Saat awal-awal dilantik, pemerintahan Irwandi-Nazar sangat gencar menggaet investor untuk menanamkan modalnya di Aceh. Berbagai upaya lobi dilakukan, seperti kunjungan ke luar negeri demi mengundang investor serta mengajak mereka melakukan survei peluang investasi di Aceh. Namun, seiring waktu, tak banyak investor yang mau berinvestasi dan menanamkan modalnya di Aceh. Gagalkah pemerintah Aceh? Jawabannya, hanya rakyat dan kita-kita saja yang tahu.
Tapi, saya selalu membayangkan begini, bagaimana jika Pemerintah Aceh saja yang melakukan investasi di luar negeri, di mana nanti keuntungannya bisa mengalir ke Aceh. Ide ini bisa saja mengundang tawa. Namun, langkah ini bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Hanya butuh kemauan dan juga keberanian pemerintah Aceh, dan semua bisa dilakukan
Jadi, daripada mengurusi investor yang ‘masih’ berencana menanamkan modalnya di Aceh, lebih baik Pemerintah Aceh mulai melakukan ekspansi investasi di luar negeri. Soalnya, hal ini dimungkinkan, karena Aceh bebas melakukan kerjasama ekonomi dan investasi dengan luar negeri, seperti disebutkan dalam UU PA. “Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan
peraturan perundang-undangan” seperti termaktub dalam pasal 165 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh.
Selama ini, seperti kita tahu, banyak anggaran yang dikelola oleh Pemerintah Aceh tidak mampu dihabiskan. Tahun lalu saja, ada sekitar Rp2 triliun yang harus dikembalikan ke pusat atau menjadi Silpa. Sementara tahun ini, diramalkan ada sekitar Rp5 triliun dana yang harus dikembalikan ke pusat, karena tidak semuanya terserap. Seperti pemberitaan beberapa waktu lalu, dari dana Rp8,5 triliun baru terserap sekitar 10 persen atau Rp850 miliar. Artinya bakal ada sekitar Rp7,6 triliun dana yang tersisa. Dengan masa anggaran yang tinggal beberapa bulan lagi, dana yang tidak terpakai menjadi hangus, harus dikembalikan ke pusat dan menjadi Silpa.
Nah, bagaimana jika dana yang diperkirakan bakal hangus itu digunakan untuk berinvestasi dengan membeli sebuah klub sepakbola di luar negeri. Di Inggris, misalnya. Bukankah itu lahan bisnis yang menggiurkan. Membeli klub sepakbola dewasa ini menjadi investasi jangka panjang. Tak hanya keuntungan ekonomis yang bakal didapatkan, melainkan ketenaran. Dan Aceh akan selalu disebut-sebut setiap pemberitaan tentang pemilik klub sepakbola tersebut. Apalagi jika ikon Aceh selalu disorot kamera saat berlangsungnya pertandingan. Duh, benar-benar meuchuhu bansa tseuleubeh ateuh rhueng donja ini.
Saya percaya, kalau seluruh rakyat Aceh bersepakat menggunakan sebagian dana APBA untuk membeli klub sepakbola, rencana ‘gila’ ini akan terlaksana, dan tak hanya lampoh jeurat saja yang bisa digadaikan tapi juga membeli klub sepakbola. DPRA juga harus bekerjasama dengan memberi peluang agar anggaran tersebut digunakan untuk membeli sebuah klub bola. Anggap saja, rencana ini untuk mempromosikan pesona Aceh yang mulai pudar, seiring gagalnya beberapa proyek BRR, dan berhentinya konflik.
Dengan dana yang cukup besar tersebut, saya yakin Pemerintah Aceh mampu membeli klub besar. Seperti saya baca di media, harga sebuah klub sepakbola tidak terlalu ‘mahal’ karena dengan dana yang dimiliki Aceh mampu membeli klub tersebut. Sebut saja, misalnya, Manchester City, yang berharga 200 juta poundsterling (Rp3,4 triliun ), seperti dibeli pengusaha kaya-raya Uni Emirat Arab yang tergabung dalam Abu Dhabi United Group for Development and Investment (ADUGDI) yang diwakili Sulaiman Al Fahim dari pemilik sebelumnya Thaksin Sinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand.
Coba, jika langkah itu diikuti oleh Pemerintah Aceh dengan membeli salah satu klub sepakbola di Inggris, pasti rakyat Aceh akan sangat bangga, karena dana yang mengalir ke Aceh tidak kembali lagi ke pusat, tapi menjadi aset berharga untuk masa depan Aceh. Hal itu juga akan berpengaruh terhadap dunia persepakbolaan Aceh, di mana bakal munculnya pesepakbola handal dari Aceh. Jadi, upaya Pemerintah Aceh mengirimkan pesepakbola anak-anak Aceh ke Paraguay tidak akan sia-sia, karena punya tim yang akan menampung nantinya, dan Aceh juga berpartisipasi dalam event internasional. Menurut UU PA, Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional (baca UU PA pasal 9 ayat (2)). Jika suatu saat Aceh bisa ikut Piala Dunia, bukankah itu sudah sangat luar biasa? Itu baru self government.
Jadi, daripada mengurusi investor yang ‘masih’ berencana menanamkan modalnya di Aceh, lebih baik Pemerintah Aceh mulai melakukan ekspansi investasi di luar negeri. Soalnya, hal ini dimungkinkan, karena Aceh bebas melakukan kerjasama ekonomi dan investasi dengan luar negeri, seperti disebutkan dalam UU PA. “Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan
peraturan perundang-undangan” seperti termaktub dalam pasal 165 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh.
Selama ini, seperti kita tahu, banyak anggaran yang dikelola oleh Pemerintah Aceh tidak mampu dihabiskan. Tahun lalu saja, ada sekitar Rp2 triliun yang harus dikembalikan ke pusat atau menjadi Silpa. Sementara tahun ini, diramalkan ada sekitar Rp5 triliun dana yang harus dikembalikan ke pusat, karena tidak semuanya terserap. Seperti pemberitaan beberapa waktu lalu, dari dana Rp8,5 triliun baru terserap sekitar 10 persen atau Rp850 miliar. Artinya bakal ada sekitar Rp7,6 triliun dana yang tersisa. Dengan masa anggaran yang tinggal beberapa bulan lagi, dana yang tidak terpakai menjadi hangus, harus dikembalikan ke pusat dan menjadi Silpa.
Nah, bagaimana jika dana yang diperkirakan bakal hangus itu digunakan untuk berinvestasi dengan membeli sebuah klub sepakbola di luar negeri. Di Inggris, misalnya. Bukankah itu lahan bisnis yang menggiurkan. Membeli klub sepakbola dewasa ini menjadi investasi jangka panjang. Tak hanya keuntungan ekonomis yang bakal didapatkan, melainkan ketenaran. Dan Aceh akan selalu disebut-sebut setiap pemberitaan tentang pemilik klub sepakbola tersebut. Apalagi jika ikon Aceh selalu disorot kamera saat berlangsungnya pertandingan. Duh, benar-benar meuchuhu bansa tseuleubeh ateuh rhueng donja ini.
Saya percaya, kalau seluruh rakyat Aceh bersepakat menggunakan sebagian dana APBA untuk membeli klub sepakbola, rencana ‘gila’ ini akan terlaksana, dan tak hanya lampoh jeurat saja yang bisa digadaikan tapi juga membeli klub sepakbola. DPRA juga harus bekerjasama dengan memberi peluang agar anggaran tersebut digunakan untuk membeli sebuah klub bola. Anggap saja, rencana ini untuk mempromosikan pesona Aceh yang mulai pudar, seiring gagalnya beberapa proyek BRR, dan berhentinya konflik.
Dengan dana yang cukup besar tersebut, saya yakin Pemerintah Aceh mampu membeli klub besar. Seperti saya baca di media, harga sebuah klub sepakbola tidak terlalu ‘mahal’ karena dengan dana yang dimiliki Aceh mampu membeli klub tersebut. Sebut saja, misalnya, Manchester City, yang berharga 200 juta poundsterling (Rp3,4 triliun ), seperti dibeli pengusaha kaya-raya Uni Emirat Arab yang tergabung dalam Abu Dhabi United Group for Development and Investment (ADUGDI) yang diwakili Sulaiman Al Fahim dari pemilik sebelumnya Thaksin Sinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand.
Coba, jika langkah itu diikuti oleh Pemerintah Aceh dengan membeli salah satu klub sepakbola di Inggris, pasti rakyat Aceh akan sangat bangga, karena dana yang mengalir ke Aceh tidak kembali lagi ke pusat, tapi menjadi aset berharga untuk masa depan Aceh. Hal itu juga akan berpengaruh terhadap dunia persepakbolaan Aceh, di mana bakal munculnya pesepakbola handal dari Aceh. Jadi, upaya Pemerintah Aceh mengirimkan pesepakbola anak-anak Aceh ke Paraguay tidak akan sia-sia, karena punya tim yang akan menampung nantinya, dan Aceh juga berpartisipasi dalam event internasional. Menurut UU PA, Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional (baca UU PA pasal 9 ayat (2)). Jika suatu saat Aceh bisa ikut Piala Dunia, bukankah itu sudah sangat luar biasa? Itu baru self government.
Tags:
pojok