Ada Apa dengan BRR?

Kantor BRR Aceh
Kuntoro Mangkusubroto berpose di kantor BRR
Jika ada kantor yang sering didemo di Banda Aceh, kantor itu adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR NAD-Nias). Sejak dibentuk pada tahun 2005 lalu, hampir setiap hari kantor lumbung dana itu didatangi oleh masyarakat; ada yang datang baik-baik mengantarkan proposal, dan banyak juga yang datang dengan teriak-teriak yaitu demo. Setiap muncul masalah dalam perkara rehab-rekons Aceh, BRR selalu yang disorot, dimaki dan sekaligus dikutuk. Apa sebenarnya yang terjadi, sampai BRR selalu dalam sorotan?

Sabtu, 15 Maret 2008 lalu, misalnya, kantor di seputaran Lueng Bata dilempari telur oleh massa yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Peduli Aceh (KPPA). Ada dua hal yang membuat massa mendatangi kantor yang mengurusi masalah rehab-rekons Aceh ini. Pertama, massa kecewa dengan kebijakan BRR yang menganggarkan anggaran korban tsunami untuk membali alat-alat tempur. Kedua, massa kecewa dengan upaya yang ditempuh BRR merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk (Blueprint) Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh-Nias.

BRR dibentuk dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perpu) No 2 tahun 2005, yang dikuatkan menjadi Undang-undang No 10 tahun 2005 sudah jauh melenceng dari misi awalnya. Padahal, misi pembentukan BRR sebagaimana tercantum dalam Perpu adalah: Pertama, membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, baik kehidupan individu maupun sosialnya. Kedua, membangun kembali infrastruktur fisik dan infrastruktur kelembagaan. Ketiga, membangun kembali perekonomian masyarakat sehingga dapat berusaha sebagaimana sebelumnya, serta Keempat membangun kembali pemerintahan sebagai sarana pelayanan masyarakat.

Menurut masyarakat pendemo, amanah itu belum sempurna dilaksanakan oleh BRR. Anehnya, BRR mencoba lari dan lepas tangan dengan mengusulkan revisi atas Perpres No.30/2005. Tak hanya itu, masyarakat juga kecewa, karena bukannya menyelesaikan rumah korban tsunami, BRR malah menggunakan dana rehab-rekons untuk pembelian peralatan militer bagi TNI/Polri yang dikenal dengan Alutsista (alat utama sistem senjata).

Dalam demonya, masyarakat tak hanya meminta agar dana BRR yang sudah digunakan untuk membeli persenjataan dikembalikan agar bisa dipergunakan untuk membangun rumah para korban tsunami. Seorang demonstran menyatakan bahwa masyarakat Aceh saat ini tidak membutuhkan lagi senjata. ”Aceh sudah damai,” teriaknya. Menurut mereka yang dibutuhkan masyarakat Aceh sekarang adalah rumah untuk korban tsunami. Uniknya, begitu selesai menyampaikan itu, para demonstran serentak melempori kantor BRR dengan telur.

Penolakan dan kecaman juga datang dari Gerakan Rakyat Antikorupsi (Gerak Aceh) terkait dengan rencana revisi Perpres Nomor 30 Tahun 2005. Gerak bahkan meminta agar masyarakat menolah usulan yang tidak rasional tersebut.

Menurut Gerak, upaya revisi yang dilakukan oleh pihak Bapel BRR NAD-Nias merupakan bentuk lepas tangan atas kegagalan dalam melakukan rangkaian kerja-kerja yang diamanahkan dalam peraturan tersebut. ”Ini sebagai bukti bagi masyarakat korban bencana di Aceh bahwa BRR NAD-Nias telah gagal dalam menjalankan amanah Perpres No. 30/2005 tersebut,” kecam Gerak dalam siaran pers yang ditandatangani oleh Askhalani, manager program, dan Nasruddin MD, Koordinator Gerak Aceh Besar yang dikirim ke redaksi Harian Aceh.

Dalam siaran pers-nya Gerak menyatakan bahwa revisi atas peraturan tersebut merupakan langkah mundur yang dilakukan oleh BRR dalam melakukan rehabilitasi di Aceh terutama dalam pemenuhan hak-hak dasar korban bencana tsunami. Gerak beralasan bahwa tugas-tugas itu harus diselesaikan sampai akhir masa tugas seperti diamanahkan dalam Perpres Nomor 30 Tahun 2005. ”Itu seperti pada juklak yang tertuang dalam Draf Ringkasan Eksekutif Rencana Aksi Rehabilitasi-Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat NAD-Nias tahun 2007-2009,” ujar aktivis Gerak ini.

Askhalani berpendapat bahwa jika persoalan yang ditinggalkan oleh BRR yang tidak selesai dikerjakan, ditakutkan akan menjadi ancaman yang dihadapi nantinya. ”Siap-siaplah Pemerintah Aceh menghadapi persoalan sosiokultural antara masyarakat bencana dan Pemerintah Aceh,” ujar Askhalani mengingatkan.

Karena itu, Gerak meminta Pemerintah Aceh, DPRA dan Tim Pengawas dari DPR RI menolak dengan tegas atas hasil revisi terhadap Perpres No.30/2005. Karena, sebut Askhalani, rencana revisi tersebut sangat berpotensi sebagai justifikasi kinerja dan capaian yang telah dilakukan selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.

Gerak mencurigai upaya revisi atas Perpres sebagai bentuk menghilangkan dana bagi korban tsunami. ”Revisi itu berpotensi hilangnya banyak dana-dana korban bencana dari Aceh, dan akan berujung konflik horizontal antara masyarakat dengan Pemerintah Aceh,” tandasnya.

Twk Mirza Kumala, Juru Bicara BRR yang dihubungi Harian Aceh Minggu (16/3) per telepon terkait tudingan Gerak ini mengatakan, bahwa BRR menghargai usul, apresiasi dan aspirasi yang disampaikan Gerak. Menurut Mirza, membangun Aceh merupakan sebuah kerja yang besar yang tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh BRR, karena membangun Aceh tidaklah cukup dengan waktu 4 tahun. Padahal, mandat BRR hanya 4 tahun.

Mirza memberi contoh tentang pembangunan rel kereta api yang tidak akan cukup dikerjakan dengan waktu 4 tahun. Untuk itu, sebut Mirza Perpres butuh revisi, untuk keberlanjutan proses rehab dan rekons di Aceh. ”Karena itu kita dorong Departemen Perhubungan untuk meneruskan pekerjaan itu, sekarang Dephub sedang melakukan itu,” ujarnya.

Begitu juga dalam hal cetak sawah baru. Padahal, sebut Mirza, dalam blueprint tidak ada cetak sawah baru. ”Tapi kita tetap cetak sawah. Ini kan butuh revisi,” tambahnya.

Terkait dengan tudingan sejumlah pihak seperti Aceh Communication Research Institute (ACRI), yang menyesalkan tindakan BRR menganggarkan anggaran untuk pembelian Alutsista tidak sesuai dengan blueprint, Mirza membantah jika disebut tidak sesuai dengan blueprint. ”Yang harus dipahami, yang jadi korban tsunami itu bukan hanya masyarakat, dinas-dinas pemerintahan, melainkan juga ada TNI/Polri. TNI/Polri juga bagian dari korban, dan itu diatur dalam blueprint,” jelasnya.

Apalagi, ujar Mirza, saat tsunami banyak fasilitas TNI/Polri yang rusak, dan senjata TNI/Polri yang hilang. Mereka juga butuh bantuan dan berhak mendapat perhatian dari BRR. Hal itu, sebutnya, sudah diatur dalam blueprint.

Saat dipertanyakan, bahwa untuk TNI/Polri sudah ada anggarannya seperti disebutkan dalam Undang-undang, di mana anggaran untuk TNI diambil dari APBN. ”Itu untuk kondisi normal,” jawabnya singkat. Saat ditanya, apakah usulan anggaran itu, sudah melewati mekanisme yang ada. ”Dana BRR untuk militer itu DPR juga yang putuskan anggaran lewat panitia anggaran,” ujarnya.

Perdebatan seperti itu, sebenarnya sudah pernah disampaikan oleh Teten Masduki dari Indonesia Corruption Watch (CW) dalam satu kesempatan di hadapan 20 wartawan Aceh di LPDS Jakarta, (30/11/06). Teten Masduki melihat adanya berbagai ketimpangan dalam berbagai bidang yang menjadi tugas dan mandat BRR. Menurut Teten, ketimpangan itu dimulai dari kegagalan pembuatan blueprint. ”Dalam blueprint terlihat tak solid antar program, baik dari segi dana maupun konsep,” ujarnya. Teten menyebutkan soal biaya pembangunan fasilitas militer yang lebih besar anggarannya daripada pembangunan fasilitas publik.

Padahal, ujar Teten, dalam musibah seperti di Aceh, yang harus dijadikan prioritas untuk dibangun adalah perumahan untuk para korban tsunami. Tapi itu sangat lamban dilakukan oleh BRR. Akibatnya, sebut dia, banyak masyarakat yang masih tinggal di barak, karena banyak rumah yang belum dibangun. Data terbaru per 31 Januari 2008 yang ditayangkan di situs BRR (http://e-aceh-nias.org) memperlihatkan sebanyak 2,229 KK masih tinggal di barak. Padahal, proses rehab-rekons sudah berjalan 3 tahun.

sudah dimuat di halaman fokus Harian Aceh, Senin 17 Maret 2008

Post a Comment

Previous Post Next Post