Tak terasa, Aceh Pungo sudah cetakan kedua. Buku yang sangat ringan tersebut mendapat tanggapan positif (sekaligus negatif) di masyarakat. Namun itulah kekuatan sebuah buku: diterima atau ditolak masyarakat semakin membuat buku tersebut jadi bahan pembicaraan.
Terus terang, saya sendiri tak pernah membayangkan Aceh Pungo akan seperti sekarang: cetak ulang. Bagi saya, sudah cetak pertama saja lebih dari cukup. Tapi, seperti sering kita ucapkan, tugas kita hanyalah menulis, dan biar pembaca membuat kesimpulan.
Jika ternyata pembaca memberi respon positif, itulah bentuk penerimaan bahwa buku kita layak mendapat tempat di masyarakat. Karena sejelek apapun buku yang kita tulis, ia tak hanya semata-mata mewakili pikiran kita yang menulisnya, melainkan rangkuman pendapat masyarakat secara keseluruhan. Meski kita tidak bisa merefresentasikan diri sebagai juru bicara zaman dimana kita hidup.
Lalu, apakah saya senang? Entahlah. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Namun ada yang membuat saya kecewa, di cetakan kedua banyak terdapat kesalahan terutama di cover depan dan belakang. Jika diperhatikan secara seksama dan teliti terlihat jelas perbedaannya, terutama pada font nama penulis dan juga jabatan Nezar Patria yang memberi endorsment. Di cetakan pertama, nama penulis menggunakan font besar, dan jabatan Nezar sebagai Ketua Aliansi Jurnalis Independen, tapi di cetakan ditulis Ketua AJI Pusat (mohon maaf banget).
Sementara di cover belakang, tulisan nama saya kekurangan huruf 'i' (kurang vitamin i), sehingga tertulis Taufk Al Mubarak. Sedih membacanya...tetapi itulah manusia tak ada yang sempurna.
Terakhir, kepada kawan-kawan yang belum sempat membaca Aceh Pungo karena keburu habis di toko-toko buku, sekarang sudah tersedia lagi. Silakan dibeli sebelum keburu kosong. Jadikan buku itu sebagai dokumentasi atas rekaman suatu masa di Aceh yang menjurus ke hal-hal pungo.
Terus terang, saya sendiri tak pernah membayangkan Aceh Pungo akan seperti sekarang: cetak ulang. Bagi saya, sudah cetak pertama saja lebih dari cukup. Tapi, seperti sering kita ucapkan, tugas kita hanyalah menulis, dan biar pembaca membuat kesimpulan.
Jika ternyata pembaca memberi respon positif, itulah bentuk penerimaan bahwa buku kita layak mendapat tempat di masyarakat. Karena sejelek apapun buku yang kita tulis, ia tak hanya semata-mata mewakili pikiran kita yang menulisnya, melainkan rangkuman pendapat masyarakat secara keseluruhan. Meski kita tidak bisa merefresentasikan diri sebagai juru bicara zaman dimana kita hidup.
Lalu, apakah saya senang? Entahlah. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Namun ada yang membuat saya kecewa, di cetakan kedua banyak terdapat kesalahan terutama di cover depan dan belakang. Jika diperhatikan secara seksama dan teliti terlihat jelas perbedaannya, terutama pada font nama penulis dan juga jabatan Nezar Patria yang memberi endorsment. Di cetakan pertama, nama penulis menggunakan font besar, dan jabatan Nezar sebagai Ketua Aliansi Jurnalis Independen, tapi di cetakan ditulis Ketua AJI Pusat (mohon maaf banget).
Sementara di cover belakang, tulisan nama saya kekurangan huruf 'i' (kurang vitamin i), sehingga tertulis Taufk Al Mubarak. Sedih membacanya...tetapi itulah manusia tak ada yang sempurna.
Terakhir, kepada kawan-kawan yang belum sempat membaca Aceh Pungo karena keburu habis di toko-toko buku, sekarang sudah tersedia lagi. Silakan dibeli sebelum keburu kosong. Jadikan buku itu sebagai dokumentasi atas rekaman suatu masa di Aceh yang menjurus ke hal-hal pungo.
Tags:
buku