Pengantar redaksi:
Tulisan yang diturunkan di halaman Fokus ini berasal dari makalah Barlian AW, yang dipresentasikan saat acara bedah buku Aceh Pungo di Kokpin Kitchen, Stui Banda Aceh, Senin (16/3). Tulisan ini penting diturunkan agar pembaca memiliki perspektif berbeda dalam membaca buku Aceh Pungo.
Oleh Barlian AW
Membaca Aceh Pungo seperti kita masuk ke dalam sebuah pasar. Dan pasar itu adalah pasar tradisional, yang di dalamnya bukan hanya kita temukan berbagai jenis barang keperluan sehari-hari, tapi kita akan berhadapan dengan berbagai karakter pedagang dan pembeli. Juga berbagai aroma yang aneh, dan kadang-kadang menusuk hidung.
Bagi yang jarang masuk ke sana, pasar seperti ini mengganggu penciuman, pendengaran, dan pemandangan. Tapi itulah sebuah realitas, seperti halnya realitas yang dipotret dan ditampilkan Taufik Al Mubarak dalam bunga rampai Aceh Pungo. Di pasar tradisional sering sekali kita tersuguhkan barang-barang yang bagus, buah ranum, serta ikan segar. Tetapi tidak jarang kita menemukan barang-barang yang barangkali sudah tak layak pakai dan tak layak konsumsi, tapi tetap digelar—siapa tahu ada yang membelinya—untuk mereka yang kurang berduit karena harga murah.
Taufik, penulis muda—karena belum tiga puluh tahun—adalah satu di antara pengarang produktif Aceh dalam setengah dasawarsa (lima tahun) terakhir. Memilih profesi sebagai wartawan membuat dia berkesempatan untuk menulis dan mengulas. Tetapi tidak semua wartawan, termasuk wartawan produktif bisa dan mau berbuat seperti Taufik. Sebab untuk menulis esay atau kolom seperti ini, seorang wartawan tidak hanya cukup bermodal produktif, tetapi juga harus kreatif. Kreatifitas seorang wartawan juga ditentukan oleh latar belakang, pengalaman, serta bakat penunjang, yaitu bakat sastrawan.
Meski tulisan-tulisan dalam buku ini tidak terlalu menonjol aspek sastranya, tetapi Taufik mencoba meramu bahan-bahan tulisannya dengan mengutip cuplikan karya satra seperti hadih maja, pameo, serta pemikiran para satrawan dan filusuf dalam memperkaya tulisannya. Jika kita kembali ke falsafah pasar tradisoinal, sang pengelola pasar—dalam hal ini Taufik—mencoba menampilkan pajangan barang-barangnya dalam setting yang memungkinkan para pembeli—dalam hal ini pembaca—memiliki ruang yang bebas untuk memilih barang-barang yang bakal di beli.
Misalnya Taufik mencoba memilih judul-judul tulisan dengan mengambil kata keseharian masyarakat tempat dia dibesarkan, yaitu kata dan idiom Aceh, misalnya Catok Brok, Lampoh Soh, Reudok, Maop, dan lain-lain. Hal ini juga dilakukannya dalam narasi-narasi. Dengan demikian diharapkan pembaca tergiring ke dalam sebuah keingin-tahuan, sekaligus berinteraksi dengan ranah pengalaman masing-masing. Dia mengutip kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh masyarakat kampung, paling tidak kampung tempat Taufik dilahirkan dan dibesarkan.
Namun dalam mengutip ucapan langsung dialog masyarakat dan mengangkat idiom tadi, Taufik sempat terjebak dalam sebuah pemahaman yang sangat Aceh oriented. Dia menulis seolah-olah kata-kata itu hanya ada pada orang Aceh. Misalnya pada tulisan berjudul “Ureung (maksudnya Ureueng Aceh” (halaman 41). Awak tanyoe atau awak geutanyoe atau orang kita, tidak hanya ada dalam perilaku egaliter Aceh. Suku bangsa lain seperti dalam masyarakat Palembang ada istilah wong kito, atau orang Padang menyebut urang awak.
Banyak yang selama ini kita klaim sebagai milik orang Aceh, sebenarnya juga dimiliki oleh suku bangsa lain, karena sesungguhnya Aceh hanya bagian dari nusantara yang budayanya—baik dalam berbentuk tanjibel maupun intanjibel saling—terkait erat karena berangkat dari akar yang sama yaitu akar Melayu. Apa yang kita banggakan seperti rapai daboh, jenis yang sama juga ada di daerah lain di Indonesia, malah sampai ke Madagaskar dan Suriname.
Hal ini penting bagi kita dan juga para penulis. Memahami istilah, perilaku budaya sangat penting, terutama ketika kita ingin menulis tentang potret masyarakat lokal seperti halnya dalam Aceh Pungo yang ditulis Taufik. Meski tidak didasari pada penelitian, tetapi berdasarkan pendengaran penulis dari ucapan masyarakat—yang oleh Taufik disebut budaya oral—agaknya akan lebih baik kalau hal itu dikonfirmasi dan dicek keabsahannya untuk memungut makna sebenarnya dari ucapan, pameo, atau petuah yang digunakan masyarakat.
Dengan demikian kita tidak terjebak dalam pemahaman sempit sehingga akan keliru dalam pembahasan selanjutnya. Analisis seorang penulis harus selalu diasah agar lebih tajam ketika membahas sesuatu dengan tepat –paling kurang tidak terlalu melenceng. Mengalisis dan memprediksi sesuatu, misalnya masalah politik harus hati-hati, dan jangan sekali-kali tendensius. Meskipun banyak analisis dan ulasan Taufik yang mengena dan benar, tapi ketika dia mengedepankan emosi, dia terjebak, dan itu menjadi hambar di hati pembaca.
Ini terlihat ketika dia menulis tentang pilkada Pidie Jaya di bawah judul Melon (halaman 15). Ketika tulisan itu muncul di Harian Aceh edisi 1 November 2008, saya merasa terusik membacanya. Padahal saya selalu nyaman membaca tulisan tulisan Taufik sebelumnya karena memiliki nuansa dan warna warni dalam memilih topik dan bahan bahasan. Pernah suatu kali saya menyarankan agar kolom “Pojok Gampong” tidak ditempatkan di halaman dalam, tetapi di halaman luar dan tampilannya lebih menonjol. Namun Taufik beralasan, “Nanti saya dianggap narsis. Saya kan masih muda, jangan terlalu menonjol.” Ada rasa kecewa, tapi saya memahami sikap Taufik yang selalu suka merendah.
Namun kasus “Melon”membuat saya bertanya-tanya, kenapaTaufik terlalu berani bersikap. Dalam artikel tersebut dia dengan gaya metaforanya berpihak kepada Yusri yang sering disapa “Melon”—karena sukses menanam melon. Rivalnya Gade Salam yang diidentikkan dengan aktivis partai berlambang ka’bah –mengikut narasi Taufik—sudah tidak disukai lagi masyarakat. “Padahal dulunya gambar tersebut begitu sakral, sangat ideologis dalam pemikiran politik. Namun kini mereka lebih memilih berpaling dari “ka’bah” dan bangga jadi petani melon lagi,” tulis Taufik. Intinya Gade Salam akan keok oleh Yusri karena rakyat Pidie Jaya lebih suka melon alias Yusri.
Kali ini Taufik kecele. Ketika rakyat Pidie Jaya datang memilih tak lama setelah tulisan Melon muncul di Harian Aceh, buah melon yang berserakan di pasar membusuk. Melon yang ada di kebun-kebun mendadak layu, bahkan di beberapa kebun seperti di Luengputu melon-melon itu tercerabut dari akarnya. Rakyat bergempita menyambut kemenangan Gade Salam. Dimana mana orang bertemu langsung bersalaman. Tak ada yang menyuguh melon, baik yang dicincang maupun yang telah dibuat jadi jus segar. Realitas ini yang kemudian mengharuskan Taufik Al Mubarak menulis catatan kaki di diakhir artikel Melon dalam Aceh Pungo; “NB: Pilkada Pidie Jaya putaran kedua ternyata dimemangkan Gade Salam.” (halaman 16). Perhatikan kata “ternyata” yang digunakan.
Begitulah tidak semua kita mampu meraup segalanya. Taufik dengan latar belakang aktifis dan bergelut dengan politik, ketika menjadi penulis harus beripikiran netral, proporsional; dan profesional. Matematika dan aritmatika politik selalu memiliki rumus-rumus yang tak berumus. Bila seorang penulis mencoba membuat kupasan politik, pisau analisanya harus tajam. Jangan sekali-kali mencoba memihak. Begitu penulis kolom politik memihak, dia tidak lagi sebagai analis, tetapi sebagai partisan.
Kadangkala seorang Taufik Al Mubarak tidak bisa lepas dari nuansa ini, termasuk dalam menulis “Pojok Gampong” yang kemudian menjadi bagian dari buku Aceh Pungo. Sebagai aktifis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) tentu saja dia berpihak pada kepentingan Aceh atau cita-cita Aceh waktu itu. Hampir semua tulisannya dalam Harian Aceh (yang kemudian menjadi Aceh Pungo) dan artikelnya di tabloid SUWA memperlihatkan kecenderungan tersebut. Dia sangat peduli tentang Aceh dan simbol-simbol ke-Aceh-an. Kepeduliannya tidak hanya dilahirkan dalam bentuk sanjungan dan puji-pujian, tetapi juga dengan sindiran. Pembelaannya amat kental.
Tapi yang perlu dipahami juga bahwa dia selalu tidak memberi kesimpulan dalam tulisan-tulisannya, seperti halnya tidak ada seorang pedagang di pasar tradisional yang memaksa pengunjung untuk membeli dagangannya. Tugas pedagang memajang barang, menyebut harga, melayani tawar menawar, dan berusaha mempromosikan bahwa barangnya bagus. Soal mau beli atau berapa yang dia beli, terserah kepada pengunjung pasar –yaitu kita para pembaca bunga rampai Taufik. Saking tidak mau memaksa dan tak mau menggurui pembaca, Taufik sangat sering menggunakan kata atau kalimat “entahlah!”.
Paling tidak kalimat “Entahlah” kita dapat sebanyak lima kali, meskipun itu bukan semata-mata keraguan atau ketidak-teguhan seorang penulis atas ide-ide yang telah sisampaikan atau lari dari tanggungjawab. Tulisan-tulisan dalam Aceh Pungo yang notebenya adalah artikel by line dalam sebuah media memang menjadi tanggungjawab penulisnya. Oleh karena itu, sang pengarang seharusnya menentukan sikap terhadap apa yang ditulis, melalui kesimpulan yang mengental atau merasuk.
Oleh karena itu saya lebih nyaman dan berpuas hati ketika Taufik menutup artikelnya dengan kata kunci seperti: “….. karena itu ada dalam hati kita” (halaman 120) atau “…..tanpa berpolitik pun perempuan tetap punya kedudukannya yang mulia.” (halaman 130), “Jadi berita berubah menjadi dusta” (halaman 144) dan lain-lain, ketimbang dia mengakhiri dengan kalimat, misalnya: “ ….apakah kita sekarang termasuk dalam golongan seperti ini atau tidak, saya sendiri tidak tahu… Mudah-mudahan tidak tahu.” (halaman 198).
Saya juga mencatat beberapa kekeliruan yang dilakukan penulis buku ini. Misalnya “para” tempat menyimpan barang-barang di rumah Aceh. Taufik menyebutkan para sama dengan sandeng. Secara fungsional memang sama, tetapi secara struktural beda. Para terletak melintang paling atas di kedua ujung rumoh inong pada rumah Aceh.. Sedangkan sandeng posisinya membujur di rumah induk, atau bisa melintang di anjong atau rumoh dapu. Di bawah sandeng ada tiphiek yang lebih rendah dari lantai seuramoe likot.
Sandeng letaknya lebih rendah dan kadang-kadang dapat dijangkau anak-anak. Karena itu barang-barang penting tidak diletakkan di sandeng, tetapi di para, termasuk boh itek jruek untuk kenduri maulid. Bedakan pula antara para dengan bara yang selain sebagai penguat tiang, juga bisa untuk menyimpan barang-barang, seperti bate ranup, atau ceureupa rukok.
***
Taufik Al Mubarak adalah sebuah potret kebimbangan masa kini atau pijakan masa lalu dan tatapan masa depan. Buku Aceh Pungo adalah konklusi ke arah itu. Dia coba menyodorkan kepada kita pilihan-pilihan tentang apa yang kita inginkan. Dia menulis dalam dua karakter sekaligus: menyuguhkan fakta terutama tatkala Aceh mengalami konflik dan setelah Aceh berada dalam kedamaian seperti sekarang ini dan memberi perspektif berpikir bagi pembaca. Ada ironi, dan adakalanya sinis dan pesimis. Namun semua yang ditulis Taufik harus kita eja dalam kerangka memahami pergulatan pemikiran seorang yang relatif masih muda namun sarat “pengalaman” karena dia dibesarkan dalam sebuah suasana daerah yang karut marut.
Dengan masa kecilnya dia jalani di tengah-tengah masyarakat Aceh yang penuh dinamika “kekampungan” ditambah dengan literatur yang dia mamah, Taufik benar-benar menyuguhkan kepada kita sebuah potret atau tepatnya karikatural sosiologi politik masyakatat Aceh. Dia masuk ke relung-relung paling dalam sehingga mampu menguak misteri-misteri penyebab ketegangan antar kelompok masyarakat, atau antara masyarakat dengan instutusi pemerintah.
Selain menggunakan metafora-metafora Taufik banyak juga membuka secara blak-blakan, termasuk konflik antara masyarakat dengan aparat keamaman. (halaman 110). Atau bagaimana dia menyaksikan orang-orang ke luar masuk kamar kerja Pak Wagub, yang menurutnya, mereka sedang mengurus agar mendapatkan proyek (Walaupun kita tahu wagub takkan mau melanggar aturan, pen) atau membawa proposal. Dia juga mengkritik pegawai yang menjaga di ruang wagub tidak berlaku ramah kepada yang datang. “…. Saya seperti divonis sebagai pengemis atau orang yang meminta-minta,” katanya . (Tender, halaman 195).
Begitulah Taufik Al Mubarak yang mencoba memotret Aceh dengan jujur tanpa menyembunyikan perasaan hati ditopang rasa curiga dan ragu-ragu. Curiga dan ragu terhadap suatu objek adalah modal bagi seorang pengarang untuk tampil menjulang. Berangkat dari keraguan dan ketidak-percayaan itulah kita berusaha mencari kebenaran. Kebenaran itu ada pada sebuah pasar tradisional yang dikelola seorang Taufik.
Di pasar tradisional, kita bisa melihat barang yang bagus, ikan segar, sayur hijau atau buah ranum. Yang busuk pun sering kita temui. Kalau ada yang merasa terganggu penciuman oleh bau busuk yang tampil di pasar “Aceh Pungo” Taufik, saya amat memahaminya dan bisa menikmati, karena itulah sebuah realitas ke-Aceh-an yang disajikan kepada kita semua. Lebih dari itu, kita adalah bagian dari pasar yang kita tamsilkan ini.
Barlian AW, budayawan
Sumber foto: AK Jailani www.acehimage.com
Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Fokus Harian Aceh, Selasa (17/03/09)
Tulisan yang diturunkan di halaman Fokus ini berasal dari makalah Barlian AW, yang dipresentasikan saat acara bedah buku Aceh Pungo di Kokpin Kitchen, Stui Banda Aceh, Senin (16/3). Tulisan ini penting diturunkan agar pembaca memiliki perspektif berbeda dalam membaca buku Aceh Pungo.
Oleh Barlian AW
Membaca Aceh Pungo seperti kita masuk ke dalam sebuah pasar. Dan pasar itu adalah pasar tradisional, yang di dalamnya bukan hanya kita temukan berbagai jenis barang keperluan sehari-hari, tapi kita akan berhadapan dengan berbagai karakter pedagang dan pembeli. Juga berbagai aroma yang aneh, dan kadang-kadang menusuk hidung.
Bagi yang jarang masuk ke sana, pasar seperti ini mengganggu penciuman, pendengaran, dan pemandangan. Tapi itulah sebuah realitas, seperti halnya realitas yang dipotret dan ditampilkan Taufik Al Mubarak dalam bunga rampai Aceh Pungo. Di pasar tradisional sering sekali kita tersuguhkan barang-barang yang bagus, buah ranum, serta ikan segar. Tetapi tidak jarang kita menemukan barang-barang yang barangkali sudah tak layak pakai dan tak layak konsumsi, tapi tetap digelar—siapa tahu ada yang membelinya—untuk mereka yang kurang berduit karena harga murah.
Taufik, penulis muda—karena belum tiga puluh tahun—adalah satu di antara pengarang produktif Aceh dalam setengah dasawarsa (lima tahun) terakhir. Memilih profesi sebagai wartawan membuat dia berkesempatan untuk menulis dan mengulas. Tetapi tidak semua wartawan, termasuk wartawan produktif bisa dan mau berbuat seperti Taufik. Sebab untuk menulis esay atau kolom seperti ini, seorang wartawan tidak hanya cukup bermodal produktif, tetapi juga harus kreatif. Kreatifitas seorang wartawan juga ditentukan oleh latar belakang, pengalaman, serta bakat penunjang, yaitu bakat sastrawan.
Meski tulisan-tulisan dalam buku ini tidak terlalu menonjol aspek sastranya, tetapi Taufik mencoba meramu bahan-bahan tulisannya dengan mengutip cuplikan karya satra seperti hadih maja, pameo, serta pemikiran para satrawan dan filusuf dalam memperkaya tulisannya. Jika kita kembali ke falsafah pasar tradisoinal, sang pengelola pasar—dalam hal ini Taufik—mencoba menampilkan pajangan barang-barangnya dalam setting yang memungkinkan para pembeli—dalam hal ini pembaca—memiliki ruang yang bebas untuk memilih barang-barang yang bakal di beli.
Misalnya Taufik mencoba memilih judul-judul tulisan dengan mengambil kata keseharian masyarakat tempat dia dibesarkan, yaitu kata dan idiom Aceh, misalnya Catok Brok, Lampoh Soh, Reudok, Maop, dan lain-lain. Hal ini juga dilakukannya dalam narasi-narasi. Dengan demikian diharapkan pembaca tergiring ke dalam sebuah keingin-tahuan, sekaligus berinteraksi dengan ranah pengalaman masing-masing. Dia mengutip kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh masyarakat kampung, paling tidak kampung tempat Taufik dilahirkan dan dibesarkan.
Namun dalam mengutip ucapan langsung dialog masyarakat dan mengangkat idiom tadi, Taufik sempat terjebak dalam sebuah pemahaman yang sangat Aceh oriented. Dia menulis seolah-olah kata-kata itu hanya ada pada orang Aceh. Misalnya pada tulisan berjudul “Ureung (maksudnya Ureueng Aceh” (halaman 41). Awak tanyoe atau awak geutanyoe atau orang kita, tidak hanya ada dalam perilaku egaliter Aceh. Suku bangsa lain seperti dalam masyarakat Palembang ada istilah wong kito, atau orang Padang menyebut urang awak.
Banyak yang selama ini kita klaim sebagai milik orang Aceh, sebenarnya juga dimiliki oleh suku bangsa lain, karena sesungguhnya Aceh hanya bagian dari nusantara yang budayanya—baik dalam berbentuk tanjibel maupun intanjibel saling—terkait erat karena berangkat dari akar yang sama yaitu akar Melayu. Apa yang kita banggakan seperti rapai daboh, jenis yang sama juga ada di daerah lain di Indonesia, malah sampai ke Madagaskar dan Suriname.
Hal ini penting bagi kita dan juga para penulis. Memahami istilah, perilaku budaya sangat penting, terutama ketika kita ingin menulis tentang potret masyarakat lokal seperti halnya dalam Aceh Pungo yang ditulis Taufik. Meski tidak didasari pada penelitian, tetapi berdasarkan pendengaran penulis dari ucapan masyarakat—yang oleh Taufik disebut budaya oral—agaknya akan lebih baik kalau hal itu dikonfirmasi dan dicek keabsahannya untuk memungut makna sebenarnya dari ucapan, pameo, atau petuah yang digunakan masyarakat.
Dengan demikian kita tidak terjebak dalam pemahaman sempit sehingga akan keliru dalam pembahasan selanjutnya. Analisis seorang penulis harus selalu diasah agar lebih tajam ketika membahas sesuatu dengan tepat –paling kurang tidak terlalu melenceng. Mengalisis dan memprediksi sesuatu, misalnya masalah politik harus hati-hati, dan jangan sekali-kali tendensius. Meskipun banyak analisis dan ulasan Taufik yang mengena dan benar, tapi ketika dia mengedepankan emosi, dia terjebak, dan itu menjadi hambar di hati pembaca.
Ini terlihat ketika dia menulis tentang pilkada Pidie Jaya di bawah judul Melon (halaman 15). Ketika tulisan itu muncul di Harian Aceh edisi 1 November 2008, saya merasa terusik membacanya. Padahal saya selalu nyaman membaca tulisan tulisan Taufik sebelumnya karena memiliki nuansa dan warna warni dalam memilih topik dan bahan bahasan. Pernah suatu kali saya menyarankan agar kolom “Pojok Gampong” tidak ditempatkan di halaman dalam, tetapi di halaman luar dan tampilannya lebih menonjol. Namun Taufik beralasan, “Nanti saya dianggap narsis. Saya kan masih muda, jangan terlalu menonjol.” Ada rasa kecewa, tapi saya memahami sikap Taufik yang selalu suka merendah.
Namun kasus “Melon”membuat saya bertanya-tanya, kenapaTaufik terlalu berani bersikap. Dalam artikel tersebut dia dengan gaya metaforanya berpihak kepada Yusri yang sering disapa “Melon”—karena sukses menanam melon. Rivalnya Gade Salam yang diidentikkan dengan aktivis partai berlambang ka’bah –mengikut narasi Taufik—sudah tidak disukai lagi masyarakat. “Padahal dulunya gambar tersebut begitu sakral, sangat ideologis dalam pemikiran politik. Namun kini mereka lebih memilih berpaling dari “ka’bah” dan bangga jadi petani melon lagi,” tulis Taufik. Intinya Gade Salam akan keok oleh Yusri karena rakyat Pidie Jaya lebih suka melon alias Yusri.
Kali ini Taufik kecele. Ketika rakyat Pidie Jaya datang memilih tak lama setelah tulisan Melon muncul di Harian Aceh, buah melon yang berserakan di pasar membusuk. Melon yang ada di kebun-kebun mendadak layu, bahkan di beberapa kebun seperti di Luengputu melon-melon itu tercerabut dari akarnya. Rakyat bergempita menyambut kemenangan Gade Salam. Dimana mana orang bertemu langsung bersalaman. Tak ada yang menyuguh melon, baik yang dicincang maupun yang telah dibuat jadi jus segar. Realitas ini yang kemudian mengharuskan Taufik Al Mubarak menulis catatan kaki di diakhir artikel Melon dalam Aceh Pungo; “NB: Pilkada Pidie Jaya putaran kedua ternyata dimemangkan Gade Salam.” (halaman 16). Perhatikan kata “ternyata” yang digunakan.
Begitulah tidak semua kita mampu meraup segalanya. Taufik dengan latar belakang aktifis dan bergelut dengan politik, ketika menjadi penulis harus beripikiran netral, proporsional; dan profesional. Matematika dan aritmatika politik selalu memiliki rumus-rumus yang tak berumus. Bila seorang penulis mencoba membuat kupasan politik, pisau analisanya harus tajam. Jangan sekali-kali mencoba memihak. Begitu penulis kolom politik memihak, dia tidak lagi sebagai analis, tetapi sebagai partisan.
Kadangkala seorang Taufik Al Mubarak tidak bisa lepas dari nuansa ini, termasuk dalam menulis “Pojok Gampong” yang kemudian menjadi bagian dari buku Aceh Pungo. Sebagai aktifis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) tentu saja dia berpihak pada kepentingan Aceh atau cita-cita Aceh waktu itu. Hampir semua tulisannya dalam Harian Aceh (yang kemudian menjadi Aceh Pungo) dan artikelnya di tabloid SUWA memperlihatkan kecenderungan tersebut. Dia sangat peduli tentang Aceh dan simbol-simbol ke-Aceh-an. Kepeduliannya tidak hanya dilahirkan dalam bentuk sanjungan dan puji-pujian, tetapi juga dengan sindiran. Pembelaannya amat kental.
Tapi yang perlu dipahami juga bahwa dia selalu tidak memberi kesimpulan dalam tulisan-tulisannya, seperti halnya tidak ada seorang pedagang di pasar tradisional yang memaksa pengunjung untuk membeli dagangannya. Tugas pedagang memajang barang, menyebut harga, melayani tawar menawar, dan berusaha mempromosikan bahwa barangnya bagus. Soal mau beli atau berapa yang dia beli, terserah kepada pengunjung pasar –yaitu kita para pembaca bunga rampai Taufik. Saking tidak mau memaksa dan tak mau menggurui pembaca, Taufik sangat sering menggunakan kata atau kalimat “entahlah!”.
Paling tidak kalimat “Entahlah” kita dapat sebanyak lima kali, meskipun itu bukan semata-mata keraguan atau ketidak-teguhan seorang penulis atas ide-ide yang telah sisampaikan atau lari dari tanggungjawab. Tulisan-tulisan dalam Aceh Pungo yang notebenya adalah artikel by line dalam sebuah media memang menjadi tanggungjawab penulisnya. Oleh karena itu, sang pengarang seharusnya menentukan sikap terhadap apa yang ditulis, melalui kesimpulan yang mengental atau merasuk.
Oleh karena itu saya lebih nyaman dan berpuas hati ketika Taufik menutup artikelnya dengan kata kunci seperti: “….. karena itu ada dalam hati kita” (halaman 120) atau “…..tanpa berpolitik pun perempuan tetap punya kedudukannya yang mulia.” (halaman 130), “Jadi berita berubah menjadi dusta” (halaman 144) dan lain-lain, ketimbang dia mengakhiri dengan kalimat, misalnya: “ ….apakah kita sekarang termasuk dalam golongan seperti ini atau tidak, saya sendiri tidak tahu… Mudah-mudahan tidak tahu.” (halaman 198).
Saya juga mencatat beberapa kekeliruan yang dilakukan penulis buku ini. Misalnya “para” tempat menyimpan barang-barang di rumah Aceh. Taufik menyebutkan para sama dengan sandeng. Secara fungsional memang sama, tetapi secara struktural beda. Para terletak melintang paling atas di kedua ujung rumoh inong pada rumah Aceh.. Sedangkan sandeng posisinya membujur di rumah induk, atau bisa melintang di anjong atau rumoh dapu. Di bawah sandeng ada tiphiek yang lebih rendah dari lantai seuramoe likot.
Sandeng letaknya lebih rendah dan kadang-kadang dapat dijangkau anak-anak. Karena itu barang-barang penting tidak diletakkan di sandeng, tetapi di para, termasuk boh itek jruek untuk kenduri maulid. Bedakan pula antara para dengan bara yang selain sebagai penguat tiang, juga bisa untuk menyimpan barang-barang, seperti bate ranup, atau ceureupa rukok.
***
Taufik Al Mubarak adalah sebuah potret kebimbangan masa kini atau pijakan masa lalu dan tatapan masa depan. Buku Aceh Pungo adalah konklusi ke arah itu. Dia coba menyodorkan kepada kita pilihan-pilihan tentang apa yang kita inginkan. Dia menulis dalam dua karakter sekaligus: menyuguhkan fakta terutama tatkala Aceh mengalami konflik dan setelah Aceh berada dalam kedamaian seperti sekarang ini dan memberi perspektif berpikir bagi pembaca. Ada ironi, dan adakalanya sinis dan pesimis. Namun semua yang ditulis Taufik harus kita eja dalam kerangka memahami pergulatan pemikiran seorang yang relatif masih muda namun sarat “pengalaman” karena dia dibesarkan dalam sebuah suasana daerah yang karut marut.
Dengan masa kecilnya dia jalani di tengah-tengah masyarakat Aceh yang penuh dinamika “kekampungan” ditambah dengan literatur yang dia mamah, Taufik benar-benar menyuguhkan kepada kita sebuah potret atau tepatnya karikatural sosiologi politik masyakatat Aceh. Dia masuk ke relung-relung paling dalam sehingga mampu menguak misteri-misteri penyebab ketegangan antar kelompok masyarakat, atau antara masyarakat dengan instutusi pemerintah.
Selain menggunakan metafora-metafora Taufik banyak juga membuka secara blak-blakan, termasuk konflik antara masyarakat dengan aparat keamaman. (halaman 110). Atau bagaimana dia menyaksikan orang-orang ke luar masuk kamar kerja Pak Wagub, yang menurutnya, mereka sedang mengurus agar mendapatkan proyek (Walaupun kita tahu wagub takkan mau melanggar aturan, pen) atau membawa proposal. Dia juga mengkritik pegawai yang menjaga di ruang wagub tidak berlaku ramah kepada yang datang. “…. Saya seperti divonis sebagai pengemis atau orang yang meminta-minta,” katanya . (Tender, halaman 195).
Begitulah Taufik Al Mubarak yang mencoba memotret Aceh dengan jujur tanpa menyembunyikan perasaan hati ditopang rasa curiga dan ragu-ragu. Curiga dan ragu terhadap suatu objek adalah modal bagi seorang pengarang untuk tampil menjulang. Berangkat dari keraguan dan ketidak-percayaan itulah kita berusaha mencari kebenaran. Kebenaran itu ada pada sebuah pasar tradisional yang dikelola seorang Taufik.
Di pasar tradisional, kita bisa melihat barang yang bagus, ikan segar, sayur hijau atau buah ranum. Yang busuk pun sering kita temui. Kalau ada yang merasa terganggu penciuman oleh bau busuk yang tampil di pasar “Aceh Pungo” Taufik, saya amat memahaminya dan bisa menikmati, karena itulah sebuah realitas ke-Aceh-an yang disajikan kepada kita semua. Lebih dari itu, kita adalah bagian dari pasar yang kita tamsilkan ini.
Barlian AW, budayawan
Sumber foto: AK Jailani www.acehimage.com
Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Fokus Harian Aceh, Selasa (17/03/09)
Tags:
Resensi