Dulu, ada orang bilang begini: jika ke Banda Aceh, jangan lupa singgah di Pasar Aceh. Ya…Pasar Aceh sangat terkenal saat itu. Segala kebutuhan manusia tersedia di sana. Orang-orang dari luar Banda Aceh, pastilah akan singgah di Pasar Aceh. Apalagi, Masjid Raya Baiturrahman persis berada di tengah kota di Banda Aceh yang berdekatan dengan pasar Aceh.
Coba jika punya waktu singgah di Pasar Aceh. Aneka tipe orang ada di sana. Para penjual tidak hanya penduduk asli Banda Aceh, melainkan orang yang datang dari luar. Semua bercampur-baur di sana. Ada yang dari Aceh Besar, Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Singkil, Meulaboh, Gayo dan lain-lain. Sehingga Banda Aceh laiknya miniatur Aceh.
Tak sulit mencari penjual cendol, seperti halnya mencari penjual kain di Pasar Aceh. Soalnya, beragam jenis barang dijual di sana, dari penjual beras sampai penjual manok potong. Dari penjual souvenir sampai penjual bubuk kopi. Dari penjual ikan asin sampai penjual manisan. Pokoknya, semua kebutuhan manusia ada di sana. Jika mendekati bulan Ramadhan seperti sekarang ini, pastilah Pasar Aceh makin ramai. Makanya, jika sempat berbelanja di sana, tak perlu marah, ketika tubuh anda tersenggol oleh orang lain. Karena begitulah kehidupan pasar. Pasar sama sekali tidak mengenal tata krama. Tak ada aturan ketertiban di sana. Sebab, semua orang ingin bisa berbelanja, dan ingin segera bisa membawa pulang hasil belanjaan.
Jika anda anti terhadap kebisingan, maka pasar bukan tempat yang baik. Sebab, di sana tak berlaku keheningan. Jika ingin menyepi dan mencari ketenangan, anda tak direkomendasikan ke pasar. Ketenangan hanya bisa didapatkan di sebuah goa yang sepi, atau di tempat-tempat yang jauh dari keramaian. Makanya, pasar tak dibuat untuk orang-orang pecinta ketenangan.
Dulu ada yang bilang begini: watak seseorang itu, bisa diketahui di Pasar. Kita tak perlu mengenal orang itu baik atau tidak. Tetapi, pelajari perilaku dia ketika di Pasar. Jika di pasar dia tergolong baik, maka orang itu pastilah baik. Namun ketika saat berada di Pasar orang tersebut brengsek, anda tak perlu ragu membuat kesimpulan, bahwa orang tersebut adalah brengsek.
Jadi, orang baik itu tak sekadar karena sering pergi ke masjid, pasalnya masjid memang sudah identik sebagai tempat untuk orang baik-baik. Kita tak boleh langsung memvonis seseorang itu baik ketika sering melihat dia di Masjid. Tetapi, kita juga harus lihat dia bagaimana di pasar. Di Pasar berkumpul tukang copet, pemalak, orang penjual yang tidak jujur termasuk orang yang pandai bersilat lidah.
Lalu, intinya apa? Lihatlah pasar Aceh. Di sana, tak hanya ada orang yang menjual barang dagangan dengan jenis berbeda, melainkan juga ada orang yang menjual barang yang sama. Tak sedikit orang yang menjual pakaian dan celana. Malah, ada toko yang letaknya berdekatan. Terganggukah penjual di sampingnya? Sama sekali tidak. Sebab, soal dibeli tidaknya barang di suatu toko itu sangat tergantung pada selera, dan juga pelayanan. Pembeli pasti mencari toko yang bisa ditawar, pelayanannya bagus, harganya murah, tetapi mutunya bagus. Faktor pembeli sangatlah independen. Tak boleh sebuah toko menghegemoni pembeli, karena pembeli adalah raja. Dalam membeli, pembeli punya pertimbangan sendiri, dan tak bisa dipaksa-paksa.
Pasar Aceh, jadinya sangat demokratis. Semua pedagang ditampung di sana. Tak ada diskriminasi, karena masing-masing pedagang memiliki peluang dan kesempatan yang sama dengan pedagang lain dalam menjual barang. Hanya saja mungkin ukuran toko yang membedakan, antara kecil dan besar. Tetapi, toko kecil juga bisa lebih laris dari toko yang ukurannya besar. Tergantung pelayanan, dan barang di dalamnya. Masing-masing mereka saling menghormati satu sama lain. Mereka tetap tersenyum ketika waktu tutup toko tiba. Mereka saling melempar senyuman telah melayani pembeli seharian, meski laba yang diperoleh tidak selalu sama.
Mudah-mudahan saja, dalam politik juga berlaku sistem seperti di pasar atau di Pasar Aceh. Tak berlaku hegemoni, paksaan atau intimidasi. Tidak ada partai besar menindas partai kecil. Sebab, Aceh adalah rumah milik bersama, di mana semua orang atau partai berhak memberikan yang terbaik, dan diperlakukan secara baik. (HA 130808)
Coba jika punya waktu singgah di Pasar Aceh. Aneka tipe orang ada di sana. Para penjual tidak hanya penduduk asli Banda Aceh, melainkan orang yang datang dari luar. Semua bercampur-baur di sana. Ada yang dari Aceh Besar, Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Singkil, Meulaboh, Gayo dan lain-lain. Sehingga Banda Aceh laiknya miniatur Aceh.
Tak sulit mencari penjual cendol, seperti halnya mencari penjual kain di Pasar Aceh. Soalnya, beragam jenis barang dijual di sana, dari penjual beras sampai penjual manok potong. Dari penjual souvenir sampai penjual bubuk kopi. Dari penjual ikan asin sampai penjual manisan. Pokoknya, semua kebutuhan manusia ada di sana. Jika mendekati bulan Ramadhan seperti sekarang ini, pastilah Pasar Aceh makin ramai. Makanya, jika sempat berbelanja di sana, tak perlu marah, ketika tubuh anda tersenggol oleh orang lain. Karena begitulah kehidupan pasar. Pasar sama sekali tidak mengenal tata krama. Tak ada aturan ketertiban di sana. Sebab, semua orang ingin bisa berbelanja, dan ingin segera bisa membawa pulang hasil belanjaan.
Jika anda anti terhadap kebisingan, maka pasar bukan tempat yang baik. Sebab, di sana tak berlaku keheningan. Jika ingin menyepi dan mencari ketenangan, anda tak direkomendasikan ke pasar. Ketenangan hanya bisa didapatkan di sebuah goa yang sepi, atau di tempat-tempat yang jauh dari keramaian. Makanya, pasar tak dibuat untuk orang-orang pecinta ketenangan.
Dulu ada yang bilang begini: watak seseorang itu, bisa diketahui di Pasar. Kita tak perlu mengenal orang itu baik atau tidak. Tetapi, pelajari perilaku dia ketika di Pasar. Jika di pasar dia tergolong baik, maka orang itu pastilah baik. Namun ketika saat berada di Pasar orang tersebut brengsek, anda tak perlu ragu membuat kesimpulan, bahwa orang tersebut adalah brengsek.
Jadi, orang baik itu tak sekadar karena sering pergi ke masjid, pasalnya masjid memang sudah identik sebagai tempat untuk orang baik-baik. Kita tak boleh langsung memvonis seseorang itu baik ketika sering melihat dia di Masjid. Tetapi, kita juga harus lihat dia bagaimana di pasar. Di Pasar berkumpul tukang copet, pemalak, orang penjual yang tidak jujur termasuk orang yang pandai bersilat lidah.
Lalu, intinya apa? Lihatlah pasar Aceh. Di sana, tak hanya ada orang yang menjual barang dagangan dengan jenis berbeda, melainkan juga ada orang yang menjual barang yang sama. Tak sedikit orang yang menjual pakaian dan celana. Malah, ada toko yang letaknya berdekatan. Terganggukah penjual di sampingnya? Sama sekali tidak. Sebab, soal dibeli tidaknya barang di suatu toko itu sangat tergantung pada selera, dan juga pelayanan. Pembeli pasti mencari toko yang bisa ditawar, pelayanannya bagus, harganya murah, tetapi mutunya bagus. Faktor pembeli sangatlah independen. Tak boleh sebuah toko menghegemoni pembeli, karena pembeli adalah raja. Dalam membeli, pembeli punya pertimbangan sendiri, dan tak bisa dipaksa-paksa.
Pasar Aceh, jadinya sangat demokratis. Semua pedagang ditampung di sana. Tak ada diskriminasi, karena masing-masing pedagang memiliki peluang dan kesempatan yang sama dengan pedagang lain dalam menjual barang. Hanya saja mungkin ukuran toko yang membedakan, antara kecil dan besar. Tetapi, toko kecil juga bisa lebih laris dari toko yang ukurannya besar. Tergantung pelayanan, dan barang di dalamnya. Masing-masing mereka saling menghormati satu sama lain. Mereka tetap tersenyum ketika waktu tutup toko tiba. Mereka saling melempar senyuman telah melayani pembeli seharian, meski laba yang diperoleh tidak selalu sama.
Mudah-mudahan saja, dalam politik juga berlaku sistem seperti di pasar atau di Pasar Aceh. Tak berlaku hegemoni, paksaan atau intimidasi. Tidak ada partai besar menindas partai kecil. Sebab, Aceh adalah rumah milik bersama, di mana semua orang atau partai berhak memberikan yang terbaik, dan diperlakukan secara baik. (HA 130808)
Tags:
pojok