Tak terhitung lagi, entah sudah berapa kali kantor yang beralamat di Jl Mohd Thaher No 20 Lueng Bata itu didemo oleh korban tsunami. Motif demo juga bermacam-macam. Kebanyakan dari mereka menilai Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR NAD-Nias) gagal melaksanakan mandatnya mengembalikan marwah dan martabat para korban tsunami.
Seperti diberitakan sejumlah media lokal di Aceh, ratusan pengungsi korban tsunami asal Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Jaya mendemo kantor BRR karena tuntutan mereka berupa bantuan perbaikan rumah sebesar Rp15 juta per unit per kepala keluarga tidak ditanggapi oleh BRR. Malah, BRR tetap pada pendiriannya bantuan per rumah Rp2,5 juta.
Ketika berhadapan dengan BRR, tak ada pilihan lain, kecuali demo. Sepertinya, demo memang sudah menjadi tradisi baru bagi korban tsunami di Aceh. Ketika hak-haknya tak digubris, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah sebuah demo. Tapi, benarkah semua demo itu murni jeritan hati korban? Bukankah ada sebagian demo yang justru ditunggangi oleh pelaku kepentingan dengan memperalat keluguan rakyat?
Pertanyaan ironis dan pesimis tersebut, tak pantas disematkan kepada para pendemo BRR. Karena apa yang mereka lakukan hanya mewakili suara hati yang terus menerus dikecewakan oleh BRR. Mereka berdemo, karena itulah satu-satunya cara yang bisa dan mampu mereka lakukan.
Tapi kebanyakan demo mereka berakhir sia-sia. Karena yang mereka hadapi adalah BRR, sebuah lembaga super-body dengan dana melimpah. Anehnya, dana melimpah tersebut yang diperuntukkan untuk rakyat, tapi nyatanya banyak yang dipergunakan untuk membangun dan membantu hal-hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan korban tsunami.
Sebut saja pembelian alutsista untuk TNI/Polri yang dikecam oleh lembaga antikorupsi, karena sudah menyalahi mandatnya. Tapi, apa jawaban yang diterima? ”TNI/Polri kan korban tsunami juga. Banyak kantor, peralatan militer dan juga anggota mereka yang menjadi korban dalam musibah tsunami,” ujar Twk Mirza Kumala, juru bicara BRR beberapa waktu lalu saat dikonfirmasi terkait dengan pembelian peralatan tempur untuk TNI/Polri.
Meski disorot dari berbagai lini, termasuk rekomendasi Pemerintah Aceh dan DPRA, BRR tetap pada pendiriannya. Sepertinya, kedua lembaga negara tersebut tidak terlalu kuat untuk memaksa BRR menyanggupi tuntutan masyarakat. Atau jangan-jangan Kuntoro Mangkusubroto, selaku Ketua Badan Pelaksana BRR masih mengganggap institusi ini tak berwenang memaksa BRR. Soalnya, selama ini, Kuntoro merasa hanya bertanggungjawab kepada Presiden. Sementara Pemerintah Aceh dan DPRA hanya mitra kerja di mana posisi mereka setara.
Atau, Kuntoro berpedoman pada jabatan struktural, di mana Irwandi Yusuf dan juga Sayed Fuad Zakaria adalah ’anak buah’ nya. Posisi Irwandi Yusuf di BRR sebagai wakil ketua badan pelaksana, sementara Sayed Fuad Zakaria sebagai anggota Dewan Pengarah. Dalam bagan struktur, terlihat kalau kedua orang ini berada di bawah posisi Kuntoro, sang ketua.
Banyak yang menduga, posisi Irwandi dan Sayed Fuad di BRR hanyalah jabatan untuk kepentingan politis memuluskan berbagai program BRR, dan biar ada kesan bahwa BRR selalu berkoordinasi dengan Pemda. Masalahnya, yang duduk di posisi Wakil Bapel BRR itu sesuai undang-undang adalah Gubernur Aceh Darussalam sebagai jabatan ex officio. Jadi, siapa pun yang duduk sebagai Gubernur pasti punya posisi di BRR selama lembaga itu masih ada.
Di situs BRR http://e-aceh-nias.org, ada yang terasa janggal. Meski dalam strukturnya posisi Irwandi sebagai wakil ketua Bapel, tetapi pada menu biografi pengurus BRR, profil Irwandi tidak dimasukkan, padahal semua pengurus Bapel dimuat profilnya di sana. Apakah ini sekadar faktor kealpaan, atau memang disengaja. Jangan-jangan keberadaan Irwandi di sana sama sekali tidak diperhitungkan. Soalnya, profil pengurus yang lain semuanya dimuat dan ditampilkan, hanya Irwandi saja yang tidak ada.
Memang, posisi Irwandi di BRR adalah jabatan fungsional dan sebagai wakil Kuntoro tugasnya adalah membantu kelancaran tugas-tugas Ketua. Keberadaan Irwandi bertujuan agar BRR selalu berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh, dan memaksimalkan fungsi kontrol terhadap program-program BRR. Masalahnya, selama ini peran seperti itu kurang maksimal dilaksanakan. Siapa sebenarnya yang salah? Apalagi muncul kesan, bahwa Pemerintah Aceh tidak pernah dilibatkan dalam hal kebijakan BRR. Benarkah demikian?
”Masalahnya, Pemda selalu bilang tidak pernah dilibatkan,” ujar seorang sumber Harian Aceh di BRR.
Padahal, katanya, di BRR sudah dibuat satu kantor khusus untuk Gubernur Aceh. Tetapi selalu kosong, karena tidak ada orang.
Menurut sumber tadi, sebenarnya Irwandi pada awal-awal dilantik jadi Gubernur sempat berkantor di BRR. Tetapi setelah beberapa bulan, Irwandi tidak mau lagi berkantor di BRR.
”Benarkah itu murni kesibukan dia sebagai gubernur, atau memang karena saran dan masukan Irwandi tidak pernah diterima oleh BRR?” tanyanya.
Terlepas penting tidaknya Irwandi berkantor di BRR, penolakan dan pembangkangan BRR terhadap rekomendasi yang dibuat oleh Pemerintah Aceh, DPRA dan Pihak BRR sendiri patut dipertanyakan. Kenapa rekomendasi Pemerintah Aceh dan DPRA dianggap seperti angin lalu saja oleh pihak BRR?
Jangan-jangan di mata Kuntoro atau BRR, Irwandi atau Sayed Fuad hanyalah ”anak ingusan” kemarin sore, dan suara mereka tidak pantas didengar. Jangan-jangan pernah muncul penilaian seperti ini di kalangan BRR. Diakui atau tidak, secara pengalaman mungkin saja baik Irwandi maupun Sayed jauh di bawah Kuntoro yang mantan seorang menteri. Perasaan ego seperti itu yang sekarang hendak ditegaskan. Belum lagi, secara legal, Kuntoro hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara Pemerintah Aceh hanyalah mitra kerja. Tidak lebih.
Ketika ditelusuri alasan kenapa BRR dibentuk, juga memperkuat asumsi bahwa posisi BRR di Aceh sama dengan Pemerintah Daerah. BRR dibentuk karena saat itu perangkat pemerintahan Aceh sedang vakum, sementara tugas pembangunan Aceh harus segera dilaksanakan. Untuk melaksanakan tugas tersebut perlu ada sebuah badan yang khusus mengkoordinir pelaksanaan rehab dan rekons Aceh yang hancur karena gempa dan tsunami.
Pertanyaan sekarang, apakah keberadaan BRR masih relevan setelah Pemerintah Aceh baru terbentuk? Apalagi, mandat Pemerintah Aceh yang sangat besar karena dipilih langsung oleh rakyat? Bukankah, sebagian tugas BRR sudah bisa diambil alih oleh pemerintah Aceh?
Kenyataannya, sampai sekarang BRR masih tetap bertahan di Aceh dan melaksanakan mandatnya sampai April 2009 nanti. Setelah itu baru ada pengalihan semua tugas BRR kepada pemerintah Aceh.
Yang pasti penolakan atas rekomendasi Gubernur dan Ketua DPRA menunjukkan bahwa BRR memang sudah melecehkan keberadaan Pemerintah Aceh dan juga lembaga wakil rakyat. Apa yang dilakukan oleh BRR bisa disimpulkan dalam sebuah kalimat, "BRR Ka Meulanggeh!"
-----------------------------
Bola Panas untuk BRR
Posisi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR NAD-Nias) semakin terpojok. Setelah tidak henti-hentinya warga tsunami melakukan demo karena haknya tidak dipenuhi oleh BRR, kini giliran anggota dewan yang berang. Hubungan BRR dengan Pemerintah Aceh dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) juga memanas.
Pemicunya, tak lain karena BRR dituding tidak pernah becus mengurus para korban gempa dan tsunami. Ketidakpuasan terhadap kinerja BRR, lebih-lebih setelah adanya demo dari warga Pantai Selatan, membuat Pemerintah Aceh plus DPRA harus angkat suara. Sebuah rekomendasi bersama dibuat, yang diteken oleh Pemerintah Aceh, DPRA dan wakil dari BRR.
Rekomendasi itu berbunyi, antara lain BRR akan melakukan pendataan ulang terhadap seluruh korban tsunami secara profesional untuk mendapatkan data yang valid dan objektif sebagai dasar pemberian bantuan. Kemudian, terhadap mereka yang benar-benar merupakan korban tsunami, BRR NAD akan melaksanakan komitmennya untuk membayar kembali bantuan sebesar Rp15 juta. Selanjutnya, BRR NAD-Nias bertanggung jawab untuk memulangkan sekitar 300 kepala keluarga dan keluarganya kembali ke rumah masing-masing dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Rekomendasi itu ditandatangani Irwandi Yusuf dan Raihan Iskandar (wakil ketua DPRD NAD), sementara dari pihak BRR, rekomendasi itu diterima Wisnubroto Santosa, Kepala Pengendalian dan Pengalihan Aset Perumahan dan Permukiman. Masalahnya, meskipun rekomendasi sudah diserahkan kepada BRR, bukan berarti BRR menyetujui semua butir rekomendasi tersebut.
Buktinya, BRR belum juga menyanggupi dan terkesan melecehkan pemerintah Aceh dan DPRA. Karenanya, sikap keras kepala BRR itu dibalas dengan petisi dari 34 anggota dewan yang meminta agar Irwandi Yusuf, sebagai Wakil Ketua Badan Pelaksana BRR, dan Sayed Fuad Zakaria, sebagai anggota Dewan Pengawas mundur dari jabatannya.
“Gubernur Irwandi Yusuf dan Ketua DPRA Sayed Fuad Zakaria kami minta mundur dari struktur BRR Aceh Nias,” kata ujar Abdullah Saleh, salah seorang anggota dewan yang membacakan petisi yang ditandatangani oleh 34 anggota dewan.
Desakan mundur bagi ketua pejabat tinggi di Aceh itu karena anggota DPR Aceh merasa prihatin terhadap penanganan korban gempa bumi dan tsunami oleh Bapel BRR.
“Kami memperhatikan kegiatan yang dilaksanakan oleh BRR Aceh Nias sudah banyak keluar dari fungsi pokok BRR itu sendiri. Sementara soal pembangunan rumah, rehabilitasi rumah-rumah penduduk yang hancur dan rusak akiat gempa dan tsunami terabaikan dan tidak tertangani dengan baik,” kata Tgk Harmen Nuriqmar, anggota dewan lainnya.
Bagaimana tanggapan BRR atas sikap yang ditunjukkan oleh para anggota dewan tersebut?
Teuku Kamaruzzaman, Sekretaris Bapel BRR menyatakan bahwa desakan mundur terhadap Irwandi Yusuf dan Sayed Fuad Zakaria bertentangan dengan pasal 15 ayat 3 Perpu No.2 Tahun 2005 kemudian menjadi UU No.10 Tahun 2005 tentang pembentukan BRR, di mana disebutkan bahwa untuk ”Wakil Kepala Bapel dijabat secara jabatan (ex-officio) oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
”Pernyataan tersebut berdampak menutup/mempengaruhi intervensi aspirasi daerah terhadap kebijakan BRR yang terdiri dari Dewan Pengarah, Dewan Pengawas dan Dan Pelaksana secara cerdas dan santun sesuai ketentuan yang ada,” ujar Ampon Man, sapaan akrab T. Kamaruzzaman melalui release kepada Harian Aceh, Kamis (10/4) menanggapi petisi 34 anggota Dewan seperti dimuat harian ini kemarin.
Terlepas apapun alasannya, yang pasti petisi yang dikeluarkan oleh para anggota dewan menunjukkan rendahnya kepercayaan terhadap BRR yang akan mengakhiri tugas pada April nanti. Apakah petisi ini merupakan bola panas yang dikirim sebagai kado perpisahan kepada BRR sebelum meninggalkan Aceh?
Yang jelas, banyak pihak merasa kecewa dengan kinerja BRR.
--------------------------------------------------------------
Memungut Simpati Menjelang 2009
Sikap yang ditujukan oleh 34 anggota dewan yang mengkritik kinerja BRR patut didukung. Soalnya, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa BRR tidak maksimal melaksanakan mandatnya membangun kembali Aceh. Buktinya banyak demo, di berbagai daerah yang ditujukan terhadap kantor-kantor perwakilan BRR.
Pertanyaannya, kenapa demo dari sekitar 300 warga Aceh Barat dan Aceh Jaya mendapat respon yang luar biasa dari anggota Dewan dan Pemerintah Aceh? Apakah dukungan atas demo ini semata-mata karena prihatin terhadap nasib warga Aceh Barat dan Aceh Jaya yang dianaktirikan oleh BRR, di mana hanya diberikan Rp2,5 juta untuk dana rehab rumah?
Pertanyaan kritis ini pantas diajukan, soalnya, jangan-jangan apa yang dilakukan oleh para anggota dewan punya misi terpendam, katakanlah karena Pemilu 2009 sudah dekat.
Atau, kenapa demo warga Aceh Barat dan Aceh Jaya mendapat simpati luar bisa? Apakah ini terkait dengan isu ABAS, baik berupa dukungan atau memberikan simpati agar mereka tidak jadi meminta pisah dari Aceh? Kesan ini muncul karena pendemo membawa embel-embel pantai barat selatan. Apakah ini juga termasuk bagian dari upaya melawan pantai timur?
Banyak pertanyaan kritis yang bisa diajukan. Soalnya, dulu pernah ada demo dari Forum Antar Barak (Forak), yang jumlah masanya lebih besar dari demo yang terjadi beberapa hari ini. Demo Forak melibatkan ribuan massa dari berbagai perwakilan pengungsi yang tinggal di barak di seluruh Aceh.
Kenapa saat itu demo Forak tidak didukung dan diback-up sebesar yang sekarang?
”Ingat, pemilu 2009 sudah dekat,” ujar seorang sumber Harian Aceh.
Bisa jadi, dukungan yang diberikan ini terkait dengan sudah dekatnya Pemilu 2009. satu-satunya cara memperoleh simpati adalah membantu masyarakat ketika mereka sangat membutuhkan. Entah benar atau tidak, semua harus dibaca dari berbagai sisi. Jika dukungan itu hanya sekedar menjelang Pemilu, sangat disayangkan, karena untuk kesekian kali penderitaan rakyat dimanfaatkan sebagai bahan kampanye, dan lahan mencari simpati.
NB: sudah dimuat di rubrik Fokus Harian Aceh, Jumat 11 April 08
Ketika berhadapan dengan BRR, tak ada pilihan lain, kecuali demo. Sepertinya, demo memang sudah menjadi tradisi baru bagi korban tsunami di Aceh. Ketika hak-haknya tak digubris, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah sebuah demo. Tapi, benarkah semua demo itu murni jeritan hati korban? Bukankah ada sebagian demo yang justru ditunggangi oleh pelaku kepentingan dengan memperalat keluguan rakyat?
Pertanyaan ironis dan pesimis tersebut, tak pantas disematkan kepada para pendemo BRR. Karena apa yang mereka lakukan hanya mewakili suara hati yang terus menerus dikecewakan oleh BRR. Mereka berdemo, karena itulah satu-satunya cara yang bisa dan mampu mereka lakukan.
Tapi kebanyakan demo mereka berakhir sia-sia. Karena yang mereka hadapi adalah BRR, sebuah lembaga super-body dengan dana melimpah. Anehnya, dana melimpah tersebut yang diperuntukkan untuk rakyat, tapi nyatanya banyak yang dipergunakan untuk membangun dan membantu hal-hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan korban tsunami.
Sebut saja pembelian alutsista untuk TNI/Polri yang dikecam oleh lembaga antikorupsi, karena sudah menyalahi mandatnya. Tapi, apa jawaban yang diterima? ”TNI/Polri kan korban tsunami juga. Banyak kantor, peralatan militer dan juga anggota mereka yang menjadi korban dalam musibah tsunami,” ujar Twk Mirza Kumala, juru bicara BRR beberapa waktu lalu saat dikonfirmasi terkait dengan pembelian peralatan tempur untuk TNI/Polri.
Meski disorot dari berbagai lini, termasuk rekomendasi Pemerintah Aceh dan DPRA, BRR tetap pada pendiriannya. Sepertinya, kedua lembaga negara tersebut tidak terlalu kuat untuk memaksa BRR menyanggupi tuntutan masyarakat. Atau jangan-jangan Kuntoro Mangkusubroto, selaku Ketua Badan Pelaksana BRR masih mengganggap institusi ini tak berwenang memaksa BRR. Soalnya, selama ini, Kuntoro merasa hanya bertanggungjawab kepada Presiden. Sementara Pemerintah Aceh dan DPRA hanya mitra kerja di mana posisi mereka setara.
Atau, Kuntoro berpedoman pada jabatan struktural, di mana Irwandi Yusuf dan juga Sayed Fuad Zakaria adalah ’anak buah’ nya. Posisi Irwandi Yusuf di BRR sebagai wakil ketua badan pelaksana, sementara Sayed Fuad Zakaria sebagai anggota Dewan Pengarah. Dalam bagan struktur, terlihat kalau kedua orang ini berada di bawah posisi Kuntoro, sang ketua.
Banyak yang menduga, posisi Irwandi dan Sayed Fuad di BRR hanyalah jabatan untuk kepentingan politis memuluskan berbagai program BRR, dan biar ada kesan bahwa BRR selalu berkoordinasi dengan Pemda. Masalahnya, yang duduk di posisi Wakil Bapel BRR itu sesuai undang-undang adalah Gubernur Aceh Darussalam sebagai jabatan ex officio. Jadi, siapa pun yang duduk sebagai Gubernur pasti punya posisi di BRR selama lembaga itu masih ada.
Di situs BRR http://e-aceh-nias.org, ada yang terasa janggal. Meski dalam strukturnya posisi Irwandi sebagai wakil ketua Bapel, tetapi pada menu biografi pengurus BRR, profil Irwandi tidak dimasukkan, padahal semua pengurus Bapel dimuat profilnya di sana. Apakah ini sekadar faktor kealpaan, atau memang disengaja. Jangan-jangan keberadaan Irwandi di sana sama sekali tidak diperhitungkan. Soalnya, profil pengurus yang lain semuanya dimuat dan ditampilkan, hanya Irwandi saja yang tidak ada.
Memang, posisi Irwandi di BRR adalah jabatan fungsional dan sebagai wakil Kuntoro tugasnya adalah membantu kelancaran tugas-tugas Ketua. Keberadaan Irwandi bertujuan agar BRR selalu berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh, dan memaksimalkan fungsi kontrol terhadap program-program BRR. Masalahnya, selama ini peran seperti itu kurang maksimal dilaksanakan. Siapa sebenarnya yang salah? Apalagi muncul kesan, bahwa Pemerintah Aceh tidak pernah dilibatkan dalam hal kebijakan BRR. Benarkah demikian?
”Masalahnya, Pemda selalu bilang tidak pernah dilibatkan,” ujar seorang sumber Harian Aceh di BRR.
Padahal, katanya, di BRR sudah dibuat satu kantor khusus untuk Gubernur Aceh. Tetapi selalu kosong, karena tidak ada orang.
Menurut sumber tadi, sebenarnya Irwandi pada awal-awal dilantik jadi Gubernur sempat berkantor di BRR. Tetapi setelah beberapa bulan, Irwandi tidak mau lagi berkantor di BRR.
”Benarkah itu murni kesibukan dia sebagai gubernur, atau memang karena saran dan masukan Irwandi tidak pernah diterima oleh BRR?” tanyanya.
Terlepas penting tidaknya Irwandi berkantor di BRR, penolakan dan pembangkangan BRR terhadap rekomendasi yang dibuat oleh Pemerintah Aceh, DPRA dan Pihak BRR sendiri patut dipertanyakan. Kenapa rekomendasi Pemerintah Aceh dan DPRA dianggap seperti angin lalu saja oleh pihak BRR?
Jangan-jangan di mata Kuntoro atau BRR, Irwandi atau Sayed Fuad hanyalah ”anak ingusan” kemarin sore, dan suara mereka tidak pantas didengar. Jangan-jangan pernah muncul penilaian seperti ini di kalangan BRR. Diakui atau tidak, secara pengalaman mungkin saja baik Irwandi maupun Sayed jauh di bawah Kuntoro yang mantan seorang menteri. Perasaan ego seperti itu yang sekarang hendak ditegaskan. Belum lagi, secara legal, Kuntoro hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara Pemerintah Aceh hanyalah mitra kerja. Tidak lebih.
Ketika ditelusuri alasan kenapa BRR dibentuk, juga memperkuat asumsi bahwa posisi BRR di Aceh sama dengan Pemerintah Daerah. BRR dibentuk karena saat itu perangkat pemerintahan Aceh sedang vakum, sementara tugas pembangunan Aceh harus segera dilaksanakan. Untuk melaksanakan tugas tersebut perlu ada sebuah badan yang khusus mengkoordinir pelaksanaan rehab dan rekons Aceh yang hancur karena gempa dan tsunami.
Pertanyaan sekarang, apakah keberadaan BRR masih relevan setelah Pemerintah Aceh baru terbentuk? Apalagi, mandat Pemerintah Aceh yang sangat besar karena dipilih langsung oleh rakyat? Bukankah, sebagian tugas BRR sudah bisa diambil alih oleh pemerintah Aceh?
Kenyataannya, sampai sekarang BRR masih tetap bertahan di Aceh dan melaksanakan mandatnya sampai April 2009 nanti. Setelah itu baru ada pengalihan semua tugas BRR kepada pemerintah Aceh.
Yang pasti penolakan atas rekomendasi Gubernur dan Ketua DPRA menunjukkan bahwa BRR memang sudah melecehkan keberadaan Pemerintah Aceh dan juga lembaga wakil rakyat. Apa yang dilakukan oleh BRR bisa disimpulkan dalam sebuah kalimat, "BRR Ka Meulanggeh!"
-----------------------------
Bola Panas untuk BRR
Posisi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR NAD-Nias) semakin terpojok. Setelah tidak henti-hentinya warga tsunami melakukan demo karena haknya tidak dipenuhi oleh BRR, kini giliran anggota dewan yang berang. Hubungan BRR dengan Pemerintah Aceh dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) juga memanas.
Pemicunya, tak lain karena BRR dituding tidak pernah becus mengurus para korban gempa dan tsunami. Ketidakpuasan terhadap kinerja BRR, lebih-lebih setelah adanya demo dari warga Pantai Selatan, membuat Pemerintah Aceh plus DPRA harus angkat suara. Sebuah rekomendasi bersama dibuat, yang diteken oleh Pemerintah Aceh, DPRA dan wakil dari BRR.
Rekomendasi itu berbunyi, antara lain BRR akan melakukan pendataan ulang terhadap seluruh korban tsunami secara profesional untuk mendapatkan data yang valid dan objektif sebagai dasar pemberian bantuan. Kemudian, terhadap mereka yang benar-benar merupakan korban tsunami, BRR NAD akan melaksanakan komitmennya untuk membayar kembali bantuan sebesar Rp15 juta. Selanjutnya, BRR NAD-Nias bertanggung jawab untuk memulangkan sekitar 300 kepala keluarga dan keluarganya kembali ke rumah masing-masing dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Rekomendasi itu ditandatangani Irwandi Yusuf dan Raihan Iskandar (wakil ketua DPRD NAD), sementara dari pihak BRR, rekomendasi itu diterima Wisnubroto Santosa, Kepala Pengendalian dan Pengalihan Aset Perumahan dan Permukiman. Masalahnya, meskipun rekomendasi sudah diserahkan kepada BRR, bukan berarti BRR menyetujui semua butir rekomendasi tersebut.
Buktinya, BRR belum juga menyanggupi dan terkesan melecehkan pemerintah Aceh dan DPRA. Karenanya, sikap keras kepala BRR itu dibalas dengan petisi dari 34 anggota dewan yang meminta agar Irwandi Yusuf, sebagai Wakil Ketua Badan Pelaksana BRR, dan Sayed Fuad Zakaria, sebagai anggota Dewan Pengawas mundur dari jabatannya.
“Gubernur Irwandi Yusuf dan Ketua DPRA Sayed Fuad Zakaria kami minta mundur dari struktur BRR Aceh Nias,” kata ujar Abdullah Saleh, salah seorang anggota dewan yang membacakan petisi yang ditandatangani oleh 34 anggota dewan.
Desakan mundur bagi ketua pejabat tinggi di Aceh itu karena anggota DPR Aceh merasa prihatin terhadap penanganan korban gempa bumi dan tsunami oleh Bapel BRR.
“Kami memperhatikan kegiatan yang dilaksanakan oleh BRR Aceh Nias sudah banyak keluar dari fungsi pokok BRR itu sendiri. Sementara soal pembangunan rumah, rehabilitasi rumah-rumah penduduk yang hancur dan rusak akiat gempa dan tsunami terabaikan dan tidak tertangani dengan baik,” kata Tgk Harmen Nuriqmar, anggota dewan lainnya.
Bagaimana tanggapan BRR atas sikap yang ditunjukkan oleh para anggota dewan tersebut?
Teuku Kamaruzzaman, Sekretaris Bapel BRR menyatakan bahwa desakan mundur terhadap Irwandi Yusuf dan Sayed Fuad Zakaria bertentangan dengan pasal 15 ayat 3 Perpu No.2 Tahun 2005 kemudian menjadi UU No.10 Tahun 2005 tentang pembentukan BRR, di mana disebutkan bahwa untuk ”Wakil Kepala Bapel dijabat secara jabatan (ex-officio) oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
”Pernyataan tersebut berdampak menutup/mempengaruhi intervensi aspirasi daerah terhadap kebijakan BRR yang terdiri dari Dewan Pengarah, Dewan Pengawas dan Dan Pelaksana secara cerdas dan santun sesuai ketentuan yang ada,” ujar Ampon Man, sapaan akrab T. Kamaruzzaman melalui release kepada Harian Aceh, Kamis (10/4) menanggapi petisi 34 anggota Dewan seperti dimuat harian ini kemarin.
Terlepas apapun alasannya, yang pasti petisi yang dikeluarkan oleh para anggota dewan menunjukkan rendahnya kepercayaan terhadap BRR yang akan mengakhiri tugas pada April nanti. Apakah petisi ini merupakan bola panas yang dikirim sebagai kado perpisahan kepada BRR sebelum meninggalkan Aceh?
Yang jelas, banyak pihak merasa kecewa dengan kinerja BRR.
--------------------------------------------------------------
Memungut Simpati Menjelang 2009
Sikap yang ditujukan oleh 34 anggota dewan yang mengkritik kinerja BRR patut didukung. Soalnya, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa BRR tidak maksimal melaksanakan mandatnya membangun kembali Aceh. Buktinya banyak demo, di berbagai daerah yang ditujukan terhadap kantor-kantor perwakilan BRR.
Pertanyaannya, kenapa demo dari sekitar 300 warga Aceh Barat dan Aceh Jaya mendapat respon yang luar biasa dari anggota Dewan dan Pemerintah Aceh? Apakah dukungan atas demo ini semata-mata karena prihatin terhadap nasib warga Aceh Barat dan Aceh Jaya yang dianaktirikan oleh BRR, di mana hanya diberikan Rp2,5 juta untuk dana rehab rumah?
Pertanyaan kritis ini pantas diajukan, soalnya, jangan-jangan apa yang dilakukan oleh para anggota dewan punya misi terpendam, katakanlah karena Pemilu 2009 sudah dekat.
Atau, kenapa demo warga Aceh Barat dan Aceh Jaya mendapat simpati luar bisa? Apakah ini terkait dengan isu ABAS, baik berupa dukungan atau memberikan simpati agar mereka tidak jadi meminta pisah dari Aceh? Kesan ini muncul karena pendemo membawa embel-embel pantai barat selatan. Apakah ini juga termasuk bagian dari upaya melawan pantai timur?
Banyak pertanyaan kritis yang bisa diajukan. Soalnya, dulu pernah ada demo dari Forum Antar Barak (Forak), yang jumlah masanya lebih besar dari demo yang terjadi beberapa hari ini. Demo Forak melibatkan ribuan massa dari berbagai perwakilan pengungsi yang tinggal di barak di seluruh Aceh.
Kenapa saat itu demo Forak tidak didukung dan diback-up sebesar yang sekarang?
”Ingat, pemilu 2009 sudah dekat,” ujar seorang sumber Harian Aceh.
Bisa jadi, dukungan yang diberikan ini terkait dengan sudah dekatnya Pemilu 2009. satu-satunya cara memperoleh simpati adalah membantu masyarakat ketika mereka sangat membutuhkan. Entah benar atau tidak, semua harus dibaca dari berbagai sisi. Jika dukungan itu hanya sekedar menjelang Pemilu, sangat disayangkan, karena untuk kesekian kali penderitaan rakyat dimanfaatkan sebagai bahan kampanye, dan lahan mencari simpati.
NB: sudah dimuat di rubrik Fokus Harian Aceh, Jumat 11 April 08
Tags:
fokus