Musuh abadi dalam dunia sepakbola bukanlah tim, melainkan sistem. Kita mengenal dua sistem yang saling bertolak belakang: Total Football versus Catenaccio. Jika yang pertama mengandalkan sepakbola indah dan menyerang, yang kedua sangat memuja sistem bertahan.
Setidaknya, demikian kesimpulan yang saya dapat ketika membaca trilogi Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-bola Nasib karya Sindhunata, jurnalis dan pemimpin redaksi Majalah Basis. Sindhunata dikenal karena kolom-kolom sepakbolanya menyihir dan menginspirasi, yang dimuat di Kompas.
Total Football identik dengan De Oranje (Belanda). Sementara Catenaccio melekat lama pada tim-tim Italia, meski sesekali sering melakukan serangan balik mematikan.
Total football (sepakbola indah) mulai diperkenalkan Rinus Michels bersama seniman sepakbola Johann Cruyff, ketika keduanya berkolaborasi di tim Ajax Amsterdam. Ajaran Michels saat itu cukup singkat: larilah ke tempat di mana kamu akan kesakitan.
Tak hanya itu, secara tegas Michels mengajari Cruyff cara menundukkan lawan: jangan pernah melumpuhkan lawan dengan pedang, jika kamu dapat menggilasnya dengan tank! Cruyff kemudian memodifikasi ajaran itu sehingga melahirkan sebuah dogma: jika pemain depan menyerang, pemain tengah dan belakang segera ke depan pula. Sementara saat diserang, pemain depan harus turun ke belakang untuk mempersempit ruang gerak lawan.
Cruyff pula yang membawa sistem total football ke tanah Spanyol melalui klub Barcelona. Belakangan, di tanah Spanyol, sistem ini dikenal dengan Tiki Taka, sistem sepakbola dengan mengandalkan bola dari kaki-ke-kaki dan operan-operan pendek. Tiki Taka mengharamkan bola menganggur lama di kaki pemain. Melalui sistem ini, bola mengalir sangat lincah, dan seperti tak pernah menganggur. Masing-masing pemain dalam posisi siaga, karena harus cepat-cepat bergerak saat operan bola mengarah padanya.
Menguasai bola berarti memberi harapan bahwa bola itu akan segera mengalir, dengan demikian sulit dihentikan. Peluang menciptakan gol juga lebih besar. “Segera setelah kami menguasai bola, kami merasa nyaman,” kata Pelatih Spanyol, Vicente del Bosque, seusai menundukkan Jerman 1-0 saat Piala Dunia 2010 silam.
Sementara Catenaccio, sistem sepakbola yang mementingkan pertahanan. Dalam sistem ini dikenal, bertahan adalah format terbaik bagi serangan! Pelopornya Helinio Herrera yang dikenal sebagai birokrat sistem super catenaccio. Helinio Herrera menerapkan sistem ini saat menangani Inter Milan.
Hasilnya sangat luar biasa: Inter Milan juara Italia tahun 1963, 1965, dan 1966. Tak hanya itu, sistem ini pula mengantarkan Inter Milan menjadi juara Liga Champion tahun 1964 dan 1965, dan terakhir pada 2010 saat ditangani Jose Mourinho.
Sistem ini pernah dipuja Cesare Maldini, murid dari Nereo Rocco, bapak Catenaccio. Namun, Maldini saat menangani Italia tak puas hanya mengandalkan bertahan saja. Dia kemudian menyerap ilmu dari Enzo Bearzot, ekstremis serangan balik. Sehingga lahirlah ciri permainannya: serangan yang terkontrol dan terbangun perlahan-lahan, lahir dari kukuhnya pertahanan.
Dunia kemudian terbelah. Satu sisi orang menginginkan sepakbola indah dan juara. Di sisi lain orang tak memperdulikan sepakbola indah, namun yang penting bisa juara. Dua final Liga Champions, Barcelona versus Intermilan (2010) dan Bayern Muenchen versus Chelsea (2012) sudah cukup menjelaskan dua model ideologi sepakbola ini.
Jika dirujuk ke belakang, ironisme sepakbola indah pernah terjadi pada Piala Dunia 1974. Belanda yang memesona dunia melalui sistem total footballnya, di final ditundukkan Der Panzer Jerman yang kemudian jadi juara. Namun, pesona sepakbola indah tak lantas mati. Karena keampuhan total football kembali memukau pada Piala Dunia 1978, tapi juaranya Argentina.
Nasib lebih tragis terjadi lagi pada Piala Dunia 1998 di Perancis. Meski sempat digadang-gadang sebagai juara, Belanda sama sekali tak berkutik di bawah tarian Samba Brazil. Sepakbola indah Belanda harus puas finish di urutan keempat setelah ditundukkan Kroasia.
Tapi, Belanda sudah meninggalkan warisan berharga, bahwa bola itu harus indah dan menghibur. Juara akan datang dengan sendirinya. Toh, sepakbola indah juga sebenarnya juara itu sendiri. Meski, banyak yang menyebutkan, kadang-kala sepakbola indah juga membosankan, seperti mulai bosannya orang-orang pada permainan Barcelona. Entahlah! [TA]
Setidaknya, demikian kesimpulan yang saya dapat ketika membaca trilogi Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-bola Nasib karya Sindhunata, jurnalis dan pemimpin redaksi Majalah Basis. Sindhunata dikenal karena kolom-kolom sepakbolanya menyihir dan menginspirasi, yang dimuat di Kompas.
Total football (sepakbola indah) mulai diperkenalkan Rinus Michels bersama seniman sepakbola Johann Cruyff, ketika keduanya berkolaborasi di tim Ajax Amsterdam. Ajaran Michels saat itu cukup singkat: larilah ke tempat di mana kamu akan kesakitan.
Tak hanya itu, secara tegas Michels mengajari Cruyff cara menundukkan lawan: jangan pernah melumpuhkan lawan dengan pedang, jika kamu dapat menggilasnya dengan tank! Cruyff kemudian memodifikasi ajaran itu sehingga melahirkan sebuah dogma: jika pemain depan menyerang, pemain tengah dan belakang segera ke depan pula. Sementara saat diserang, pemain depan harus turun ke belakang untuk mempersempit ruang gerak lawan.
Cruyff pula yang membawa sistem total football ke tanah Spanyol melalui klub Barcelona. Belakangan, di tanah Spanyol, sistem ini dikenal dengan Tiki Taka, sistem sepakbola dengan mengandalkan bola dari kaki-ke-kaki dan operan-operan pendek. Tiki Taka mengharamkan bola menganggur lama di kaki pemain. Melalui sistem ini, bola mengalir sangat lincah, dan seperti tak pernah menganggur. Masing-masing pemain dalam posisi siaga, karena harus cepat-cepat bergerak saat operan bola mengarah padanya.
Menguasai bola berarti memberi harapan bahwa bola itu akan segera mengalir, dengan demikian sulit dihentikan. Peluang menciptakan gol juga lebih besar. “Segera setelah kami menguasai bola, kami merasa nyaman,” kata Pelatih Spanyol, Vicente del Bosque, seusai menundukkan Jerman 1-0 saat Piala Dunia 2010 silam.
Sementara Catenaccio, sistem sepakbola yang mementingkan pertahanan. Dalam sistem ini dikenal, bertahan adalah format terbaik bagi serangan! Pelopornya Helinio Herrera yang dikenal sebagai birokrat sistem super catenaccio. Helinio Herrera menerapkan sistem ini saat menangani Inter Milan.
Hasilnya sangat luar biasa: Inter Milan juara Italia tahun 1963, 1965, dan 1966. Tak hanya itu, sistem ini pula mengantarkan Inter Milan menjadi juara Liga Champion tahun 1964 dan 1965, dan terakhir pada 2010 saat ditangani Jose Mourinho.
Sistem ini pernah dipuja Cesare Maldini, murid dari Nereo Rocco, bapak Catenaccio. Namun, Maldini saat menangani Italia tak puas hanya mengandalkan bertahan saja. Dia kemudian menyerap ilmu dari Enzo Bearzot, ekstremis serangan balik. Sehingga lahirlah ciri permainannya: serangan yang terkontrol dan terbangun perlahan-lahan, lahir dari kukuhnya pertahanan.
Dunia kemudian terbelah. Satu sisi orang menginginkan sepakbola indah dan juara. Di sisi lain orang tak memperdulikan sepakbola indah, namun yang penting bisa juara. Dua final Liga Champions, Barcelona versus Intermilan (2010) dan Bayern Muenchen versus Chelsea (2012) sudah cukup menjelaskan dua model ideologi sepakbola ini.
Jika dirujuk ke belakang, ironisme sepakbola indah pernah terjadi pada Piala Dunia 1974. Belanda yang memesona dunia melalui sistem total footballnya, di final ditundukkan Der Panzer Jerman yang kemudian jadi juara. Namun, pesona sepakbola indah tak lantas mati. Karena keampuhan total football kembali memukau pada Piala Dunia 1978, tapi juaranya Argentina.
Nasib lebih tragis terjadi lagi pada Piala Dunia 1998 di Perancis. Meski sempat digadang-gadang sebagai juara, Belanda sama sekali tak berkutik di bawah tarian Samba Brazil. Sepakbola indah Belanda harus puas finish di urutan keempat setelah ditundukkan Kroasia.
Tapi, Belanda sudah meninggalkan warisan berharga, bahwa bola itu harus indah dan menghibur. Juara akan datang dengan sendirinya. Toh, sepakbola indah juga sebenarnya juara itu sendiri. Meski, banyak yang menyebutkan, kadang-kala sepakbola indah juga membosankan, seperti mulai bosannya orang-orang pada permainan Barcelona. Entahlah! [TA]
-------->sumber: Tabloid Offside edisi 02 1-10 Desember 2012
Tags:
catatan