Sekecil apapun harapan, kata orang, suatu saat pasti akan jadi kenyataan. Begitu juga dengan harapan para blogger Aceh yang menginginkan Kompasiana menyambangi Aceh, akhirnya berbuah kepastian. Jika tak ada aral melintang, Kompasiana yang disponsori Telkomsel akan menggelar blogshop di The Pade Hotel, 26 Maret 2011.
Kenapa musti tanggal 26 Maret yang dipilih? Saya rasa ini bukan sekedar kebetulan belaka. Pasti ada alasan di balik kenapa tanggal ini dipilih. Tak elok rasanya memperdebatkan soal pemilihan tanggal. Toh, semua blogger Aceh sudah tak sabar menanti datangnya tanggal 26 Maret.
Namun, tak salah pula jika kita membuka sedikit kisah lama soal makna 26 Maret bagi orang Aceh. Semoga saja, seiring kedatangan kru Kompasiana ke Aceh, kita masih sempat mengenang peristiwa bersejarah yang—sedikit banyak—mempengaruhi Aceh dan sejarah yang ditulis kemudian hari. Andai peristiwa itu (peristiwa 26 Maret) tak terjadi, mungkin kondisi Aceh tak jadi seperti ini, atau setidaknya berbeda.
Baiklah, mari sejenak kita kembali ke masa silam. Ke masa ketika pada 26 Maret 1873, di atas sebuah kapal perang yang bernama Citadel van Anwerpen, saat Nieuwenhuyzen, komisaris Gubernemen Belanda dan bertindak atas nama Kerajaan Belanda memaklumkan perang atas kerajaan Aceh.
Nieuwenhuyzen, dengan mimik serius ditopang kumis yang kasar, dengan liur berbuih-buih mendakwa kerajaan Aceh telah melakukan perompakan dan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda di Selat Malaka. Tak hanya itu, dengan wajah murka dan berlagak tuan meminta Aceh melepaskan kewenangan mengontrol Selat Malaka serta memutuskan hubungan diplomatik dengan kerajaan Turki, Perancis, Italia dan Amerika.
Pernyataan perang itu, menurut beberapa buku sejarah (baca: Hasan Tiro; Aceh, Kelahiran Kemerdekaan Baru, 1992) juga karena kerajaan Aceh tak mau tunduk di bawah dominasi Belanda. Sikap congkak Belanda yang datang dari seberang dijawab tak kalah keras oleh pemangku kuasa di Aceh. Malah, seperti beredar dalam cerita-cerita di kalangan masyarakat Aceh, permintaan menyerah yang diajukan Belanda mendapatkan sindiran dari Majelis Negara Aceh, “Bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe nyang na lam nanggroe Aceh han ka teumueng raba, (Jangankan merebut negeri, ayam yang tanpa gigi pun yang ada di bumi Aceh tidak bisa kamu sentuh)”.
Tak usah bertanya, apa yang terjadi di bumi Aceh pasca-maklumat perang itu? Aceh terjebak dalam perang yang berkepanjangan. Sekitar 70 ribu pejuang Aceh menjadi korban, sementara di pihak Belanda sebanyak 35 ribu jiwa ikut menjadi korban di samping kerugian material yang cukup besar. Bahkan seorang perwira Belanda, Jenderal Kohler, yang memiliki kecakapan perang tewas di tangan pejuang Aceh dalam suatu peperangan di depan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kematian Jenderal Kohler berpengaruh besar terhadap keruntuhan mental para serdadu Belanda. Kerajaan Belanda terpaksa menarik pasukannya dari Aceh dan mempersiapkan rencana peperangan kedua secara besar-besaran.
Kompasiana Maklumkan Perang?
Saya percaya, pemilihan tanggal 26 Maret oleh tim dari Kompasiana bukan diilhami oleh sepenggal kisah awal Peperangan Aceh dengan Belanda. Jika pun—katakanlah—benar karena terilhami kisah itu, tim Kompasiana pasti memiliki alasan yang bisa diterima. Katakanlah, tim Kompasiana ingin mengajak para blogger Aceh untuk merenung, mengingat dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah heroik yang terjadi tersebut, serta mengajak orang Aceh tidak berpangku tangan dan segera bangkit dari keterpurukan, apakah karena tsunami atau konflik.
Tak hanya itu, bisa jadi pula tim Kompasiana ingin menjadikan tonggak sejarah 26 Maret sebagai titik balik memotivasi blogger Aceh untuk menulis sejarah sendiri. Toh, selama ini sejarah Aceh banyak ditulis oleh orang asing serta arsip sejarah Aceh banyak tersimpan di luar negeri. Sesuatu yang tak boleh lagi terjadi pada generasi Aceh di masa mendatang.
Jadi, kehadiran Kompasiana ke Aceh bertepatan 26 Maret anggap saja ingin memaklumkan semangat menulis di kalangan masyarakat Aceh. Apalagi belakangan ini, gairah menulis di kalangan masyarakat Aceh cukup tinggi. Menulis bukan lagi monopoli akademisi atau intelektual jebolan perguruan tinggi ternama di luar negeri, melainkan menjadi kegiatan kolektif, tak lagi mengenal jenjang pendidikan dan status sosial. Kompasiana sudah cukup paham soal ini, seperti tercermin dalam penggalan posting admin Kompasiana: “Seperti kita ketahui bersama, banyak bloger berkualitas dari Bumi Serambi Mekah turut andil membesarkan Kompasiana. Mereka memberi warna pada dunia tulis menulis di media online Indonesia.”
Baiklah, daripada berbasi-basi (ntar jadi basi benaran..hehehe) panjang lebar, saya sudahi saja posting ini sekaligus sebagai ajakan untuk meramaikan kegiatan blogshop Kompasiana di Aceh. Jika ada di antara kawan-kawan bertanya, kenapa judul posting ini menggunakan kata ‘perang’ anggap saja ini sebagai bentuk ‘menantang’ blogger Aceh untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Kepada admin, mohon maaf jika judul posting ini sedikit ‘usil’. Ini juga untuk pancingan. Salam.