Mengalah Demi Cinta

PARTAI GAM akhirnya mengalah dan bersedia mengganti lambang dan akronim. Jika sebelumnya, Partai GAM tanpa akronim dan menggunakan lambang bendera Gerakan Aceh Merdeka, maka, sejak kemarin, Selasa (25/2) Partai GAM resmi menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri. Untuk lambang, mereka cukup menggunakan tulisan GAM dengan warna dasar merah, sementara di sudut lambang tersebut bertuliskan Partai Gerakan Aceh Mandiri.


Perubahan tersebut menurut salah seorang pendirinya, Ibrahim bin Syamsuddin KBS, bukanlah langkah mundur, karena tidak mengubah semangat dan tujuan yang dicetuskan sejak partai ini didirikan. Semua itu dilakukan oleh Partai GAM, sebagai bukti kecintaan kepada rakyat Aceh demi langgengnya perdamaian.

KBS menegaskan bahwa dengan adanya perubahan itu, ke depan pihaknya tidak mau lagi mendengar adanya polemik dan suara miring bahwa mereka tidak ikhlas kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Sebelum perubahan nama dan lambang, Partai GAM dianggap masih memelihara semangat separatisme. Malah, politisi di Jakarta menuding, partai GAM tidak ikhlas dengan perdamaian, karena masih bercita-cita memperjuangkan kemerdekaan untuk Aceh.

Sikap yang ditempuh GAM ini termasuk sikap yang moderat. Meski kita yakini, perubahan itu tidak sepenuhnya diterima oleh pengurus mereka di lapangan. Apalagi, perubahan itu termasuk pada hal-hal yang paling prinsipil, karena mereka sejak dulu tetap ngotot bahwa Partai GAM tidak akan mengubah lambang.

Sebenarnya, perubahan sikap GAM ini sudah mulai terlihat sejak pengunduran diri Perdana Menteri GAM, Malek Mahmud Al Haytar dari jabatan Ketua Umum Partai GAM. Malek menyerahkan tampuk pimpinan Partai GAM kepada Muzakkir Manaf, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA). Pengunduran diri Malek karena tersangkut dengan kewarganegaraan. Seperti diketahui, Malek sampai sekarang masih berstatus warga Negara Swedia. Undang-undang Indonesia tidak membolehkan warga negara asing menjadi pengurus partai politik.

Penggunaan lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai lambang partai sebenarnya juga banyak ditentang oleh para petinggi GAM. Sebut saja Sofyan Dawood, mantan Panglima GAM Wilayah Pasee dan mantan Juru Bicara KPA. Sofyan beralasan, bahwa lambang GAM itu bukan milik sekolompok golongan, melainkan milik rakyat Aceh. Penggunaan lambang GAM sebagai bendera partai akan menurunkan nilai bendera itu sendiri.

Perubahan akronim juga dilakukan oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang mendeklarasikan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (Partai SIRA). Namun SIRA dalam beberapa pernyataan mengaku tidak mengubah nama, melainkan membentuk Partai. Artinya, Partai Suara Independen Rakyat Aceh bukanlah perubahan dari SIRA, melainkan sayap politik SIRA. Sementara organisasi SIRA tetap tidak bubar.

Apapun alasannya, kita tetap berharap bahwa semua pihak harus peduli terhadap keberlangsungan perdamaian di Aceh. Perubahan nama dan lambang Partai GAM setidaknya memberi kepada kita suatu keyakinan, bahwa GAM ikhlas menerima perdamaian. Akhirnya, Partai GAM mengalah. Sungguh satu sikap terpuji. Bila Partai GAM benar mencintai rakyat maka semoga cinta itu berbalas![]

Sudah dimuat di halaman editorial Harian Aceh, 27 02 08

Post a Comment

Previous Post Next Post