Mengapa kita harus menulis? Bagi saya ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Hingga kini saya tak tahu untuk apa saya menulis? Apakah semata-mata ekspresi kebebasan, merawat ingatan, mengharapkan popularitas, uang, atau sekadar hobi?
Saya tak bisa menjawabnya. Sungguh, saya tak bisa menjawab pertayaan ‘biasa’ ini. Hanya saja, saya masih ingin terus menulis dan menulis. Hanya inilah yang bisa saya lakukan. “Banyak yang menderita penyakit menulis yang tidak tersembuhkan.” Kata-kata Juvenal, penulis Satires ini seperti menyindir saya, kita semua dan semua orang yang tergila-gila menulis.
Meski pertanyaan ‘mengapa kita harus menulis?’ sulit bagi saya, tapi sebenarnya pertanyaan ini justru mudah bagi Stephen J. Spignesi, seorang penulis buku-buku best seller. Baginya, ini adalah pertanyaan yang menuntunnya untuk berbicara secara bebas dan menumpahkan segala hasrat yang terpendam dalam dirinya.
Dalam 6 Langkah Cepat Menjadi Penulis Andal, J. Spignesi mengutip kutipan dari Jalan Perlindungan, sebuah novel yang ditulisnya sebagai pendahuluan. Novel itu, katanya, bercerita tentang perkataan tokoh utama, seorang novelis legendaris, Lennon Blake, yang disebutnya sebuah intisari mengapa seorang penulis itu menulis. Spignesi bercerita tentang Lennon Blake, penulis Kemah Musik, salah satu best seller terbesar dalam sejarah penerbitan dan fenomena penulisan yang belum pernah terjadi di abad 20.
Karena menurut saya ini penting, saya ingin mengutip lengkap kutipan tersebut sebagai bahan renungan bagi saya. Sebab, jawaban-jawaban tersebut sebagai motivasi ketika penyakit ‘buntu’ menulis kambuh, seperti yang saya rasakan belakangan ini.
Dalam sebuah kelas bahasa, Karen, seorang pengagum berat sang penulis, dan selalu menanti waktu untuk mengikuti kuliah dari penulis idolanya di setiap kota yang dikunjungi Blake. Hingga saat itu tiba, Karen, yang terpesona dengan pembawaan sang penulis tersihir saat mengatakan, ‘menulis untuk hidup adalah cara yang menakutkan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila menulis adalah panggilan hidup, maka menulis sama pentingnya seperti makan, tidur, dan bernafas.”
Karen terdiam. Ia tak tahu harus menggali apa dari penulis itu, hingga seorang gadis berjerawat dengan rambut merah panjang membangunkan lamunannya, saat ia bertanya pada penulis.
“Saya harap anda tidak keberatan dengan pertanyaan saya, Profesor Blake, apa tujuan anda saat memulai penulisan Kemah Musik?”
Blake tersenyum. Ia mendesah. Menurutnya, pertanyaan itu selalu muncul dan harus berkali-kali mengulang jawaban yang sama di sejumlah kesempatan, hingga ia membuat ringkasan atas jawabannya.
“Apa tujuan saya? Ah, anak manis…kau ingin mengintip apa yang ada di balik tirai, kan? Kau ingin melihat keajaiba, kan? Kau ingin melihat titik nol dan sesuatu yang membuat kode ajaib sehingga saya menulis Kemah Musik, kan?” jawaban ini membuat gadis itu tersipu malu. “Baiklah, kau memintanya dan semoa Tuhan memberkahi jiwamu,” kata Blake padanya. Murid lain dalam kelas tertawa dan mulai memperbaiki tempat duduk, dan ingin menyimak kata dari sang penulis tanpa terlewatkan.
Blake berjalan ke ujung koridor kelas, di sana terdapat sebuah meja dan kursi lengan. Ia menariknya, dan kini berada persis di tengah-tengah panggung kelas. Ia kemudian menarik sebatang rokok dari bungkus di saku mejanya, meletakkannya di mulut, dan menyilangkan kaki kirinya di atas kaki kanan. Dia tak menyalakanan rokok itu. Dia menutup matanya beberapa detik, memindahkan rokok itu dari bibirnya, dan mulai berbicara.
“Saya ingin ini menjadi buku hebat.”
“Saya ingin ini menjadi jenis buku yang bersampulkan kulit dan berkertas indah dengan tulisan kecil mengisi halamannya.”
“Saya ingin ini menjadi sesuatu yang kau baca; sesuatu yang selalu kau bawa; sesuatu yang ada di sampingmu setiap waktu.”
“Saya ingin buku ini menjadi jenis buku dengan penunjuk halaman satin yang terjahit pada pinggir jilidannya.”
“Saya ingin buku ini menjadi hal terpenting dalam hidupmu.”
“Saya ingin merasa nyaman dengan membawanya dan tergetar setiap kali membukanya.”
“Saya ingin menulis sebuah buku yang membuatmu berterima kasih pada saya karena telah menulisnya.”
“Saya ingin pembaca buku ini seperti mengalami ketagihan obat yang parah. Bayangkan heroin, kokain, marijuana, alcohol, dan meskalin semua digabung menjadi senyawa dengan perbandingan yang sempurna yang akan menjagamu tetap euforik, kalem, terfokus dan kreatif 24 jam sehari, 7 hari seminggu.”
“Saya ingin buku ini menjadi best seller terbesar di dunia.”
“Saya ingin buku ini memenangkan hadiah nobel dan Pulitzer dan penghargaan buku nasional.”
“Saya ingin penulis-penulis terkenal mengirim e-mail dengan pesan yang melelahkan.”
“Saya ingin presiden menyebut buku ini pada konferensi persnya.”
“Saya ingin Oprah menamakan buku saya sebagai salah satu pilihan koleksinya karena tak ada lagi buku yang berharga untuk dipilih setelah milik saya.”
“Saya ingin kau membeli buku ini untuk semua teman dan anggota keluarga karena kau tidak dapat lagi hidup tenang jika tahu mereka tidak memilikinya.”
“Saya ingin buku ini ada di sampul setiap majalah dan semua toko di dunia.”
“Saya inin legenda dan mitos serta rumor beredar tentang saya, penulis buku yang hebat yang brilian tetapi menderita dan bertapa.”
“Saya ingin saya dan buku saya menjadi subjek di lusinan kelompok di internet dan ribuan penggemar situs web.”
“Saya ingin buku ini diterjemahkan dalam setiap bahasa di bumi ini, termasuk Esperanto.”
“Saya ingin publikasi Kemah Musik menjadi peristiwa paling penting dalam sejarah peradaban.”
“Saya ingin hewan-hewan tiba-tiba naik tingkat yang lebih tinggi, sehingga mereka dapat membaca buku ini; dan saya ingin mereka tahu bahwa alasan mereka harus segera menekan pedal gas evolusi adalah karena setiap menit mereka tidak dapat membaca berarti satu menit mereka tidak dapat membaca Kemah Musik.”
“Saya ingin perang berhenti setelah kedua belah pihak yang berperang membaca buku saya.”
“Saya ingin lobang ozon tertutup sendiri setelah membaca buku saya.”
“Saya ingin tumbuhan jadi bermata sehingga mereka dapat membaca buku saya.”
“Saya ingin binatang laut menghirup oksigen sehingga mereka dapat meningggalkan laut. Saya ingin di lautan terbangun jembatan, sehingga makhluk-makhluk ini bisa pergi ke toko buku.”
Lennon Blake berhenti sejenak. “Dan itulah mengapa saya menulis Kemah Musik.” Ruangan itu kembali sunyi.
Nah, dari kisah di atas, setidaknya masing-masing kita bisa mencopot salah satu alasan mengapa kita harus menulis. Jika pun kita tak punya alasan (tak terangkum dalam pernyataan di atas) anggap saja kita menulis untuk bukti bagi cucu kita kelak, bahwa kita pernah hidup!
---Sebelum menulis ini, saya tak bisa mengakses internet karena kartu 3 sejak Selasa (10/5) lalu tak pernah saya kasih stimulus dan energi Rp75 ribu untuk memperpanjang nafas hingga sebulan kemudian. Tak ada koneksi internet, jadilah saya bisa bebas membaca buku dan kemudian menuliskannya. Asyik juga hidup tanpa poker!
Tags:
Tips