Bacalah baik-baik posting di bawah ini, mulai dari judul hingga isinya sampai tuntas. Jika tidak dibaca tuntas (dan tidak dipahami baik-baik) sangat rawan terjadi salah paham, karena bisa memunculkan fitnah dan menganggap posting ini melecehkan falsafah Negara.
Kisah yang saya tulis ini kira-kira terjadi 8 tahun silam. Dalam sebuah obrolan santai (saya lupa di mana tempatnya, karena tak tercatat) dan ringan, seorang teman, sebutlah namanya Apa Dollah, mencoba menggunakan analisa lugunya membedah falsafah negara ini: Pancasila.
Seperti kita tahu, Pancasila itu sangat sakral, digali dari jatidiri bangsa dan bentuk penegasan bahwa Indonesia bukan Negara bukan-bukan tanpa falsafah bernegara. Tercatat dalam sejarah, Soekarno, sebagai orang yang pertama kali mengusulkan Pancasila sebagai falsafah Negara. Sehingga setiap 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Sementara 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila (tolong dilihat kembali di buku sejarah, karena bisa jadi saya keliru).
Bagi warga Negara, terutama yang ‘patriotik’ seperti kita di Aceh ini, pelecehan terhadap Pancasila tidak bisa dibenarkan. Melecehkan pancasila, berarti menghina bangsa ini dan para leluhur ‘fouding fathers’ yang bersusah payah mendirikan Negara ini dengan pancasila sebagai falsafahnya.
Apa Dollah, sudah tua renta. Umurnya lebih 70 tahun, 5 tahun lebih tua dari usia kemerdekaan bangsa ini. Pun demikian, semangatnya masih membara. Nada bicaranya masih tinggi dan berapi-api (tapi nggak sampai keluar api, loh!). Setiap kalimat yang diucapkannya selalu diberikan intonasi, kadang-kadang diulang-ulang. Hal ini memudahkan saya untuk menangkap inti dari omongannya. Soalnya, saya sudah berulang kali terlibat pembicaraan dengan dia. Saya jadi tahu mana ucapannya yang jadi inti, mana yang hanya sekedar sebagai bumbu.
Setelah bercerita panjang lebar, mulai dari politik nasional sampai lokal (sorry pakai majas antiklimaks), Apa Dollah membuat kesimpulan. (Saat itu saya menganggap kesimpulannya prematur). “Lakon para pemimpin negeri makin menjadi-jadi. Mereka ‘mengubah’ Pancasila melalui perilaku dan cara. Pancasila sudah diinjak-injak mereka sehingga hilang kesaktiannya,” mimik Apa Dollah cukup serius. Matanya menerawang jauh, menembus hamparan sawah yang berada di depan Bale Jaga tempat kamu duduk. Saya hanya tertunduk diam. Saya tunggu kalimat-kalimat berikutnya dari mulut yang sebagian gusinya tak lagi ditumbuhi gigi. Dia menghela nafas. Cukup panjang. Tapi tak ada kalimat lain yang keluar dari mulutnya.
“Maksudnya bagaimana?” pertanyaan saya itu seperti membangunkannya dari lamunan. “Perilaku yang bagaimanakah sehingga Apa mengatakan mereka melecehkan Pancasila?” sambung saya lagi. Apa Dollah kembali menghela nafas. Tangannya memainkan rokok Gudang Garam merah yang tinggal beberapa centi lagi. Apinya malah sudah hampir membakar merek pabrik.
Apa Dollah pun kemudian bercerita. Saya sendiri sudah tak sabar menyimak kalimat per kalimat yang akan meluncur dari mulutnya. Tak lupa saya membetulkan tempat duduk sehingga fokus menyimak setiap ucapannya.
“Coba anda perhatikan kejadian sehari-hari di negeri ini, tidak di tingkat pusat, tidak di tempat kita ini, semua orang lebih memuja orang-orang yang memiliki pangkat dan jabatan. Orang-orang mungkin sudah tak takut lagi sama tuhannya, mereka sudah takut pada mereka yang memiliki posisi tinggi di pemerintahan ataupun di militer,” Apa Dollah berhenti. Dia seperti menanti reaksi apa yang akan saya sampaikan. Tapi saya memilih diam. Saya tak berani menatap matanya yang terkesan liar.
“Karena perilaku demikian, mereka sudah mengubah falsafah Negara, dari Ketuhanan yang maha Esa, menjadi Ketuhanan yang maha bintang.” Apa Dollah kembali diam sejenak. “Mereka menuhankan presiden, panglima TNI atau atasannya yang memiliki kedudukan tinggi. Para petinggi yang memiliki kedudukan tinggi dalam memberi perintah seperti menurunkan ‘wahyu’ yang harus segera dilaksanakan. Lalai sedikit saja cukup berisiko,” sambungnya kemudian.
Kalimat-kalimat retoris berikutnya dari mulutnya tak bisa dibendung. Apa Dollah seperti ingin menumpahkan semua hal yang membuatnya marah. “Lihat apa yang dilakukan Soeharto terhadap rakyat ini? Apakah tindakannya membantai orang di Timor-timor, Papua, Maluku, Tanjong Priok, Lampung dan Aceh, serta di beberapa tempat yang tak bisa kita sebutkan satu persatu dapat disebut dia seorang Pancasilais? Orang-orang kritis dipenjarakan, kebebasan dibungkam, Koran yang tak mau nurut pada kehendak kekuasaa dibredel…apakah itu bukan sikap yang anti Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab,” kemarahannya tak bisa dihentikan.
“Apakah Soeharto memperlakukan semua orang Indonesia dengan derajat yang sama? Soeharto lebih memikirkan pembangunan di pusat kekuasaan, sementara orang-orang di Kalimantan, Papua, Riau, dan Aceh hanya jadi sapi perahan. Tak hanya hasil alamnya dikuras, tapi manusianya juga dibunuh.” Apa diam sejenak. Dia meneguk Kopi di depannya yang hanya tinggal di dasar gelas.
“Soeharto mengubah sila kedua Pancasila; Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi ‘Kemanusiaan yang dirantai!” simpulnya. Saya menangkap kebenaran dari kesimpulan yang dibuatnya. Dari cerita dan informasi yang saya dapatkan, sama sekali tak cukup alasan bagi saya untuk membantah kesimpulannya.
Saat saya sedang mencari kata-kata yang tepat untuk merespon ungkapannya, malah dibuat terkejut oleh dakwaan yang dilontarkannya kemudian. “Saat Soeharto berkuasa,” ujarnya pelan. Apa Dollah berhenti sejenak. “Selain semua partai politik diseragamkan dengan azas tunggal Pancasila, juga orang-orang dipaksa untuk masuk Golkar. Teungku-teungku di tempat kita banyak yang terpengaruh.
Soeharto membalik sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia menjadi “Persatuan di bawah pohon beringin!” Ada penekanan di kalimat terakhir yang diucapkannya. Sebagai seorang pelajar yang masih awam politik, jantung saya berdegup kencang. Untung saja omongan seperti ini terjadi di alam reformasi saat Soeharto tak lagi berkuasa. Coba kalau dulu ada orang yang bicara begini, bisa terpisah leher dengan kepala.
Soeharto membalik sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia menjadi “Persatuan di bawah pohon beringin!” Ada penekanan di kalimat terakhir yang diucapkannya. Sebagai seorang pelajar yang masih awam politik, jantung saya berdegup kencang. Untung saja omongan seperti ini terjadi di alam reformasi saat Soeharto tak lagi berkuasa. Coba kalau dulu ada orang yang bicara begini, bisa terpisah leher dengan kepala.
Ingin saya minta pamit pulang. Tapi tak tega, soalnya jarang-jarang Apa Dollah mau bicara politik yang masuk kategori level tinggi dan ‘subversif’. Selain itu, di Bale tempat kami duduk sudah mulai sepi. Ada yang ke pasar atau pulang ke rumah.
“Bakar dulu rokok Apa, ntar hilang puting rokok gudang garam merahnya gara-gara digigit?” saya sedikit basi-basi. Sejak membuang puntung rokok tadi, Apa Dollah belum juga membakar rokok lain. Saking seriusnya bicara, rokok di tangannya lupa dibakar.
“Hahaha…gara-gara bicara serius begini jadi lupa sama rokok,” ucapnya sambil meraih korek api kayu yang diletakkan persis di atas bungkus rokok ‘dukunnya’ itu. Saya sendiri juga mengambil rokok Sampoerna A Mild. Tak terasa sudah 5 batang rokok saya sulut sejak tadi. Hanya sisa 4 batang lagi di dalam bungkus, tapi lebih dari cukup untuk menemani Apa Dollah bicara politik.
Meski sudah terombang-ambing, gonta-ganti presiden, dari Soeharto ke Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, negeri ini tetap tak berubah. Pascareformasi, rakyat ingin perubahan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang seharusnya bisa berperan memantau kekuasaan dan tak jadi stempel penguasa malah seperti tak melakukan apa-apa. “Sehingga menjadi benar seperti disebut Gus Dur, DPR itu taman kanak-kanak.” Apa Dollah kembali menarik nafas. Berhenti sejenak. Sepertinya dia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menuntaskan argumentasinya.
Lama juga saya menunggu, tapi tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Mulutnya masih asyik menarik dalam-dalam rokok Gudang Garam merah. Sejurus kemudian asapnya mengepul. Sempat dua kali saya menangkap Apa Dollah terbatuk-batuk. Tapi dia lelaki yang cukup bersemangat. Tak sedikit pun dia merasa bahwa orang seumuran dia sudah tak bagus lagi menjadi pecandu rokok. “Kerakyatan yang dipimpin oleh kepala kerbau,” sambungnya kemudian. Saya kembali terkejut dan belum memahami maksud dari kalimatnya. Sepertinya ada yang terputus. Saya tak berani menanyakan maksudnya. Dia pasti sedang menyiapkan energi untuk menyelesaikan kalimat yang menurut saya terputus itu.
Saya mencoba menghubungkan dengan kondisi politik di Indonesia pasca 2009, di mana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi pemenang pemilu. “Apakah karena DPR banyak dihuni anggota dari PDI-P, partai yang menggunakan kepala kerbau sebagai lambang, sehingga Apa Dollah menyebutnya demikian?” saya mencoba mereka-reka. “Ataukah Apa Dollah sedang menertawakan kondisi hari ini, di mana otak para wakil rakyat yang duduk di lembaga dewan itu tak lebih pintar dari otak kerbau?” saya bertambah bingung. Belum mendapat jawaban yang pasti. Saya kemudian mencoba mengeja kembali bunyi Sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. “Apakah dewan itu tak lagi dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan? Tidak lagi dalam permusyawaratan/perwakilan? Apa ada hubungannya dengan pelengseran Gus Dur?” terus terang saya belum menangkap maksudnya.
Di tengah kebimbangan saya, Apa Dollah kembali melontarkan analisanya setelah membandingkan dengan kenyataan yang terjadi. Tapi anehnya Apa Dollah tak lagi menjelaskan soal Kerakyatan yang dipimpin oleh kepala kerbau. Terus terang saya agak kecewa, tapi tak berniat membuat dia marah.
Apa Dollah menyambung, menurutnya, sejak dulu hingga kini, daerah-daerah kaya seperti Kalimantan, Papua, Riau dan Aceh hanya dijadikan sapi perahan. Hasil alamnya diambil, manusianya dibantai. Lagi-lagi Apa Dollah mengulang kejadian di Papua, Maluku, Kalimantan, Riau dan Aceh. Pemerintah pusat, katanya, tak hanya menguras hasil alam melainkan juga membunuh manusia yang mendiami alam itu.
“Bukankah ini bentuk pelecehan terhadap Sila Kelima: Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?” tanyanya tinggi. “Bukankah fakta yang terjadi seolah-olah keadilan bagi daerah-daerah kaya itu akan mendapatkan keadilan setelah mereka dibantai? Keadilan seakan-akan baru didapatkan setelah di kuburan!” tandasnya. Dada saya tersentak. Tak menyangka jika Apa Dollah sampai menyimpulkan demikian. Sebagai orang yang hidup di tiga zaman; Belanda, Jepang dan awal-awal Indonesia merdeka, wajar rasanya jika Apa Dollah sampai membuat kesimpulan demikian. Toh, fakta yang berserak di sejumlah Koran, buku dan internet memang begitu adanya. Apa hendak dikata.
Setelah terlibat pembicaraan panjang lebar itu, masing-masing kami pulang ke rumah. Ada sejumlah pertanyaan muncul di benak saya. Tapi tak ada waktu buat bertanya.