Subuh Berdarah

Zaman memang berubah. Tapi tak banyak yang berubah dari negeriku. Suasananya masih seperti dulu ketika aku masih bersekolah di sekolah dasar: Mencekam dan sunyi. Tapi saat itu, aku sama sekali tak tahu kondisi negeriku: Serba kabur dan tertutup. Hanya yang sempat kudengar tentang misteri Rumoh Geudong, sebuah rumah tua peninggalan Belanda di tepi sawah di dekat Jalan Raya Medan-Banda Aceh. Dari bisik-bisik tetangga kutangkap info samar-samar tapi pasti: setiap warga yang dibawa ke sana tak pernah kembali! Rumah itu penuh misteri.

Suasana Negeriku saat itu antara tidak aman dan juga tidak rusuh. Selebihnya mencekam, sunyi dan seperti tak pernah ada kejadian apa-apa. Kehidupan masyarakat berjalan normal. Tapi kondisi cepat sekali berubah mencekam bila menjelang senja.

Zaman memang berubah, tapi tak banyak yang berubah dari negeriku. Tentara masih tinggal di desa-desa, seperti sepuluh tahun yang lalu. Masih terdengar orang hilang di malam hari. Dan malam masih diliputi kecemasan dan ketakutan para warga. Tak ada yang berubah. Semua berjalan seperti biasa. Seperti sepuluh tahun yang lalu.

Saat itu, aku masih kecil. Masih belum tahu apa-apa. Hanya setiap pergi ke sekolah, kami diharuskan mampir sebentar di Pos Kamling (Pos Jaga) di ujung desa untuk sekedar menciumi mayat yang selesai ditembak semalam. Seperti orang melayat, kami antri mencium mayat yang terbalut kafan putih di pinggir jalan. Dan selepas itu berangkat ke sekolah. Tak pernah kami tahu apa yang sesungguhnya terjadi, kenapa selalu saja ada orang yang mati? Orang tua kami juga tak pernah bercerita kepada kami anak kecil ini. Mereka hanya saling membisik sesama dan lepas itu segera berpisah. Seakan mereka seperti tidak membicarakan apa-apa.

Awalnya biasa-biasa saja. Kami rela mencium mayat-mayat itu. Lama-kelamaan kami jadi penasaran, kenapa setiap pagi ada mayat dan kami diharuskan mencium mayat itu? Terus terang, kami yang masih kecil ini, bosan terus menerus mencium mayat jika berangkat ke sekolah. Kami bosan dengan aktivitas seperti ini. Mayat yang kami cium tak pernah kami tahu siapa, dari kampung mana, dan mengapa. Hanya diwajibkan mencium sebelum dikubur di belakang Mesjid kampung peninggalan seorang ulama.

Hanya, setiap menjelang adzan subuh, kami selalu mendengar suara tembakan 6 kali. Habis itu, muadzin dengan suara merdu mengumandangkan adzan yang bisa didengar seluruh warga. Setiap kali begitu, adzan seperti pertanda duka. Dan esok paginya, ketika ke sekolah kami harus mencium mayat di pos jaga di pinggir jalan. Tak ada yang berubah.

Bagi kami, letusan suara tembakan adalah pertanda duka. Pertanda ada kematian subuh itu. Suara senapan itu begitu akrab bagi kami seperti halnya suara muadzin yang mengumandangkan adzan selepas bunyi tembakan. Tapi kami tak pernah tahu siapa yang melepaskan tembakan. Karena tak pernah terlihat orang yang menenteng senjata di Pos Jaga esok paginya. Yang selalu ada adalah mayat yang terbujur kaku penuh darah.

Semuanya dibalut misteri. Hanya dari bisik-bisik, setiap malam ada ronda dari aparat dari kecamatan. Hanya ini yang kudengar. Dan setiap malam, petugas jaga sering dibarisi di depan pos sebelum dipaksa menceburkan diri ke sungai di belakang pos. Ada yang yang disuruh merayap di sawah yang becek. Ada yang disuruh menghisap rokok tanpa henti lima bungkus. Sekali hisap dua sampai lima batang. Besoknya ada yang sakit-sakitan, ada yang gatal-gatal dan bengkak bibirnya.

Bang Noh, misalnya, dia disuruh merayap di sawah sampai adzan Subuh di Mesjid, gara-gara tertidur ketika aparat datang. Besoknya, dia muntah darah dan harus diopname di rumah sakit. Kata dokter, dia menderita luka dalam yang parah. Hanya kisah-kisah ini yang sering kudengar.

Selain itu, setiap bulan sekali, warga diceramahi di Koramil atau Polsek. Masyarakat diwajibakan datang memenuhi undangan itu. Tak ada istilah tidak datang. Tidak datang berarti membangkang. Sementara Kepala Desa, setiap minggu dipanggil ke pos militer. Kepada kepala desa, ditanyakan tentang “awak ateuh” yang sering turun ke desa. Juga ditanyakan tentang kondisi keamanan desa yang dipimpinnya.

Menjadi kepala desa memang banyak sekali risikonya. Jika ada anggota masyarakat yang ditangkap, kepala desa diharuskan menghadap ke pos militer. Di sana diceramahi macam-macam dan sampai dipukuli. Begitu juga, kepala desa harus mengambil KTP warga yang diambil oleh aparat dalam suatu sweeping.

Begitulah keadaan kampungku sepuluh tahun yang lalu. Entah sampai kapan kehidupan tak normal itu berlangsung.

***
Sekarang, kondisi kampungku masih belum berubah juga. Militer masih banyak. Di setiap desa ditempatkan 12 personil aparat. Malam hari masih mencekam. Orang-orang masih menghilang. Diculik. Mayat-mayat masih saja dibuang di pinggir jalan.

Anak-anak yang mau berangkat sekolah masih diwajibkan menciumi mayat di pos jaga. Setiap hari begitu tak ada yang berubah. Dan mereka selalu patuh menciumnya. Karena yakin yang dicium itu mayat orang baik-baik yang ditangkap ketika mau shalat Subuh entah di kampung mana. Kondisinya seperti sepuluh tahun lalu, ketika aku masih bersekolah dan rajin mencium mayat-mayat di depan pos jaga.

Setiap menjelang subuh, sebelum adzan, selalu diawali dengan dentuman senjata. Itu pertanda ada kematian. Dan seperti biasa, besoknya kami pasti harus mencium mayat di depan pos jaga di penghujung desa itu.

Masyarakat di sana, sudah hafal dengan kejadian ini semua. Berapa kali senjata berbunyi dan siapa yang akan mengumandangkan adzan begitu bunyi senjata selesai. Juga tentang adanya kematian, tentang mayat yang harus diciumi oleh anak-anak yang mau berangkat sekolah.

Masyarakat sudah hafal benar dengan suara Alimin, yang selalu setia mengumandangkan adzan bila subuh sudah datang. Alimin, dulu pernah mengaji satu bale denganku. Dia sangat disayangi oleh Tgk Dayah, karena pandai mengaji dan suaranya sangat merdu sekali. Tetapi setelah aku pindah ke kota untuk melanjutkan sekolah, kami sudah jarang bertemu. Tak pernah kudengar lagi khabarnya. Dari orang kampung, kutahu bahwa dia menjadi salah satu guru ngaji di Bale tampat kami mengaji dulu. Bale itu merupakan tempat pengajian bagi anak-anak kampung yang berada dalam komplek peninggalan Tgk Syik.

Setiap lebaran baru kami bertemu. Karena setiap lebaran aku pasti pulang ke kampung mengunjungi orang tuaku. Dan kami pasti mengobrol tentang kisah kami dulu ketika mengaji. Juga kisah tentang cintanya yang ditolak oleh seorang anak Tgk Dayah. Kami selalu tertawa mengingat itu.

Terakhir aku bertemu dengannya ketika musim tanam padi. Aku pulang kampung karena lagi liburan sekolah. Kami bertemu di sawah. Kebetulan sawah orang tuaku berdekatan dengan sawah milik Mesjid yang digarapnya. Sawah itu milik mesjid, dan penggarapannya dipercayakan kepada Tgk yang mengajar ngaji anak-anak. Habis itu kami tak pernah bertemu lagi. Karena aku harus balik ke kota untuk urusan sekolah. Lebaran tahun depan baru pulang lagi.

***
Malam jum’at ini, malam pertama aku tidur di kampung. Aku tak berharap mendengar suara senjata malam ini. Karena suara itu pertanda kematian, dan anak-anak harus menciumi mayat di depan pos jaga di ujung desa. Aku telah berusaha untuk tidur nyenyak, dan rencana shalat subuh tidak tepat waktu. Sialnya, sebelum subuh aku sudah terbangun. Walau sudah kucoba untuk tidur lagi tetap tak bisa tidur. Dan yang tak kuharap itu ternyata terjadi.

Dor—dor—dor—dor—aku tak ingat berapa kali suara senjata itu menyalak. Habis itu, tak seperti biasanya, tak ada suara adzan di mesjid. Tak ada. Aku sedikit lega. Mungkin itu hanya bunyi suara peluru aparat yang lagi iseng. Pasti tak ada kematian esok harinya, dan anak-anak tak perlu mencium mayat di depan pos jaga di ujung desa itu. Aku berharap begitu. Karena lazimnya, selesai bunyi peluru itu, selalu diikuti dengan suara adzan…dan berarti ada kematian.

Ternyata, aku salah. Karena anak-anak besok paginya masih harus mencium mayat di depan pos jaga sebelum berangkat sekolah.

Mayat itu ternyata….(aku tak sanggup meneruskan lagi kalimatku). Aku turut mencium mayat itu, mengikuti tindakan anak-anak yang mau berangkat ke sekolah…

(Jakarta, 5 November 2004)

Post a Comment

Previous Post Next Post