Kamis (17/06/2010) lalu, hari tak lagi gelap, saat aku turun dari L300 yang membawaku sejak 2,5 jam lalu dari Banda Aceh. Kondisi pasar Lueng Putu, Pidie Jaya tak seramai biasanya, meski kegaduhan masih bisa aku rasakan. Aku tak langsung mencari RBT yang akan membawaku ke kampung. Aku memilih singgah di sebuah warung kopi, yang sudah disesaki pengunjung. Aku memesan satu gelas teh hangat dan sepiring nasi gurih.
Sejak berangkat dari Banda Aceh pukul 03.00 dinihari, perutku terasa kosong. Aku sempat berpikir untuk menyantap makanan saat mobil berhenti seperti biasanya di Saree. Tapi, karena kantuk berat, aku tak tahu apakah mobil sempat berhenti atau tidak.
Petugas RBT yang biasanya mengantarku dari jauh memanggil dan menanyakan apakah aku akan pulang dengannya. Aku tak menjawab, hanya menggeleng kepala. Dia kemudian menghampiri untuk memastikannya. Aku hanya mengatakan ingin makan dulu. Dia pun mengiyakan dan berjanji siap menunggu.
Nasi dan teh hangat yang aku pesan pun sudah siap dan kini dihidangkan di atas meja. Aku mengaduk teh hingga butiran gula hancur tak berbekas, dan meminumnya sedikit. Cukup manis untuk bibirku yang sejak tadi tak mencicipi apa-apa kecuali sebatang rokok A Mild yang membuatku batuk-batuk.
Nasi gurih aku makan cukup lahap. Daging bebek yang masih cukup keras aku gigit beberapa kali sebagai teman nasi. Aku sama sekali tak memikirkan pandangan pengunjung lain, sebagian besar hanya memesan kopi. Aku tak risih sama sekali jika ada yang melihatku makan sangat lahap. “Hana urusan, pruet teungoh deuk (tak ada urusan, perut lagi lapar),” gumanku dalam hati.
Sesekali aku melihat keluar, tempat orang-orang dari sejumlah desa menjajakan hasil alam yang kadang-kadang ditaruh tepat di pinggir jalan Negara. Pasar Suboh Lueng Putu memang selalu ramai, malah sebelum adzan subuh berkumandang. Pembeli dan penjual dari sejumlah desa datang ke Ibukota Kecamatan Bandar Baru itu. Mereka menjual dan membeli hasil produk pertanian yang dijual di sana, untuk kemudian dijual lagi. Transaksi berlangsung dengan cepat. Setiap muncul sepeda motor yang membawa barang dengan karung, langsung dihampiri dan kemudian saling berebutan. Mereka berlomba-lomba, karena sedikit lengah, barang bisa berpindah tangan, meski kita sudah sejak tadi mengawalnya. Tapi, sekilas pemandangan itu cukup membuat kita senang.
Aku yang sering tiba di Lueng Putu jam 5 pagi sudah terbiasa dengan suasana gaduh itu. Aku malah kadang-kadang sering memantau gerak-gerik ibu-ibu yang berlarian untuk berebutan memegang karung yang dibawa tukang RBT. Meski mesin sepmor belum dimatikan, barang itu sudah berpindah tangan. Harga baru ditentukan kemudian ketika barang itu sudah diletakkan di atas tanah.
Namun, karena aku tiba agak telat, sekitar jam setengah 6 pagi, keadaan sudah sedikit sepi, meski masih ada beberapa orang penjual yang menunggu pembeli. Biasanya, sebelum naik RBT aku keliling dulu pasar suboh itu, memantau kondisi dan juga melihat-lihat hasil pertanian apa saja yang dijual. Hingga kisah ini kutulis, aku tak pernah membelinya. Bagiku, melihat-lihat sudah membuatku senang, betapa makmurnya kehidupan petani.
Oya, ada yang hampir aku lewatkan. Saat makan tadi, telingaku yang tak pernah kututup, menyimak pembicaraan orang-orang di warung kopi. Ternyata mereka membicarakan soal bola. Iya, selama Piala Dunia berlangsung, diskusi soal bola lebih semarak. Aku mendengar mereka cukup lihai membuat analisis soal kekuatan sebuah tim, kenapa sebuah tim bisa kalah, dan juga soal pemain favorit mereka. Sesekali aku ikut mendengar soal kalah taruhan.
Saat menjelaskan soal tim favoritnya, analisa mereka tak kalah jauh dengan komentator televisi. Malah, jika disimak secara seksama, analisa mereka lebih masuk akal, dan kadang-kadang menggelikan. Aku hanya menyimak saja dan menikmati nasi gurih. Untung saja aku tak sempat mendengar mereka membuat analisa yang tak masuk akal, seperti kejadian di kantorku saat lagi nonton rame-rame. Ada yang menyelutuk saat seorang pemain mencobloskan bola ke gawang lawan dan jadi gol. “Kalau si kiper tadi bisa menangkap bola, pasti tak terjadi gol!”
Tak hanya itu, ada juga yang karena saking kecewanya, tim yang didukungnya kalah, sampai mengumpat-umpat. “Bangai that kiper nyan bola ilop hana diteu-oh drop (bodoh sekali kiper itu, bola masuk tak bisa ditangkap)!” hahaha. Ada-ada saja, padahal kalau bisa ditangkap, tak jadi gol namanya.
Karena tukang RBT sudah menstarter sepeda motornya, aku pun bergegas. Padahal rokok baru saja aku sulut. Tak apa, yang penting sebentar lagi tiba di kampung. []
Sejak berangkat dari Banda Aceh pukul 03.00 dinihari, perutku terasa kosong. Aku sempat berpikir untuk menyantap makanan saat mobil berhenti seperti biasanya di Saree. Tapi, karena kantuk berat, aku tak tahu apakah mobil sempat berhenti atau tidak.
Petugas RBT yang biasanya mengantarku dari jauh memanggil dan menanyakan apakah aku akan pulang dengannya. Aku tak menjawab, hanya menggeleng kepala. Dia kemudian menghampiri untuk memastikannya. Aku hanya mengatakan ingin makan dulu. Dia pun mengiyakan dan berjanji siap menunggu.
Nasi dan teh hangat yang aku pesan pun sudah siap dan kini dihidangkan di atas meja. Aku mengaduk teh hingga butiran gula hancur tak berbekas, dan meminumnya sedikit. Cukup manis untuk bibirku yang sejak tadi tak mencicipi apa-apa kecuali sebatang rokok A Mild yang membuatku batuk-batuk.
Nasi gurih aku makan cukup lahap. Daging bebek yang masih cukup keras aku gigit beberapa kali sebagai teman nasi. Aku sama sekali tak memikirkan pandangan pengunjung lain, sebagian besar hanya memesan kopi. Aku tak risih sama sekali jika ada yang melihatku makan sangat lahap. “Hana urusan, pruet teungoh deuk (tak ada urusan, perut lagi lapar),” gumanku dalam hati.
Sesekali aku melihat keluar, tempat orang-orang dari sejumlah desa menjajakan hasil alam yang kadang-kadang ditaruh tepat di pinggir jalan Negara. Pasar Suboh Lueng Putu memang selalu ramai, malah sebelum adzan subuh berkumandang. Pembeli dan penjual dari sejumlah desa datang ke Ibukota Kecamatan Bandar Baru itu. Mereka menjual dan membeli hasil produk pertanian yang dijual di sana, untuk kemudian dijual lagi. Transaksi berlangsung dengan cepat. Setiap muncul sepeda motor yang membawa barang dengan karung, langsung dihampiri dan kemudian saling berebutan. Mereka berlomba-lomba, karena sedikit lengah, barang bisa berpindah tangan, meski kita sudah sejak tadi mengawalnya. Tapi, sekilas pemandangan itu cukup membuat kita senang.
Aku yang sering tiba di Lueng Putu jam 5 pagi sudah terbiasa dengan suasana gaduh itu. Aku malah kadang-kadang sering memantau gerak-gerik ibu-ibu yang berlarian untuk berebutan memegang karung yang dibawa tukang RBT. Meski mesin sepmor belum dimatikan, barang itu sudah berpindah tangan. Harga baru ditentukan kemudian ketika barang itu sudah diletakkan di atas tanah.
Namun, karena aku tiba agak telat, sekitar jam setengah 6 pagi, keadaan sudah sedikit sepi, meski masih ada beberapa orang penjual yang menunggu pembeli. Biasanya, sebelum naik RBT aku keliling dulu pasar suboh itu, memantau kondisi dan juga melihat-lihat hasil pertanian apa saja yang dijual. Hingga kisah ini kutulis, aku tak pernah membelinya. Bagiku, melihat-lihat sudah membuatku senang, betapa makmurnya kehidupan petani.
Oya, ada yang hampir aku lewatkan. Saat makan tadi, telingaku yang tak pernah kututup, menyimak pembicaraan orang-orang di warung kopi. Ternyata mereka membicarakan soal bola. Iya, selama Piala Dunia berlangsung, diskusi soal bola lebih semarak. Aku mendengar mereka cukup lihai membuat analisis soal kekuatan sebuah tim, kenapa sebuah tim bisa kalah, dan juga soal pemain favorit mereka. Sesekali aku ikut mendengar soal kalah taruhan.
Saat menjelaskan soal tim favoritnya, analisa mereka tak kalah jauh dengan komentator televisi. Malah, jika disimak secara seksama, analisa mereka lebih masuk akal, dan kadang-kadang menggelikan. Aku hanya menyimak saja dan menikmati nasi gurih. Untung saja aku tak sempat mendengar mereka membuat analisa yang tak masuk akal, seperti kejadian di kantorku saat lagi nonton rame-rame. Ada yang menyelutuk saat seorang pemain mencobloskan bola ke gawang lawan dan jadi gol. “Kalau si kiper tadi bisa menangkap bola, pasti tak terjadi gol!”
Tak hanya itu, ada juga yang karena saking kecewanya, tim yang didukungnya kalah, sampai mengumpat-umpat. “Bangai that kiper nyan bola ilop hana diteu-oh drop (bodoh sekali kiper itu, bola masuk tak bisa ditangkap)!” hahaha. Ada-ada saja, padahal kalau bisa ditangkap, tak jadi gol namanya.
Karena tukang RBT sudah menstarter sepeda motornya, aku pun bergegas. Padahal rokok baru saja aku sulut. Tak apa, yang penting sebentar lagi tiba di kampung. []
Tags:
serba serbi