Saya tertarik menulis posting ini setelah melihat gambar Tgk
Sofyan Ibrahim Tiba bersama Adnan Buyung Nasution diposting oleh Hendra Budian
di wall Facebook miliknya. Hendra memberi keterangan foto tersebut, “Pahlawan
perdamaian Aceh bersama pengacaranya ketika juru damai didakwa sbg teroris...”
Ya, semasa hidupnya, Sofyan Ibrahim Tiba selain sebagai dosen di Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Aceh, beliau juga terlibat sebagai juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
screenshot fb |
Teungku Sofyan asli putra Pidie. Dia lahir di desa Tiba,
Beureuenuen, Mutiara, pada 17 Juli 1947. Tak ada yang tahu kapan persisnya
beliau terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka yang didirikan oleh Teungku Hasan diTiro. Namun, saya pernah membaca satu buku yang ditulisnya, Referendum Aceh Ditinjau dari Aspek Hukum
Internasional. Ini buku cukup menarik dan aktual karena ditulis ketika
tuntutan referendum Aceh menggema di seluruh Aceh serta menjadi perhatian
public nasional dan internasional. Teungku Sofyan menyorot soal referendum Aceh
dari aspek hukum internasional serta hak asasi manusia. Dari buku tersebut,
jelas menunjukkan, bahwa Sofyan Ibrahim Tiba menaruh perhatian besar pada
gerakan pembebasan Aceh.
Saya pernah memiliki buku Referendum Aceh tersebut, hadiah
dari putra beliau, Oki Rahmatna Tiba (Oki Tiba). Buku itu dihadiahkan untuk
saya ketika sedang menyelesaikan skripsi Propaganda Sentral Informasi
Referendum Aceh. Namun, sialnya, buku tersebut hilang (kasarnya dicuri) dari
tumpukan buku di rumah kost saya. Saya sangat yakin, ada teman yang sengaja
mengambil buku itu dan tidak mau mengembalikan lagi. Beruntungnya, saya sempat
mencatat beberapa bagian penting buku tersebut untuk skripsi saya.--->
Jika sempat membaca bagian ini sang teman yang mengambil buku tersebut agar mau mengembalikan untuk saya.
Lalu, apa hubungannya dengan judul di atas? Baca
saja, nanti pembaca akan tahu sendiri bagaimana kaitannya. Sebagai informasi,
Teungku Sofyan Ibrahim Tiba terlibat sebagai perunding GAM sejak 2000 ketika
tercapai kesepakatan Jeda Kemanusiaan antara Pemerintah RI dan GAM. Setelah
Jeda Kemanusiaan berakhir, Teungku Sofyan menjadi utusan khusus GAM sekaligus
sebagai Ketua Tim Perunding di Joint Security Committee (JSC). JSC yang
dipimpin Thanongsuk Tuvinum, perwira militer asal Thailand, merupakan lembaga bersama antara GAM, Pemerintah RI, dan
Tim Pemantau Asing dari Hendry Dunant Centre (HDC) yang memediasi dialog di
Jenewa yang dikenal dengan CoHA (Cessation of Hostilities Agreement). CoHA disepakati pada 9 Desember 2002.
Kesepakatan CoHA ternyata tak bertahan lama. Karena,
perselisihan pendapat terus terjadi antar para pihak. Terakhir, pihak GAM
meminta HDC agar mengeluarkan tim pemantau dari Philipina yang diduga terlalu
memihak Pemerintah Indonesia. Selain itu kerap terjadi pelanggaran terhadap
zona damai. Terakhir, terjadi pembakaran kantor JSC Aceh Tengah oleh para
milisi. Sejak saat itu, kondisi Aceh kembali memanas, hingga muncul tuntutan
pembubaran JSC dan pencabutan mandate terhadap HDC.
Para pihak kemudian sepakat untuk berunding kembali yang
difasilitasi oleh Amerika, Uni Eropa dan Pemerintah Jepang di Tokyo. Namun,
para juru runding GAM yang hendak hadir ke Tokyo ditangkap. Mereka dilarang
meninggalkan Aceh untuk waktu yang tidak ditentukan. Perundingan Tokyo juga
gagal meredam situasi Aceh yang memanas. CoHA tak bisa diselamatkan.
Puncaknya, pada 19 Mei 2003, Presiden Megawati mengumumkan penerapkan
darurat militer di Aceh. Akibatnya, Sofyan Ibrahim Tiba dan tim JSC dari GAM
seperti Amni Ahmad Marzuki, Muhammad Usman Lampoh Awe, Nashrudin bin Ahmed
ditangkap di Hotel Kuala Tripa. Mereka dituduh makar dan terlibat terorisme,
dan dihukum 15 tahun penjara.
Dalam satu persidangan yang digelar di PN Banda Aceh pada
Kamis, 9 Oktober 2003, Teungku Sofyan Ibrahim Tiba menyampaikan tanggapan atas
tuntutan jaksa penuntun umum. Judul tanggapannya, “Sesungguhnya Negara Aceh Belum Bubar”. Pledoi itu berjumlah 39
(sama dengan nomor urut Partai Aceh dalam Pemilu 2009, hehehe) halaman. Isinya, sangat beragam,
dari soal sejarah konflik Aceh, legalitas perjuangan GAM, hingga tuntutan GAM
ditinjau dari aspek hukum internasional.
Saya hanya mengutip beberapa bagian saja. Menurutnya,
Konflik Aceh juga dapat dipandang dan dianalisa dengan beberapa jenis hukum
tertentu terhadap tindakan dan tujuan Gerakan Aceh Merdeka, yaitu:
Pertama, Dalam
Analisa Hukum Tata Negara Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka yang berjuang
memperoleh kemerdekaan kepada Aceh, sesungguhnya tidak melawan hukum. Alenia
pertama UUD 1945 memberi peluang untuk mencapai tujuan itu sebagai hak Bangsa
Aceh, ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala Bangsa, dan oleh
karena itu semua penjajahan di atas dunia, harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Status Aceh jelas sebagai sebuah Bangsa, bukan Suku Bangsa.
Karena untuk menyebutkan Aceh sebagai sebuah Suku Bangsa, tidak ada rujukan
yang jelas. Akan tetapi menyangkut dengan status Aceh sebagai sebuah Bangsa,
jelas merupakan suatu ketentuan di dalam Ilmu Negara tentang teori hapusnya
suatu negara atau suatu Bangsa.
“Suatu negara atau bangsa yang telah ada di dunia hanya akan hilang statusnya kalau terhadapnya akan terjadi salah satu dari 2 sebab, yaitu pertama alasan alam, kalau misalnya buminya hancur/tenggelam menjadi lautan, dan kedua karena alasan politis, kalau Bangsa dari negara itu telah menggabungkan diri dengan suatu bangsa lain. Penggabungan yang dimaksudkan itu boleh menjadi bagian dari suatu negara lain, ataupun mendirikan sebuah negara bersama. Kita memaklumi bahwa Bangsa Aceh pada ketika pendudukan Belanda tidak pernah mengakui kedaulatan Belanda di Aceh. Dalam kedaulatan NKRI hingga sekarang secara prosedur yang patut, Aceh belum pernah dilaksanakan proses penggabungan. Dengan demikian menurut Hukum Tata Negara Indonesia, Aceh berhak untuk mendapatkan kemerdekaannya kembali. Hak dari bangsa Aceh yang dimaksudkan itu, juga ada kepentingan Bangsa Indonesia untuk mempertegas dan menjawab tuduhan Gerakan Aceh Merdeka yang menyatakan bahwa Pemerintahan Indonesia atas Aceh adalah kolonialis atau penjajahan. Bahwa Aceh untuk menjadi sebuah negara merdeka yang merupakan haknya atau menjadi bagian dari NKRI bila rakyat tetap menghendaki haruslah ditempuh melalui proses yang patut.”
Kedua, Analisa
Hukum Internasional. Hak menentukan nasib sendiri rakyat dan kesatuan-kesatuan
yang belum merdeka diakui secara tegas oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa dalam Resolusi tentang Penentuan Nasib Sendiri (Resolution on
Self Determination) tanggal 12 Desember 1958. Pada tanggal 10 November 1975,
Majelis Umum kembali mengeluarkan sebuah Resolusi, “Pentingnya realisasi
universal atas hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, terhadap kedaulatan
nasional dan integritas wilayah, dan mempercepat pemberian kemerdekaan kepada
negeri-negeri dan rakyat-rakyat terjajah sebagai kewajiban untuk dinikmatinya
hak-hak manusia.”
Tampaknya hak untuk menentukan nasib sendiri berkonotasi
kepada kebebasan untuk memilih dari rakyat yang belum merdeka melalui plebisit
atau metode-metode lainnya untuk memastikan kehendak rakyat.
Ketiga, Analisa
Hukum Islam. Para Fuqaha (ahli-ahli hukum Islam) berpendapat bahwa dalam Islam
tidak terdapat keharusan untuk mendirikan suatu negara Islam. Tidak ada
sumber-sumber hukum yang konkrit bagaimana bentuk difinitif dari suatu negara
Islam. Akan tetapi untuk membentuk dan mempertahankan keberadaan suatu negara
mesti merujuk kepada hukum-hukum agama. Banyak pengalaman bangsa-bangsa di
dunia untuk membentuk suatu negara dan dalam mempertahankan keberadaan suatu negara,
tidak bisa mengelak dari keharusan untuk berperang atau menggelar perang.
Sumber hukum Islam utama yaitu Al Quran dan sumber hukum Islam kedua Al Hadis,
tidak mengatur dengan siapa boleh dan tidak boleh berperang.
Akan tetapi menurut sumber hukum Islam yang ketiga, yaitu
Ijmak (kesepakatan para ulama) dengan tegas telah memfatwakan bahwa karena 3
alasan, Islam membenarkan bahkan mewajibkan untuk menggelar perang. Dan
seseorang yang mati karena berperang dengan 3 alasan itu, akan mendapat pahala
syahid.
Alasan-alasan berperang, yaitu 1) kalau diserang oleh suatu
negara asing. Tidak dijalaskan negara yang menyerang itu beragama Islam ataupun
bukan,
2) kalau dizalimi.
Baik terhadap nyawa atau pun harta, oleh siapapun, termasuk kalau dizalimi oleh
aparat negara sendiri, jelas melanggar HAM.
3) kalau agama
dilecehkan dan dihambat kesempatan beribadah.
Teungku Sofyan menjelaskan bahwa konflik bersenjata (perang)
yang terjadi di Aceh, memang tidak dapat dikaitkan dengan alasan pertama dan
ketiga. Tapi, yang menjadi landasan adalah alasan kedua yaitu karena dizalimi
oleh aparat negara terhadap nyawa dan harta. Alasan itulah yang merasupi
semangat juang para prajurit TNA yang bertempur di lapangan.
GAM Ingin Sempurnakan Syarat Bernegara
Menurut Teungku Sofyan Ibrahim Tiba, GAM sebagai pejuang
hak-hak Bangsa Aceh bertujuan untuk menegakkan kembali kedaulatan Negara Aceh
yang bermasalah sejak pendudukan Belanda tahun 1873. Caranya, kata Sofyan, dengan
menyempurnakan syarat-syarat sahnya Negara, yaitu a). Ada Rakyat yang mendiami suatu wilayah tertentu. b) Ada Wilayah tertentu yang menjadi basis
teritorial negara. c) Ada Pemerintah yang diakui oleh rakyatnya. d) Ada
Pengakuan Internasional, ataupun kemampuan pemerintah itu untuk mengadakan
hubungan internasional.
Dalam pembelaannya, Teungku Sofyan bersikukuh bahwa dari 4
syarat tersebut bagi GAM telah memperoleh 3 yaitu rakyat, wilayah dan
pemerintah di bawah kepemimpinan Dr. Teungku Hasan M di Tiro. Sedangkan syarat
ke-4 yaitu pengakuan internasional atau pun kemampuan pemerintah itu untuk
mengadakan hubungan internasional sedang dalam perjuangan.
Menurutnya, capaian perjuangan tujuan GAM paling kurang
telah mencapai 75%. Karena apabila bobot 4 syarat itu jika dianggap sama, maka
tiap bobot adalah 25%. Tiga bobot yang telah ada berarti 75%.
“Dalam praktek Hukum Internasional terakhir ini syarat pengakuan internasional sudah tidak mutlak. Yang penting adalah hubungan internasional. Persyaratan ini dipraktekkan oleh Negara Cina Taiwan yang tidak mendapatkan pengakuan internasional terhadap keberadaan negaranya. Walaupun begitu dengan kemampuan pemerintahnya mengadakan hubungan internasional, negara itu tetap eksis. Namun tidak semudah itu dapat diterapkan oleh pemerintah GAM terhadap Aceh.”
Pun demikian, lanjutnya, walaupun dari segi pencapaian
syarat-syarat sahnya negara telah memperoleh banyak kemajuan, misalnya dengan
nilai bobot telah mencapai 75%, perjuangan kemerdekaan Aceh akan berhadapan
dengan suatu kendala besar.
Teungku Sofyan menyampaikan bahwa kemerdekaan Aceh akan
terlaksana dengan persetujuan 3 pihak, yaitu: Pertama, Persetujuan Bangsa Aceh.
Kedua, Persetujuan MPR Indonesia. Ketiga, Persetujuan Internasional.
Dari 3 syarat persetujuan itu, lanjutnya, baru ada
persetujuan bangsa Aceh. Teungku Sofyan beralasan, bila dilaksanakan poling
pendapat secara jujur, langsung, bebas, dan rahasia, syarat itu akan diperoleh. ---->sebagai informasi, ketika panitia SIRA RAKAN menggelar polling soal masa
depan Aceh, lebih 95% masyarakat Aceh memilih memisahkan diri dari Indonesia.
Terlihat jelas, bahwa keikutsertaan Teungku Sofyan Ibrahim
Tiba dalam GAM bukan setengah-setengah, tapi secara total. Meski mendekam dalam
Penjara LP Keudah, Sofyan tetap percaya konflik di Aceh tidak akan dapat
diredam dengan perlawanan bersenjata oleh Indonesia. Ia pun berharap para pihak
kembali ke meja perundingan, agar Aceh kembali aman dan damai. Dan juga mereka
yang ditahan agar bisa kembali menghirup udara bebas.
Namun, garis hidup berkata lain. Saat Pemerintah Indonesia
berusaha memindahkan tahanan GAM keluar Aceh, termasuk memindahkan para juru
runding ke pulau Jawa, kondisi Sofyan sedang memburuk dan dirawat di RS Kesdam
Banda Aceh. Hal itu membuatnya tidak jadi dipindahkan ke pulau jawa seperti
rekan-rekannya. Beliau tetap bertahan di LP Keudah, Banda Aceh, bersama Irwandi
Yusuf yang juga tokoh Gerakan Aceh Merdeka.
Teungku Sofyan Ibrahim Tiba meninggal setelah gempa dan
Tsunami pada 26 Desember 2004 silam menghantam Aceh. Beliau berada di LP Keudah
yang luluh lantak dihantam tsunami.
“Semoga Allah melapangkan kuburan dan menempatkan beliau di
tempat yang layak.” Saya menulis komentar ini pada foto yang diposting Hendra
Budian. []
Tags:
catatan