Sang sopir taxi
seperti bisa menangkap rasa penasaran yang terlintas di benak kami berdua. Dia
pun bercerita, bahwa tarif wanita di kawasan itu bervariasi. Wanita berwajah
mandarin berbeda harganya dengan yang berwajah India. Begitu juga, wanita yang
sudah berumur beda dengan yang masih muda.
“Yang murah itu biasanya yang masuk dari Batam,” katanya. “Apa mau mencoba?” sopir itu seperti menggoda kami.
“Yang murah itu biasanya yang masuk dari Batam,” katanya. “Apa mau mencoba?” sopir itu seperti menggoda kami.
Kami nyaris
tersedak mendengar pertanyaan spontan itu. Untung saja, pesanan kami segera
tiba. Kami memilih tidak menjawab. Hidangan di atas meja itu kini mulai kami
tarik lebih mendekat, agar nyaman ketika menyantap. Kini kami pun mulai sibuk
dengan makanan masing-masing. Sesekali saja kami saling menyahut.
Saat menyantap
hidangan, sering mata kami melirik ke sana ke mari, apalagi jika ada tamu yang
datang. Persis seperti orang hutan yang baru turun ke kota. Suasana di tempat
itu memang terlalu indah untuk dilewatkan. Makanya kami sering mencuri-curi
pandang, lebih-lebih pada cewek berwajah bersih dan fresh.
Tak terasa, kami
sudah hampir mengosongkan piring masing-masing. Itu saking laparnya kami malam
itu. Soal apakah makanan di situ enak seperti kata si sopir tak kami
perdulikan. Yang penting, kini perut sudah terisi. Ini akan menambah energi
untuk kami, terutama menghabiskan malam yang hampir pamit. Rencana kami pun
sudah bulat, bahwa kami tak perlu mencari penginapan. Karena serba tanggung.
Belum lagi, kami sama sekali tak tahu berapa tarif kamar hotel di Singapore.
Di sela-sela
menuntaskan melahap sisa makanan, obrolan kami berlanjut. Rasa penasaran berapa
tarif sekali booking cewek di kawasan itu, memaksa saya mencari jawab.
“Berapa
biasanya sekali booking cewek di sini?” saya membuang jauh-jauh perasaan tak
enak.
Teman saya,
Teuku Irwani, terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Dia tidak mengira saya
akan seberani itu.
“Apa serius
mau booking cewek?” sang sopir juga setengah tak percaya. Saya tarik nafas
dalam-dalam sebelum mengeluarkan suara. “Saya hanya ingin tahu saja, berapa
tarifnya,” saya tak bisa menyembunyikan rasa malu. “Minimal saya tahu, apalagi
jika nanti ada yang bertanya,” saya memberi alasan.
“Bilang saja
mau booking,” teman saya menyeletuk. Selepas itu dia tertawa keras,
sampai-sampai beberapa pasang mata di warung itu memalingkan muka melihat ke arah
kami.
“Harganya
tergantung pada berapa lama kita booking,” jawab sang sopir. “Kalau untuk
sekali kencan (short time) ya paling 50 dollar (Singapore),” lanjutnya.
“Kalau untuk
semalam?”
“Itu mahal,
bisa 400-700 dollar (Singapore),” jelasnya.
Menurut si
sopir, untuk sekali kencan yang 50 dollar sudah termasuk sewa kamar.
“Harga sekali
pakai 45 dollar, yang 5 dollar lagi untuk sewa kamar,” jelasnya.
Saya
perhatikan, di sepanjang jalan itu memang banyak berdiri penginapan sederhana.
Penginapan-penginapan di kawasan itu memang khusus untuk keperluan kencan.
Jarang ada yang khusus menginap di situ.
Si sopir kini
tahu, bahwa pertanyaan saya soal harga hanya sekedar basa-basi. Dia yakin, kami
tak berniat untuk mencobanya. Apalagi, dia tahu kami datang dari Aceh yang
Islamnya kuat.
“Suatu saat
Saya ingin ke Aceh, melihat langsung bagaimana perkembangan Islam di sana,”
katanya. Dia mengaku banyak mendengar soal Aceh, daerah yang dikenal dengan
daerah yang memberlakukan hukum Islam. Dia berharap, jika sempat ke Aceh, kami
mau menemaninya jalan-jalan.
Selanjutnya,
tak banyak topik yang kami bicarakan lagi. Dia pun menawarkan, apakah sudah
saatnya berangkat. Kami mengangguk. Selesai melunasi bayaran, kami segera
menyingkir dari warung yang kini semakin ramai saja. Di jalan-jalan juga cewek
berpakaian menor makin banyak. Ada yang sudah mengapit pasangan, ada yang masih
setia mencari mangsa.
“Sekarang
kemana lagi?” si sopir taxi membuka pembicaraan begitu kami sudah berada di
dalam mobil. Kami meminta diantarkan kembali ke kawasan patung Merlion, dan
berniat menghabiskan malam di sana.
Namun, si
sopir mengusulkan bagaimana kalau kami mampir dulu di Mustafa Center, pusat
perbelanjaan. “Kalian bisa membeli oleh-oleh di sana untuk dibawa pulang.
Mustafa itu buka 24 jam,” katanya menjelaskan. Kami mengiyakan.
Jadilah, kami
meluncur ke Mustafa Center. Dalam perjalanan, tak banyak yang kami bicarakan.
Pasalnya, kami masih belum puas menikmati gemerlapnya Singapore di malam hari.
Jadi, pandangan kami tak pernah lepas dari memandang ke segala sisi, melihat
pemandangan kota.
Di tengah
perjalanan, tiba-tiba, sang sopir menghentikan lamunan kami. “Di mana kalian
menaruh passport?” tanya dia. Tak menunggu kami menjawab, dia melanjutkan, “di
depan ada razia. Pasport kantongi saja. Nanti kalian diam saja, biar saya yang
bicara,” lanjutnya. Dia pun memastikan agar kami memakai sabuk dengan benar.
Terus terang,
kami gugup juga. Soalnya, kok ada razia selarut itu. “Mereka sering menggelar
razia dadakan, mencari orang yang masuk secara illegal. Atau biasanya kalau ada
kasus,” jelasnya.
Untung saja,
mobil kami tidak distop, dan dibiarkan segera lewat. Kami pun jadi tenang. Tak
lama kemudian, kami memasuki kawasan Mustafa Center. Dia berhenti tepat di
depan pintu masuk.
“Kalian masuk
saja, belanja segala keperluan. Saya mau ke tempat lain sebentar. Nanti saya
balik menjemput kalian,” katanya. Kami hanya mengangguk. Dalam hati muncul rasa
takut juga, kalau tiba-tiba dia tidak balik lagi. Soalnya, selarut itu sulit
mencari taxi.
“Tenang saja,
tak mungkin dia tak menjemput kita. Soalnya ongkos taxi belum kita bayar,” kata
teman saya. Si sopir pamit sebentar, dan segera melajukan taxinya. Kami pun
melangkahkan kaki memasuki pusat perbelanjaan yang buka 24 jam itu.[] --->bersambung
Tags:
Traveling