Dan, Penulis Cerpen Pun Disomasi

Belakangan ini saya dihinggapi penyakit malas menulis. Entah kenapa? Saya sendiri tak tahu penyebabnya. Mungkin, karena terlalu banyak hal serius sehingga jadi malas menulis. Saya juga belum menyelesaikan sebuah tulisan untuk menggugat sebuah Tabloid lokal terbitan Aceh yang ‘mencuri’ mentah-mentah beberapa tulisan saya berjudul Gus Dur dan Aceh. Tulisan yang dicuri tersebut dibuat dalam bentuk tulisan ‘by line’ di Tabloid lokal itu. Saya menuduh mencuri karena si penulis tulisan tersebut tidak mengutip sumbernya.


Kemudian, dua hari lalu saya juga disuguhi berita terlalu serius soal klaim-mengklaim tanah Blang Padang, antara pihak Kodam IM dan Pemerintah Aceh. Kasus serupa juga sudah pernah mencuat beberapa waktu lalu, antara pihak Kodam IM dan Pemko Banda Aceh. Entah siapa pemilik yang benar, saya sendiri juga lupa bertanya pada pemiliknya (entah siapa). Tapi yang jelas, tanah itu milik Allah dan kemudian diserahi kepada penghuni tanah Aceh yaitu masyarakat Aceh.

Selain itu dari Jakarta juga saya mendapati informasi, sesama anggota Pansus Century saling tengkar, dan sampai mengeluarkan kata-kata tak senonoh, “Diam Kau Bangsat!” Duh, saya jadi teringat kata-kata Gus Dur Presiden ke-4 RI, yang menyebutkan DPR atau Gedung Senayan sebagai mirip TK. Artinya, saya ingin menyampaikan, termasuk banyak hal-hal serius yang saya saksikan di negeri penuh kemunafikan ini.

Terakhir, pada Jumat (8/1), begitu saya menulis status di Facebook, saat masuk kantor (Harian Aceh, pen), saya disodori sebuah surat yang berkepala “Gubernur Aceh”. Saya sangat yakin jika surat tersebut dari Gubernur Aceh. Ternyata memang benar surat itu datangnya dari Gubernur Aceh, karena selain kop surat juga ada tanda tangan sang Gubernur yang terpilih dari Jalur Independen, beserta sebuah stempel basah. Setelah saya baca isinya, saya terkejut, karena isinya berisi Somasi terhadap penulis Cerpen 'Surat untuk Darwati' sdr Renvanda yang dimuat di Harian Aceh, 3 Januari 2010. Dalam surat somasi tersebut, penulis cerpen dituduh sudah melakukan pencemaran nama baik dan diminta untuk meralat cerpennya. Spontan muncul komentar dari saya, "Han Ek Takhem!"—kalau diterjemahkan kira-kira isinya begini: tidak sanggup ketawa.

Oya, kalimat ‘Han Ek Takhem’ belakangan sering saya dengar dari masyarakat di Gampong saya. Terakhir saya membaca kalimat ‘Han Ek Takhem’ di rubrik SMS PEMBACA Harian Aceh, saat mengomentari soal PT Al-Hilal. Saya sendiri tak sanggup menahan diri untuk tidak tertawa.

Nah, yang membuat saya ‘Han Ek Takhem’ respon luar biasa sang Gubernur untuk mensomasi penulis cerpen. Dari surat somasi yang sempat saya baca, penulisan nama Darwati, turut dipermasalahkan. Nama itu merupakan nama istri Gubernur Aceh, Bapak Irwandi Yusuf, yang saat Pilkada lalu saya ikut jadi seorang tim suksesnya, dengan menjabat Koordinator Media Center Seuramoe Irwandi-Nazar (SINAR).

Ketika masalah ini saya lempar dalam bentuk status di Facebook, ternyata mendatangkan respon yang luar biasa. Ada yang menuding sang penguasa kejam, ada yang menyamakan dengan sikap Soeharto, dan ada juga yang menyayangkan hal tersebut terjadi.

Nana Kheisya Cicio, misalnya menulis komentar begini:
Apa juga dulu wkt zaman soeharto 'Dia' y ikt y pemberontak ga puas dg sikap soeharto. Jadi ngapain2 jauh2 kehutan bergerilya klu ujung2nya cem orba juga. Besok2 keluarin peraturan buat nama anak ga boleh sama ntar mirip ma nama penguasa hehe..yg jualan mi caluk wkt na msh TK dulu namany jg k'darwati jd cem mana tu? Bs marah jg k2 tu kan?

Pendapat senada juga disampaikan Siti Kembar, yang menulis:
jaman belum berubah trnyata penguasa hanya ganti baju rupanya..prihatin

Sementara Ferhat dari Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh menaruh kasihan masalah yang menimpa penulis cerpen ‘Surat untuk Darwati’ dengan menulis:
Ya elah cerpen pun dipermasalahkn.. Kasihan cerpenis Aceh kl kyak gni.

Malah, ada yang mengaku tidak sanggup pikir lagi dengan sikap pemimpin, seperti Muhammad Al Kausar yang menulis:
Han ek tapike ke pemimpin tanyoe..!!gadoh bntah2 kritikan ureung laen.sebeunar jih pemimpin,hrus siap menrma kritka.mudah2han geu peu ampon dosa.amin..

Tak hanya itu, ada yang menilai langkah yang ditempuh Gubernur Aceh itu bisa membuat malu rakyat Aceh. Komentar demikian disampaikan Pemikir di Jalanan, yang menulis:
Sang iteume male teuh meunyoe ditanyoeng le gob gubernur tanyoe lage nyan.

Aduh, saya tak sanggup ketawa, meski apa yang disampaikan kawan-kawan facebook saya itu serius. Dalam hati saya jadi berfikir, bagaimana sebuah cerpen yang tentu saja karya fiksi tapi berbuah somasi. Memori saya teringat pada zaman Belanda saat novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dicekal. Jika novel tersebut mau diterbitkan Balai Pustaka, maka Abdoel Moeis harus menulis ulang novelnya sehingga isinya tidak menyudutkan Belanda. Abdoel Moeis menyetujuinya karena ingin agar novelnya bisa terbit, termasuk harus mengubah ending-nya. Saya tidak mengatakan jika kondisi yang dialami Abdoel Moeis tersebut mirip dengan kisah somasi yang menimpa penulis cerpen “Surat untuk Darwati”.

Note: hanya coretan ringan—jangan ditanggapi serius ya?

Post a Comment

Previous Post Next Post