Semalam di Singapore (6)

Beberapa saat kemudian, taxi yang kami tumpangi memasuki kawasan Geylang.  Laju taxi diperlambat. Setiap melewati blok (bisa disebut lorong, tapi ukurannya lebih besar), sang Sopir menunjuk ke arah cewek yang berseliweran di lorong itu. Dia bercerita, cewek yang 'melacurkan' diri tersebut, kebanyakan didatangkan dari Batam, Riau.


Menurut sopir, meski jumlah blok sangat banyak, hanya beberapa saja yang lebih 'ramai', parah serta tempat mangkal wanita-wanita nakal. Kami pun diajak untuk mampir di Geylang 17 dan 21. Menurut dia, di kawasan ini paling banyak cewek ‘nakal’ dari Indonesia.

“Tapi usia mereka sudah berkepala empat. Mungkin kalah bersaing dengan cewek-cewek muda di Batam, sehingga mereka berpindah ke sini (Singapore, pen),” jelas sopir kami.

Terus terang, saya tak fokus lagi menyimak omongan dia. Mata saya dan teman saya (Popon) tak pernah lepas melihat ke pinggir jalan. Terasa sekali kita memasuki kawasan nakal. Di setiap sudut toko, simpang atau di pinggir jalan, kami lebih banyak melihat cewek-cewek nakal. Mereka menyetop dan melambai ke setiap pria yang lewat.

Pakaian mereka super minim. Rok pendek di atas lutut. Malah ada super pendek, nyaris seperti memamerkan CD yang mereka pakai. Betis indah mereka bisa dinikmati gratis. Namun, baju mereka sedikit lebih sopan: lengan pendek dengan sedikit tampak belahan dada. Tapi ada juga yang super menor. Seperti tak memakai baju. Ketika disorot lampu mobil, kita bisa melihat lekuk-lekuk tubuh mereka. Bentuk dan warna Beha tercetak jelas.

“Kita duduk di warung itu saja,” kata sang Sopir sambil menunjuk ke warung masakan India. Menurut dia, selain menunya lengkap, masakannya juga enak. Harganya murah meriah.

“Iya, kami sudah lapar sekali,” kata T Irwani (Popon). Teman saya ini memang hobi makan. Tak heran jika tubuhnya tambun.

Kami memilih duduk di meja belakang, di sisi luar warung. Soalnya, meja di depan sudah penuh terisi. Di beberapa meja kami melihat sudah dikuasai cewek-cewek berpakaian menor. Mereka bercengkrama antar sesama. Sesekali tertawa lebar. Asap rokok di atas meja mereka tak henti-hentinya mengepul, mirip  cerobong di perusahaan pengeboran minyak. Kami melihat beberapa pria bule menemani mereka.

Di warung ini, saya memesan canai kuah kare, plus teh o (teh kosong). Teman saya, seperti biasa memesan mie pakai telur. Sementara si sopir hanya memesan minuman kaleng. Sambil menunggu makanan tiba, kami memperhatikan sekeliling. Beberapa cewek berwajah chinese bolak-balik di lorong samping warung tempat kami nongkrong.

Jangan coba-coba memotret aktivitas dan suasana di kawasan itu. Jika ketahuan, urusannya bisa panjang. “Sebaiknya jangan memotret di sini,” sang sopir taxi memperingatkan kami. Sebenarnya, saya sudah bersiap-siap mengambil beberapa angle foto. Rencana memotret terpaksa saya urungkan. Takut menimbulkan masalah.

Jalan itu gelap. Ukurannya tak sampai lima meter. Di sisinya berdiri pohon rindang. Di pinggir jalan itu, kami melihat beberapa mobil parkir sembarangan. Tak jauh dari itu, kami juga melihat beberapa cewek sedang duduk sambil menghisap rokok. Dari gaya berpakaian, mereka sepertinya sedang menunggu seseorang untuk membooking mereka. Hal itu kami ketahui, karena mereka sering menyapa dan menegur setiap pria yang lewat, lebih-lebih yang baru turun dari mobil.

Di sisi tempat kami duduk, sudah tak terhitung entah berapa cewek yang lewat. Kami pun bisa mencium berbagai macam aroma parfum. Dari yang wanginya biasa saja, sampai yang bisa membangkitkan birahi. Hidung kami menjadi terlatih untuk membuat analisa: ini pasti parfum mahal bermerek! Ini pasti parfum muriah.

Kebanyakan mereka memang menggunakan parfum yang baunya menyengat. Dari bau saja sudah membuat kita tertarik untuk mendekati si cewek.

Kami tidak tahu, apakah gaya kami mirip anak kampung yang baru lepas ke kota. Soalnya beberapa cewek yang duduk di depan kami sering kali melihat ke arah kami. Kadang saling beradu pandang. Gaya mereka sedikit menggoda. Pura-pura mengacung rokok. Sering juga sambil mengedip mata. Senyum dibuat segenit mungkin.

Cewek-cewek di situ semua siap tempur. Kita tak perlu takut mencari tempat melampiaskan nafsu semalam. Karena tak jauh dari tempat itu, terdapat beberapa motel atau losmen yang memang khusus untuk berbuat begituan.  Hal itu kami ketahui, karena beberapa pasangan keluar-masuk motel tersebut. Saat masuk, pasangan yang mau naik ke bulan itu saling berangkulan, berpegang tangan. Tapi ketika keluar, mereka seperti tidak saling kenal. Mungkin karena si wanita sudah menerima bayaran sesuai tarif.

Tapi berapa kira-kira tarif mereka untuk sekali kencan? Ini pertanyaan yang sejak awal kami simpan. Mau bertanya, malu. Tak bertanya, bikin penasaran. Minimal, kami perlu tahu berapa harga untuk sekali short time dengan cewek-cewek nakal itu?

Ayo...Mau tahu berapa tarif mereka? Simak sambungannya. -->Bersambung

Post a Comment

Previous Post Next Post