Merindukan Sosok Teungku Abdullah Syafie

“Ketika kediktatoran menjadi kenyataan, maka revolusi menjadi kebenaran”—anonymous.

Kalimat retoris itu selalu saya ulang beberapa kali saat membuka-buka kembali buku Kisah Para Diktator karya Jules Archer. Tapi saya tak pernah mencari celah untuk menghubung-hubungkan dengan kondisi Aceh terkini. Karena bagi saya, orang Aceh itu sudah cukup dewasa, sudah lama hidup dalam konflik, mereka tahu membedakan, mana yang patut dan mana yang tidak. Siapa yang disebut zalim, dan mana yang benar-benar alim. Sebab, orang Aceh selalu mencatat, tak hanya dalam hati tapi juga dalam memori. Siapa yang mendhalimi orang Aceh, dia akan diingat sebagai orang zalim.

Ah, sudahlah, terlalu panjang basa-basi, ntar salah lagi dimengerti. Kita tak hendak bicara makar. Saya sini ingin mengabarkan saja, sosok bersahaja yang kini dirindukan banyak orang sebagai pejuang sejati, karismatik dan rendah hati. Saya yakin semua orang Aceh tak lupa dengan nama ini; Teungku Abdullah Syafie. Mendengar namanya saja, orang Aceh akan ingat pada senyum ramahnya. Tutur katanya lembut, perhatiannya melebihi perhatian seorang tua pada anaknya.

Teungku Lah, demikian dia disapa, tak hanya mengajarkan prajuritnya cara berjuang dan istiqamah dalam perjuangan, melainkan juga bagaimana memperlakukan rakyat sebagai basis massa dan perisai tiada tara. Saya tak tahu apakah Teungku Lah membaca kisah Mao Tse Tung, yang mendidik pengikutnya saat melakukan long march yang hingga kini jadi materi ajar di sekolah-sekolah China?

Dalam suatu kesempatan, saat mengembangkan teknik-teknik perang gerilya, Mao mengajarkan pengikutnya. “Rakyat mirip dengan air,” nasehatnya. “Kita harus berenang di dalamnya seperti ikan. Pertama kali kita harus belajar dari massa dan kemudian mengajari mereka,” titahnya.

Dalam buku Kisah Para Diktator, saya sempat membaca, Mao menyandarkan perjuangannya pada petani sebagai pendukung, baik tempat persembunyian, suplai makanan maupun sebagai cadangan tentara. Soal ini, Mao berujar, “Peralatan bukan faktor penting di dalam perang. Yang penting adalah manusianya,” katanya.

Dari sejarah lisan yang beredar, termasuk pengalaman sendiri bertemu beberapa jam dengan Teungku Abdullah Syafie di sebuah tempat persembunyian, pertengahan 1999, saya jadi tahu betapa Teungku Lah sangat mencintai rakyat yang diperjuangkannya.

Meski tak gila hormat, semua rakyat sangat hormat padanya. Teungku Lah tak pernah merasa rendah jika harus duluan memberi salam kepada warga yang kebetulan berkumpul di Bale Jaga. Rakyat yang datang menemui, diterima dengan ramah. Mereka berbicara panjang lebar dan tertawa lepas bersama-sama. Jika kita tak mengenal Teungku Lah, kita sama sekali tak tahu bahwa orang yang cukup akrab dengan rakyat itu adalah Teungku Abdullah Syafie, panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) sebelum kemudian berganti nama menjadi Teuntara Negara Aceh (TNA).

Teungku Lah tak hanya pandai bersiasat perang, melainkan juga sangat paham siasat politik. Boleh disebut, Teungku Lah adalah panglima GAM yang cukup ideal. Dicintai rakyat dan pasukannya. Dalam amanatnya berbahasa Aceh ketika meninjau markas GAM tersebut, Teungku Lah, menyatakan, "Masa telah berubah. Strategi perang secara militer sudah ketinggalan zaman. Sekarang, bangsa Aceh harus pintar mengurus masalah-masalah diplomasi di dunia internasional. Sekarang, perang yang paling berat adalah perang politik dan diplomasi." [baca Mengenang Teungku Abdullah Syafie, Panglima Perang AGAM]

Teungku Lah seperti bisa memprediksi, bahwa suatu saat Aceh akan masuk dalam perang politik. Saat itu, pasti akan tuha adoe ngon aduen. Pengalaman Pilkada 2006 dan Pemilu Legislatif 2009, hanya beberapa contoh saja. Jika Teungku Lah masih hidup, tentu saja dia akan menangis, karena Aceh yang diperjuangkannya tak lebih baik. Pasukannya juga seperti lupa pada nasehat-nasehatnya.
“Jangan sampai saya dengar ada tentara Aceh Merdeka yang lebih kejam daripada tentara penjajah itu," ujarnya seperti paham bahwa perilaku Tentara Negara Aceh belum sesuai dengan harapan Wali yang meminta agar berbaik-baik dengan rakyat.

Abdullah Syafie tak henti-henti mengajari pasukannya, agar bisa berterima kasih kepada rakyat yang telah mendukung perjuangan. "Pulang jasa keu bangsa Aceh. Bek gata krang ceukang. Dengon bangsa droe teuh, bah that tatheun talo bacut gata hana hina. Yang bek ta tem talo ngon musoh teuh bangsa penjajah," ujarnya dalam bahasa Aceh yang fasih.

"Kalau ada di antara tentara Aceh Merdeka yang mengancam bangsa Aceh, akan kami kenakan sanksi militer," tegasnya bernada mengancam. Bekas pasukannya saya yakin masih mengingat kata-kata tersebut.

Tapi, sama seperti manusia lainnya, Teungku Abdullah tak bisa menolak takdir dan janji Tuhan. Bahwa, kematian adalah hal yang pasti. Namun, di ujung hidupnya, Teungku Lah, seperti bisa merasa bahwa kematiannya kian dekat. Teungku Lah yang tak pernah gila hormat itu, sepertinya tak ingin hidup lebih lama lagi. Teungku Lah seperti tak siap jika melihat pasukannya menyandarkan perjuangan pada materi semata, saat menang nantinya.

Teungku Lah seperti bisa membaca tanda-tanda. Saya tak tahu apakah beliau membaca karya-karya Naguib Mahfouz yang sebagian kata-kata indahnya terhimpun dalam buku Life’s Wisdom (2009), bahwa beban perang sebagian besar jatuh ke prajurit biasa…para pimpinan menempati posisi yang lebih aman, merencanakan dan memikirkan jalan keluar. Bahkan, tegas Naguib menyimpulkan, tangan yang dapat menghasilkan uang selama perang akan menghasilkan dua kali lipat pada saat damai.

Karena itu, Teungku mengingatkan rakyat Aceh:
"Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka". [baca Pesan Terakhir Teungku Abdullah Syafie]

Itulah wasiat terakhir Panglima Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafei yang tewas dalam kontak senjata di kawasan perbukitan Jimjiem, Kecamatan Bandarbaru, Kabupaten Pidie, Selasa (22/01/01). Wasiat yang dibuat sebulan sebelum wafat, seolah firasat Syafei bahwa kematiannya memang telah dekat.[]

---Versi lain dari tulisan ini bisa dibaca di Harian Aceh

Post a Comment

Previous Post Next Post