelesaian konflik Aceh? Sulit untuk dijawab. Dalam berbagai wawancara dengan media, banyak juru bicara GAM di Aceh, ketika disinggung masalah politik (perundingan, sikap politik GAM, dll) selalu menjawab singkat, “Kami di Aceh hanya mengurusi masalah perang, kalau masalah politik itu urusan Wali Negara di luar negeri.” Berarti, dalam struktur GAM, sudah ada pembagian wewenang masing-masing, dengan sistem koordinasi. Dalam urusan perang, secara otomatis menjadi wewenang panglima TNA di Aceh dalam hal ini Muzakkir Manaf. Sementara urusan politik dan luar negeri, menjadi wewenang Perdana Menteri.

Penangkapan tokoh GAM, dengan demikian, hanya efektif menghentikan kampanye dan diplomasi politik orang GAM di luar negeri, tetapi tidak banyak berpengaruh ke lapangan. Himbauan yang disampaikan oleh Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, agar pasukan GAM menyerahkan diri tidak banyak memberi hasil. Pernyataan Ishak Daud sebagaiman dilansir Sinar Harapan (17/06), “Perjuangan membebaskan Aceh hingga lepas dari kolonial Indonesia tetap berlanjut” seakan membuyarkan semua harapa agar orang GAM menyerah.

Yang harus digaris bawahi, selain Swedia, banyak juga tokoh GAM yang bermukim di negara lain. Mereka-mereka ini juga melakukan kampanye dan lobi di berbagai negara untuk mendukung kemerdekaan dan penyelesaian Aceh dengan jalan damai dan dialogis. Berarti, penangkapan ini tidak memberikan pengaruh apa pun terhadap gerakan ini. Selain itu, penangkapan ini hanyalah proses hukum biasa, dan peluang tokoh-tokoh ini untuk bebas juga besar. (Penulis menerima sms dari seorang kawan di luar negeri bahwa keduanya (Malek Mahmud dan Zaini Abdullah) sudah dibebaskan Jum’at (18/06) malam)

Masalahnya kemudian, jika para tokoh GAM ini dituduh melakukan tindakan terorisme, juga akan menyulitkan RI sendiri. Sejauh ini, GAM belum dimasukkan dalam jaringan terorisme internasional. Selain itu, penangkapan ini justru membuka kampanye politik GAM secara meluas ke luar negeri. Terbuka peluang untuk mengungkapkan tindakan brutal TNI di Aceh. Tragedi kemanusiaan yang menewaskan ribuan rakyat sipil di Aceh, baik masa DOM, pasca DOM maupun pada saat pemberlakuan Darurat Militer menjadi bahan kampanye yang menyulitkan Indonesia. Data-data korban ini banyak beredar di kalangan orang GAM di luar negeri. Artinya, penangkapan (bahkan jika sampai digelar sidang pengadilan) tokoh-tokoh GAM ini akan menjadi media kampanye yang efektif untuk men-demoralisasikan pemerintah Indonesia di luar negeri.

Bukan hanya itu, mereka juga akan mengungkapkan kebusukan-kebusukan pemerintah Indonesia seperti, penarikan diri RI secara sepihak terhadap proses CoHA, penangkapan juru runding GAM dan tindakan inkonsistensi lain-lain yang diperlihatkan selama perundingan berlangsung. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia semuanya merupakan langkah mundur. Sebelumnya, mau mengadakan proses dialog dengan GAM, dalam pengertian sudah mengakui GAM sebagai mitra dialog untuk mencari solusi penyelesaian Konflik Aceh, tetapi kenapa tiba-tiba menjadi berubah sikap. Mitra dialog ditangkapi dan sampai pada menggelar perang. Bukankah ini sikap inkonsistensi Indonesia untuk menyelesaikan Aceh dengan cara-cara damai.

***
Mungkin, menarik untuk menjelaskan sebuah sikap anak-anak korban DOM, baik yang bergabung dengan GAM maupun yang ada dalam gerakan mahasiswa (aktivis), “bahwa jikalau Tgk Hasan Tiro dan Muhammad Nazar (Ketua SIRA) menerima otonomi, kami tetap akan memperjuangkan kemerdekaan untuk Aceh.” Ini berarti, tuntutan kemerdekaan sekarang bukan lagi monopoli orang-orang GAM, tetapi sudah menjadi sikap final sebagian besar rakyat Aceh. Jika seandainya kita sempat mengunjungi kampung-kampung di Aceh (kebetulan penulis pernah beberapa kali mengunjungi kampung-kampung di Aceh selama CoHA), sangat terasa jika rakyat Aceh mengimpikan merdeka. Sangat sulit untuk menarik kembali jiwa mereka dalam NKRI. Apalagi, banyak kebijakan pemerintah yang merugikan dan menyakiti mereka, akan semakin menjauhkan mereka dari NKRI. Solusi militer diakui atau tidak semakin menjauhkan rakyat Aceh dari saudara-saudaranya di Indonesia.

Untuk itulah, lewat tulisan ini, penulis menyarankan kepada pemerintah untuk menghentikan berbagai pendekatan militeristik yang sangat menyiksa rakyat Aceh. Hargailah sikap dan keinginan rakyat Aceh untuk hidup dalam suasana damai. Sudah cukup rasanya pemerintah merasa ‘sok tahu' berbagai persoalan yang terjadi di Aceh. Toh, pada akhirnya pemerintah sama sekali tidak paham masalah Aceh.

Padahal, banyak cara menyelesaikan konflik Aceh, bukan semata-mata pendekatan militer (kekerasan). Belanda saja, ketika tidak mampu lagi menghadapi kuatnya perlawanan pejuang Aceh, mau menggunakan pendekatan kultural untuk memahami filosofi rakyat Aceh dengan mengirim pakar Timur Tengah Snouk Hurgranje, untuk mendalami adat dan budaya Aceh. Apakah pemerintah Indonesia tidak mampu untuk lebih baik dari Belanda? Jika Belanda memahami budaya dan adat serta filosofi rakyat Aceh untuk kepentingan kolonialisasi (menjajah) dan menaklukkan, maka pemerintah perlu memahami adat dan budaya Aceh bukan untuk menaklukkan tetapi untuk menyelesaikan Aceh secara komprehensif. Yaitu, menyakinkan rakyat Aceh bahwa Indonesia adalah negara sekaligus bangsa kita. Menyakinkan rakyat Aceh, bahwa Indonesia adalah bangsa beradab! Mampukah pemerintah melakuka n itu? Kita tunggu saja pada presiden dan pemerintah mendatang!

Penulis adalah Pemerhati masalah Aceh, peneliti pada Human Rights Institute (HRI) Jakarta

Post a Comment

Previous Post Next Post