Umat Islam kembali menyonsong Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1430 H atau bertepatan dengan Minggu 20 September 2009, setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa ramadhan. Bagi umat Islam, Idul Fitri merupakan hari kemenangan setelah sebelumnya bertarung dengan Syaitan untuk menggapai predikat taqwa, sebagaimana dijanjikan Allah, dalam surat Al Baqarah ayat 183.
Idul Fitri, sering disebut sebagai kembalinya manusia ke kesucian atau fitrah. Saat Idul Fitri, manusia diibaratkan seperti bayi yang baru lahir tanpa noda: putih tanpa dosa apapun. Sebab, satu bulan sebelumnya, manusia sudah membakar dosa—karena Ramadhan sering disebut bulan untuk membakar dosa—melalui berbagai serangkaian ibadah puasa ramadhan. Selepas Idul Fitir, proses kehidupan manusia, dimulai lagi dari nol.
Namun, selama ini, Idul Fitri sering diidentikkan dengan pakaian baru, kain sarung baru, peci baru, dan semua perkakas rumah baru. Pokoknya, semua serba baru.
Akibatnya, praktik pamer pakaian dan perhiasan mewah tak dapat kita hindari, dan dapat kita saksikan saat manusia menunaikan shalat sunat Idul Fitri. Manusia mengagungkan yang namanya materialisme atau kebendaan. Kita harus mengubah paradigma seperti ini. Kita harus mendorong masyarakat tidak melulu menjadi masyarakat konsumtif dan memuja hedonisme, melainkan harus menjadi manusia produktif.
Jika sebelumnya, kita selalu menjadi manusia yang tak berguna, maka ke depan kita harus lebih berguna. Jika sebelumnnya kita tidak produktif, ke depan kita harus lebih produktif. Artinya, ke depan kita harus menciptakan berbagai inovasi dan menjadi manusia kreatif. Sehingga kehidupan yang kita lalui, selalu lebih maju selangkah dari sebelumnnya. Inilah yang diinginkan oleh agama dan juga oleh negara.
Selama sebulan penuh, melalui kewajiban puasa ramadhan, manusia dididik menjadi manusia sederhana, melalui perintah makan seperlunya, dan mengutamakan ibadah. Sebab, melalui ibadah puasa, Allah mengetuk hati manusia bahwa ada ciptaan-Nya yang tidak beruntung dalam hidupnya: makan sehari semalam satu kali, atau malah tanpa makan sama sekali. Karenanya, selama bulan puasa, manusia diperlakukan sama oleh Allah, bahwa manusia yang kaya juga dibatasi makan, terutama pada siang hari.
Melalui pelajaran seperti demikian, Allah melatih dan mengajarkan manusia untuk peduli kepada sesama. Melalui kewajiban menahan diri, manusia diharapkan tidak terkontaminasi dengan perilaku materialisme dan konsumerisme. Manusia juga harus peduli sesama dengan menumbuhkan jiwa kemanusiaan. Sebagai bukti bahwa melalui puasa ramadhan, manusia menjadi berubah dan benar-benar peduli satu sama lain, maka Allah mewajibkan membayar zakat fitrah.
Kewajiban membayar zakat fitrah, merupakan ujian, apakah selama sebulan penuh kewajiban tersebut mampu mendidik manusia menjadi peduli kepada sesama atau tidak. Karena, kewajiban membayar zakat fitrah merupakan manifestasi dari kemauan merasakan kepedihan hidup sebagaimana dirasakan oleh manusia yang kurang beruntung dalam hidup. Bukankah, selama sebulan penuh, semua manusia sudah dilarang makan pada siang hari, atau jadwal makan manusia sudah diatur sedemikian rupa, agar manusia tidak menjadi rakus?
Karena itu, jika sifat materialisme yang melekat pada diri manusia yang tidak pernah mengenal kata puas, belum juga berubah, maka esensi puasa ramadhan sudah gagal dilaluinya. Manusia seperti ini belum layak merayakan hari kemenangan, karena ibadah puasanya belum memberikan pengaruh apapun.
Jika demikian halnya, maka sebenarnya kita tidak berhak merayakan hari kemenangan, karena ternyata kita telah kalah dalam pertarungan selama sebulan penuh. Kewajiban puasa ternyata telah ‘gagal’ mendidik kita menjadi manusia yang peduli pada sesama. Apalagi, jika selepas puasa, tak terlihat sama sekali perubahan sebagai modal melewati hari-hari mendatang menjadi lebih baik, tidak ada dendam, tidak ada permusuhan, tidak ada sifat dengki.
Pembaca sekalian, usia Harian Aceh yang menanjak tiga tahun, tentu tak terlepas dari berbagai kekurangan dan kesilapan, baik dalam memberitakan setiap peristiwa maupun banyak keluhan pembaca yang luput respon dari segenap kru redaksi. Kami di redaksi sudah mencoba berbuat secara maksimal, namun karena kita manusia pasti banyak kekurangan dan kelemahan. Kami tentu saja tidak bisa memuaskan semua orang. Karena itu, di hari yang fitri ini, kami juga mohon dimaafkan. Mari kita menatap hari kemenangan dengan lebih optimis, bahwa hari esok harus selalu lebih baik. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H, Minal Aidzin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan bathin. (HA 190909)
Idul Fitri, sering disebut sebagai kembalinya manusia ke kesucian atau fitrah. Saat Idul Fitri, manusia diibaratkan seperti bayi yang baru lahir tanpa noda: putih tanpa dosa apapun. Sebab, satu bulan sebelumnya, manusia sudah membakar dosa—karena Ramadhan sering disebut bulan untuk membakar dosa—melalui berbagai serangkaian ibadah puasa ramadhan. Selepas Idul Fitir, proses kehidupan manusia, dimulai lagi dari nol.
Namun, selama ini, Idul Fitri sering diidentikkan dengan pakaian baru, kain sarung baru, peci baru, dan semua perkakas rumah baru. Pokoknya, semua serba baru.
Akibatnya, praktik pamer pakaian dan perhiasan mewah tak dapat kita hindari, dan dapat kita saksikan saat manusia menunaikan shalat sunat Idul Fitri. Manusia mengagungkan yang namanya materialisme atau kebendaan. Kita harus mengubah paradigma seperti ini. Kita harus mendorong masyarakat tidak melulu menjadi masyarakat konsumtif dan memuja hedonisme, melainkan harus menjadi manusia produktif.
Jika sebelumnya, kita selalu menjadi manusia yang tak berguna, maka ke depan kita harus lebih berguna. Jika sebelumnnya kita tidak produktif, ke depan kita harus lebih produktif. Artinya, ke depan kita harus menciptakan berbagai inovasi dan menjadi manusia kreatif. Sehingga kehidupan yang kita lalui, selalu lebih maju selangkah dari sebelumnnya. Inilah yang diinginkan oleh agama dan juga oleh negara.
Selama sebulan penuh, melalui kewajiban puasa ramadhan, manusia dididik menjadi manusia sederhana, melalui perintah makan seperlunya, dan mengutamakan ibadah. Sebab, melalui ibadah puasa, Allah mengetuk hati manusia bahwa ada ciptaan-Nya yang tidak beruntung dalam hidupnya: makan sehari semalam satu kali, atau malah tanpa makan sama sekali. Karenanya, selama bulan puasa, manusia diperlakukan sama oleh Allah, bahwa manusia yang kaya juga dibatasi makan, terutama pada siang hari.
Melalui pelajaran seperti demikian, Allah melatih dan mengajarkan manusia untuk peduli kepada sesama. Melalui kewajiban menahan diri, manusia diharapkan tidak terkontaminasi dengan perilaku materialisme dan konsumerisme. Manusia juga harus peduli sesama dengan menumbuhkan jiwa kemanusiaan. Sebagai bukti bahwa melalui puasa ramadhan, manusia menjadi berubah dan benar-benar peduli satu sama lain, maka Allah mewajibkan membayar zakat fitrah.
Kewajiban membayar zakat fitrah, merupakan ujian, apakah selama sebulan penuh kewajiban tersebut mampu mendidik manusia menjadi peduli kepada sesama atau tidak. Karena, kewajiban membayar zakat fitrah merupakan manifestasi dari kemauan merasakan kepedihan hidup sebagaimana dirasakan oleh manusia yang kurang beruntung dalam hidup. Bukankah, selama sebulan penuh, semua manusia sudah dilarang makan pada siang hari, atau jadwal makan manusia sudah diatur sedemikian rupa, agar manusia tidak menjadi rakus?
Karena itu, jika sifat materialisme yang melekat pada diri manusia yang tidak pernah mengenal kata puas, belum juga berubah, maka esensi puasa ramadhan sudah gagal dilaluinya. Manusia seperti ini belum layak merayakan hari kemenangan, karena ibadah puasanya belum memberikan pengaruh apapun.
Jika demikian halnya, maka sebenarnya kita tidak berhak merayakan hari kemenangan, karena ternyata kita telah kalah dalam pertarungan selama sebulan penuh. Kewajiban puasa ternyata telah ‘gagal’ mendidik kita menjadi manusia yang peduli pada sesama. Apalagi, jika selepas puasa, tak terlihat sama sekali perubahan sebagai modal melewati hari-hari mendatang menjadi lebih baik, tidak ada dendam, tidak ada permusuhan, tidak ada sifat dengki.
Pembaca sekalian, usia Harian Aceh yang menanjak tiga tahun, tentu tak terlepas dari berbagai kekurangan dan kesilapan, baik dalam memberitakan setiap peristiwa maupun banyak keluhan pembaca yang luput respon dari segenap kru redaksi. Kami di redaksi sudah mencoba berbuat secara maksimal, namun karena kita manusia pasti banyak kekurangan dan kelemahan. Kami tentu saja tidak bisa memuaskan semua orang. Karena itu, di hari yang fitri ini, kami juga mohon dimaafkan. Mari kita menatap hari kemenangan dengan lebih optimis, bahwa hari esok harus selalu lebih baik. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H, Minal Aidzin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan bathin. (HA 190909)
Tags:
editorial