Bara konflik di sejumlah daerah kian mengkhawatirkan,
sekaligus membuat kita prihatin. Kesan ini muncul saat membaca berita Kompas edisi Senin-Rabu (2-4 Juli 2012).
Sudah begitu mahalkah kondisi aman dan damai di negeri ini?
Andai Hasan Tiro Bisa Marah
Belanda yang lain
Partai Aceh Terbelah
Politik Mobilisasi Massa
Selama tiga hari berturut-turut, Kompas menyoroti pelbagai potensi konflik daerah yang tak kunjung
usai, membuat rasa kemanusiaan kita tersentuh. Betapa seriusnya masalah yang
dihadapi bangsa ini. Konflik tak hanya terjadi antarwarga, melainkan antara
warga dan aparat pemerintah seperti di Papua, Aceh, Mesuji (Lampung) dan
Morowali (Kalsel).
Baca dulu iniAceh dan Musem Luah Blang
Andai Hasan Tiro Bisa Marah
Belanda yang lain
Partai Aceh Terbelah
Politik Mobilisasi Massa
Ada kesan Negara cenderung membiarkan bara konflik itu melebar,
tanpa upaya serius mencari solusi bijak. Muncul tawaran perlunya mengoreksi dan
evaluasi kebijakan yang diterapkan di tingkat pusat, terutama di daerah, harus
sesuai dengan kondisi setiap daerah itu.
Kita setuju dengan Tajuk Rencana Kompas, 3 Juli 2012, bahwa Negara Kesatuan RI yang kuat dan kokoh
membutuhkan kepedulian dan kesungguhan untuk mengembangkannya. Negara tak hanya
penting hadir dalam upaya penyelesaian bara konflik di daerah, melainkan aktif
mendorong dialog dengan menghargai kearifan lokal. Kita tentu tak berharap,
pelbagai protes dan aksi anarki justru merongrong kesatuan bangsa, namun
upaya-upaya simpatik tetap diperlukan.
Dalam konteks Aceh, misalnya, pemerintah perlu lebih
proaktif mendorong pemerintahan Aceh yang baru agar mempertahankan perdamaian
Aceh. Upaya menjaga perdamaian, tak hanya menjadi kewajiban rakyat Aceh, melainkan
juga tanggung jawab pemerintah. Hal ini sejalan dengan posisi pemerintah dalam
Pilkada 2012 lalu: memilih opsi yang minim cost
politik dengan terlibat aktif menyelesaikan konflik regulasi Pilkada, sehingga
mantan pimpinan GAM bisa ikut pemilihan.
Dilema Aceh
Pemerintah pusat melalui Kementrian Dalam Negeri menjadi
aktor penting menengahi antara dua kelompok: satu pihak menginginkan Pilkada
ditunda jika KIP mengakomodir calon indepeden; satu pihak lagi ingin Pilkada
dilanjutkan sekali pun kandidat dari Partai Aceh tak mendaftar. Hasilnya,
setelah melalui serangkaian proses gugatan di Mahkamah Konstitusi, dicapai kata
sepakat: Pilkada tetap dilanjutkan dengan penyesuaian jadwal.
Konflik regulasi tak hanya membuat suhu politik Aceh memanas
dan berimbas pada aksi kekerasan: penembakan dan pemberondongan warga pendatang,
melainkan dapat mengoyak kondisi damai. Keterlibatan pemerintah sebagai
mediator penyelesaian konflik regulasi bertujuan meminimalkan jatuhnya korban
yang tidak perlu.
Terbentuk opini umum di Aceh, bahwa jika Irwandi Yusuf
memenangkan Pilkada, cost politik
jauh lebih besar, misalnya, di banding Zaini Abdullah-Muzakkir menang. Aksi kekerasan
bakal meningkat. Agenda pembangunan kesejahteraan terbengkalai. Fokus
pemerintah pusat akan kembali tersita ke Aceh. Tak hanya menguras energi dan
anggaran, perhatian pemerintah ke daerah lain juga terganggu. Karena Aceh bukan
satu-satunya daerah yang harus mendapatkan perhatian lebih dari pusat.
Pilihan pemerintah mengakomodir kepentingan Partai Aceh agar
bisa terlibat dalam Pilkada merupakan opsi paling aman. Hal ini terlihat,
setelah MK memerintahkan KIP memberi kesempatan kepada kader Partai Aceh,
kondisi Aceh relatif lebih aman. Penembakan dan pemberondongan warga pendatang
berkurang.
Namun, pemukulan mantan Gubernur Irwandi Yusuf oleh massa
saat menghadiri pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur Aceh, Zaini
Abdullah-Muzakkir Manaf, membuat kita prihatin. Apalagi, setelah itu, mobil
konvoi massa Partai Aceh diberondong di kawasan Lambaro, Aceh Besar. Aceh tak
juga beranjak dari ritus kekerasan.
Kondisi ini dilematis. Ternyata opsi paling aman pun tak
serta merta menjadikan Aceh beranjak dari aksi kekerasan. Artinya,
pascapilkada, Jakarta masih harus memberi perhatian lebih, dan tak memalingkan
muka dari Aceh. Sementara daerah lain menuntut perhatian serupa, seperti Papua,
misalnya.
Aceh Baru
Pemerintahan baru Aceh dihadapkan pada tiga tantangan besar
yang berpengaruh pada perdamaian, seperti disampaikan Dosen FISIP Universitas
Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam, Kompas (2/7):
keterbelahan politik setelah Pilkada 2012, penguasaan sumber daya alam, dan isu
lain terkait perjanjian damai yang belum terakomodasi dalam UU Pemerintahan
Aceh.
Tantangan itu harus menjadi agenda Gubernur Zaini Abdullah,
jika ingin mewujudkan Aceh baru. Keterbelahan politik pada Pilkada 2012 sangat
nyata, para mantan GAM terbelah dua: kubu Malik Mahmud (mewakili basis ideologi
GAM Swedia dan eks Libya) dan kubu Irwandi (kelompok yang menikmati hasil
kepemimpinan Irwandi).
Upaya rekonsiliasi mendesak segera dilakukan. Gubernur Zaini
Abdullah perlu merangkul semua tokoh atau pihak yang sebelumnya berseberangan.
Membangun Aceh tak bisa dilakukan oleh satu kelompok saja. Bagaimana pun juga,
Irwandi pernah berjasa menggulirkan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dan
mendapatkan suara signifikan, 30 persen, dalam Pilkada lalu. Artinya, secara
politik, Irwandi masih memiliki pengaruh besar yang bisa dimanfaatkan untuk bersama-sama
membangun kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.
Kita tentu bangga, bahwa secara umum kesejahteraan penduduk
Aceh meningkat. Namun, data terbaru Badan Pusat Statistik Aceh per 2 Juli 2012 membuat
kita terkejut: penduduk miskin di Aceh mencapai 909.040 jiwa pada Maret 2012
(19,5 persen), meningkat dibandingkan data Maret 2011 sejumlah 894 ribu jiwa (acehkita, 2/7). Ini menjadi tantangan
lain bagi pemerintahan baru menurunkan angka orang miskin di Aceh.
Upaya percepatan kesejahteraan menjadi mendesak jika merujuk
pada fakta lain, bahwa jumlah penduduk Aceh yang mengalami gangguan jiwa
mencapai 14,1 persen dari total jumlah golongan usia 15 tahun ke atas. Menurut
Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr M Yani, angka gangguan jiwa di Aceh berada di
atas rata-rata nasional, yang hanya 11,6 persen.
Ini hendaknya menjadi perhatian utama pemerintahan baru
Aceh. Aceh baru tak hanya jauh dari konflik kekerasan, melainkan juga minim
jumlah orang miskin dan orang gila!
Tags:
Artikel