“Tanpa kita, Bumi akan baik-baik saja dan akan tetap hidup; namun tanpa Bumi, kita bahkan tidak mungkin ada.”
Apakah Anda pernah mendengar kata Tangse, durian Tangse, atau beras Cantik Manis? Kalau belum, jika sempat singgah di Kabupaten Pidie, cobalah untuk menyambangi Tangse, kawasan yang terletak di kaki pegunungan Bukit Barisan. Wilayah ini berada di selatan Kabupaten Pidie dan sangat gampang dicari. Dari arah Kota Beureuneun, Mutiara, Tangse hanya berjarak lebih kurang 50 kilometer atau dua jam perjalanan dengan sepeda motor.
Cerita yang beredar dari mulut ke mulut, Tangse berasal dari kata Tangsi, yang artinya barak militer. Menurut si empunya cerita, pada zaman dulu, Belanda menjadikan Tangse sebagai benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat pengasingan untuk rakyat Aceh agar mudah dikontrol Belanda.
Tapi, bukan itu saja yang menarik dari Tangse. Bagi kami di Aceh, mendengar Tangse, yang muncul di benak adalah Dara (gadis) Tangse yang terkenal cantik dan berkulit mulus. Tangse juga terkenal dengan buah durian yang punya rasa khas: manis, ranum dan legit. Itu saja? Tentu saja tidak. Karena Tangse juga dikenal sebagai penghasil beras dengan kualitas bagus: Beras Cantik Manis. Harganya di atas harga beras biasa.
Tangse punya pemandangan menakjubkan: Gunung masih perawan, sungai belum tercemar, dan hawanya cukup sejuk. Air di sungai Tangse masih jernih dan dingin. Kita bisa melihat batu besar dan kecil dengan jelas di dalam sungai. Sungai itu menghidupkan warga Tangse, yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Salah satu andalannya ya Beras Cantik Manis.
Tapi, apa yang terjadi di Tangse, pada awal Maret 2011 dan Februari 2012? Banjir Bandang. Sungai meluap. Tanah longsor. Ratusan rumah warga hanyut, puluhan orang meninggal. Ini merupakan banjir yang terulang, seperti halnya banjir di Jakarta. Padahal, Tangse sudah lama tak dilanda banjir besar, setelah banjir besar 1980-an.
Kenapa bencana itu terjadi? Pemerhati lingkungan menyebutkan karena massifnya praktik illegal logging, perambahan hutan, konversi lahan hutan menjadi perkebunan, dan juga akibat proses eksplorasi dan eksploitasi tambang yang sangat marak di sana. Alam Tangse yang eksotis itu rusak, hanya sedikit saja yang masih tersisa. Itu pun dalam kondisi tak terjamin.
Bumi Manusia
Kisah hancurnya Tangse itu mengingatkan saya pada ungkapan bijak di atas. Ungkapan itu Saya kutip dari penutup buku The World Without Us yang diterjemahkan dan diterbitkan Gramedia (Juni 2009) berjudul ‘Dunia Tanpa Manusia’. Buku karya Alan Weisman, mantan editor di Los Angeles Times ini menjadi buku nonfiksi terbaik pilihan majalah Time.
Bagi saya, buku ini layak dibaca dan menjadi bahan renungan untuk kita yang akhir-akhir ini sering memperlakukan bumi bukan lagi sebagai tempat yang aman untuk hidup, bukan lagi sebagai teman dan sahabat, melainkan musuh yang tak henti-hentinya kita eksploitasi dan dikuras.
Sebagai manusia, kita seperti alpa, bahwa bumi menyediakan semua keperluan manusia untuk bertahan hidup: Laut tak pernah absen menyediakan berbagai macam jenis ikan untuk disantap manusia; Gunung dan hutan menyediakan bermacam jenis pohon dan tumbuhan, untuk keperluan manusia membangun peradaban. Di perut bumi mengandung bermacam sumber daya alam, fosil, dan material. Semua diperoleh manusia secara gratis. Bumi tak menuntut bayaran apapun pun. Tapi apa yang kita berikan untuk bumi? Kehancuran, kehancuran dan kehancuran!
Hutan yang dulu lebat dan rimbun, perlahan-lahan menjadi botak, gundul, dan sebagian sisinya terkuras karena manusia tak henti-hentinya menambang tanah. Pemukiman baru dibuka, termasuk untuk lahan pertanian, sawit dan sebagainya. Pohon-pohon ditebang, sebagian menggunakan cara primitif: membakar hutan! Pemandangan itu dapat disaksikan gratis dari udara. Kita akan melihat luka di setiap pegunungan yang kebetulan kita lewati melalui udara (dengan pesawat).
Laut yang selalu setia menyediakan kebutuhan ikan, juga tak luput dari upaya penjarahan. Manusia tak pernah kehilangan akal untuk meraih sesuatu secara instan. Mereka membuat pukat harimau untuk mengeruk isi laut. Jangankan ikan besar, benih pun tersapu. Sebagian lagi mencuri terumbu karang yang jadi hiasan laut, tempat ikan berkembang biak.
Manusia seakan tak sadar, bahwa ini adalah bumi manusia; tempat manusia beranak-pinak dan membangun peradaban. Manusia wajib menjaganya, seperti mereka menjaga diri sendiri. Manusia tak boleh lupa, bahwa tanpa bumi ini, manusia tak berarti apa-apa.
Bapak Nasional India, Mahatma Gandhi, pernah menyindir manusia-manusia serakah yang tak henti-hentinya menguras dan mengerok isi bumi, seakan tak puas-puasnya. “Bumi mampu memenuhi kebutuhan semua manusia. Namun tidak cukup untuk melayani segelintir manusia yang serakah.”
Kita baru sadar dan kelabakan, saat bumi mulai protes: kering, panas, gersang, tanaman mati sebelum dipanen, yang ditanam tak pernah tumbuh, dan sulitnya sumber air. Belum lagi, ketika bumi murka: banjir, gunung meletus, dan longsor. Saat itulah kita ingat, bahwa “Tanpa bumi, kita bahkan tak mungkin ada!”.
Air dan Peradaban
Air tak sekadar kebutuhan dasar manusia, tapi juga sumber kehidupan. Di mana ada air, yakinlah di situ pasti ada kehidupan. Dalam buku-buku sejarah, kita menemukan bukti, bahwa banyak peradaban kuno bermula dari penemuan sumber air. Kita mengenal peradaban Mesopotamia, yang berpunca pada dua aliran sungai besar, Eufrat dan Tigris (kini wilayah Irak). Begitu pula peradaban Mesir Kuno, ada di sungai Nil.
Cina modern yang kita kenal hari ini juga tak bisa lepas dari peradaban yang disebut peradaban Lembah Sungai Kuning atau Sungai Yangtze. Kita juga membaca sejarah peradaban di Sungai Indus (Pakistan) atau sungai Gangga (India). Tanpa penemuan sumber air Zam Zam pada masa Siti Hajar (Ibunda Nabi Ismail), mungkin saja tak akan ada kehidupan di tanah Arab, Mekkah dan Medinah yang kita kenal hari ini.
Peradaban umat manusia terbentuk tak lepas dari ketergantungan terhadap sumber air. Tak pelak, perebutan sumber air ini pula membawa kepada perang. Sejarah mencatat demikian. Konflik Palestina dan Israel tak melulu urusan soal agama, melainkan perebutan wilayah yang kaya sumber air, seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur.
Manusia mungkin bisa hidup tanpa rumah, tanpa ketersediaan bahan makanan. Tapi sangat sedikit penduduk bumi yang bisa hidup tanpa sumber air. Kita tentu tak bisa bayangkan bagaimana bumi yang 70 persen lebih permukaannya adalah air tiba-tiba mengering, gersang, dan tandus. Sementara tubuh manusia butuh lebih 80 persen air. Bagaimana kita bisa hidup?
Kita boleh saja berkilah, bahwa air adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Tapi jangan salah, kualitas dan kuantitas air itu sangat tergantung pada sejauhmana kita manjaganya. Belum lagi, sumber air terbesar itu, lebih 97 persen, ada di laut, yang rasanya asin. Hanya 3 persen saja air tawar untuk keperluan kita sehari-hari. Dari jumlah itu pun, dua pertiganya adalah gletser dan es di kutub untuk menstabilkan iklim global, dan hanya satu pertiganya saja yang dapat dimanfaatkan 7 miliar jiwa manusia (www.wwf.or.id).
Malah, menurut PBB seperti dikutip wwf.or.id, lebih dari satu miliar orang tidak memiliki akses terhadap air bersih, tiga miliar orang tidak memiliki layanan sanitasi yang memadai, dan angka kematian akibat penyakit menular melalui air yang kurang bersih mencapai tiga juta kematian per tahun.
Air dan Kehidupan
Benar, bahwa manusia hidup tak bisa dilepaskan dari ketersediaan sumber air. Apalagi, air tak hanya untuk sumber minuman, tapi juga keperluan mandi, mencuci, untuk pertanian dan kebutuhan penting lainnya. Dalam kondisi ini, air adalah sahabat manusia. Tapi dalam kondisi tertentu, air adalah sumber malapetaka. Air bukan lagi sumber kehidupan, melainkan kematian.
Hal ini sangat tergantung pada cara kita memperlakukan bumi yang 80 persen permukaannya adalah air. Sedikit salah dalam mengelola bumi dan alam, maka tunggulah akibatnya. Contoh Tangse di atas sepertinya bisa menjelaskan kondisi ini. Bahwa, jika kita terus merusak alam, maka alam akan membalasnya. Air yang kodratnya menghidupi manusia, akan menjadi sumber malapetaka.
Apa yang terjadi di Tangse, tak terlepas karena manusia tak memperlakukan bumi dan alam dengan semestinya. Karena yang kita lakukan adalah mengundang bala. Air yang seharusnya menjadi sumber penghidupan, justru kemudian menjadi penyebab kematian kita, karena kesalahan kita sendiri. Padahal, kehidupan kita di bumi, sangat tergantung pada bagaimana kita bersahabat dan memperlakukan bumi, sebagai tempat kita berpijak. Ingat, “Tanpa kita, Bumi akan baik-baik saja dan akan tetap hidup; namun tanpa Bumi, kita bahkan tidak mungkin ada.”
Mudah-mudahan ini menjadi renungan bersama. Bersahabatlah dengan bumi sebagai ibu kandung air untuk kehidupan kita! [Taufik Al Mubarak]
Apakah Anda pernah mendengar kata Tangse, durian Tangse, atau beras Cantik Manis? Kalau belum, jika sempat singgah di Kabupaten Pidie, cobalah untuk menyambangi Tangse, kawasan yang terletak di kaki pegunungan Bukit Barisan. Wilayah ini berada di selatan Kabupaten Pidie dan sangat gampang dicari. Dari arah Kota Beureuneun, Mutiara, Tangse hanya berjarak lebih kurang 50 kilometer atau dua jam perjalanan dengan sepeda motor.
Cerita yang beredar dari mulut ke mulut, Tangse berasal dari kata Tangsi, yang artinya barak militer. Menurut si empunya cerita, pada zaman dulu, Belanda menjadikan Tangse sebagai benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat pengasingan untuk rakyat Aceh agar mudah dikontrol Belanda.
Tapi, bukan itu saja yang menarik dari Tangse. Bagi kami di Aceh, mendengar Tangse, yang muncul di benak adalah Dara (gadis) Tangse yang terkenal cantik dan berkulit mulus. Tangse juga terkenal dengan buah durian yang punya rasa khas: manis, ranum dan legit. Itu saja? Tentu saja tidak. Karena Tangse juga dikenal sebagai penghasil beras dengan kualitas bagus: Beras Cantik Manis. Harganya di atas harga beras biasa.
Tangse punya pemandangan menakjubkan: Gunung masih perawan, sungai belum tercemar, dan hawanya cukup sejuk. Air di sungai Tangse masih jernih dan dingin. Kita bisa melihat batu besar dan kecil dengan jelas di dalam sungai. Sungai itu menghidupkan warga Tangse, yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Salah satu andalannya ya Beras Cantik Manis.
Tapi, apa yang terjadi di Tangse, pada awal Maret 2011 dan Februari 2012? Banjir Bandang. Sungai meluap. Tanah longsor. Ratusan rumah warga hanyut, puluhan orang meninggal. Ini merupakan banjir yang terulang, seperti halnya banjir di Jakarta. Padahal, Tangse sudah lama tak dilanda banjir besar, setelah banjir besar 1980-an.
Kenapa bencana itu terjadi? Pemerhati lingkungan menyebutkan karena massifnya praktik illegal logging, perambahan hutan, konversi lahan hutan menjadi perkebunan, dan juga akibat proses eksplorasi dan eksploitasi tambang yang sangat marak di sana. Alam Tangse yang eksotis itu rusak, hanya sedikit saja yang masih tersisa. Itu pun dalam kondisi tak terjamin.
Bumi Manusia
Kisah hancurnya Tangse itu mengingatkan saya pada ungkapan bijak di atas. Ungkapan itu Saya kutip dari penutup buku The World Without Us yang diterjemahkan dan diterbitkan Gramedia (Juni 2009) berjudul ‘Dunia Tanpa Manusia’. Buku karya Alan Weisman, mantan editor di Los Angeles Times ini menjadi buku nonfiksi terbaik pilihan majalah Time.
Bagi saya, buku ini layak dibaca dan menjadi bahan renungan untuk kita yang akhir-akhir ini sering memperlakukan bumi bukan lagi sebagai tempat yang aman untuk hidup, bukan lagi sebagai teman dan sahabat, melainkan musuh yang tak henti-hentinya kita eksploitasi dan dikuras.
Sebagai manusia, kita seperti alpa, bahwa bumi menyediakan semua keperluan manusia untuk bertahan hidup: Laut tak pernah absen menyediakan berbagai macam jenis ikan untuk disantap manusia; Gunung dan hutan menyediakan bermacam jenis pohon dan tumbuhan, untuk keperluan manusia membangun peradaban. Di perut bumi mengandung bermacam sumber daya alam, fosil, dan material. Semua diperoleh manusia secara gratis. Bumi tak menuntut bayaran apapun pun. Tapi apa yang kita berikan untuk bumi? Kehancuran, kehancuran dan kehancuran!
Hutan yang dulu lebat dan rimbun, perlahan-lahan menjadi botak, gundul, dan sebagian sisinya terkuras karena manusia tak henti-hentinya menambang tanah. Pemukiman baru dibuka, termasuk untuk lahan pertanian, sawit dan sebagainya. Pohon-pohon ditebang, sebagian menggunakan cara primitif: membakar hutan! Pemandangan itu dapat disaksikan gratis dari udara. Kita akan melihat luka di setiap pegunungan yang kebetulan kita lewati melalui udara (dengan pesawat).
Laut yang selalu setia menyediakan kebutuhan ikan, juga tak luput dari upaya penjarahan. Manusia tak pernah kehilangan akal untuk meraih sesuatu secara instan. Mereka membuat pukat harimau untuk mengeruk isi laut. Jangankan ikan besar, benih pun tersapu. Sebagian lagi mencuri terumbu karang yang jadi hiasan laut, tempat ikan berkembang biak.
Manusia seakan tak sadar, bahwa ini adalah bumi manusia; tempat manusia beranak-pinak dan membangun peradaban. Manusia wajib menjaganya, seperti mereka menjaga diri sendiri. Manusia tak boleh lupa, bahwa tanpa bumi ini, manusia tak berarti apa-apa.
Bapak Nasional India, Mahatma Gandhi, pernah menyindir manusia-manusia serakah yang tak henti-hentinya menguras dan mengerok isi bumi, seakan tak puas-puasnya. “Bumi mampu memenuhi kebutuhan semua manusia. Namun tidak cukup untuk melayani segelintir manusia yang serakah.”
Kita baru sadar dan kelabakan, saat bumi mulai protes: kering, panas, gersang, tanaman mati sebelum dipanen, yang ditanam tak pernah tumbuh, dan sulitnya sumber air. Belum lagi, ketika bumi murka: banjir, gunung meletus, dan longsor. Saat itulah kita ingat, bahwa “Tanpa bumi, kita bahkan tak mungkin ada!”.
Air dan Peradaban
Air tak sekadar kebutuhan dasar manusia, tapi juga sumber kehidupan. Di mana ada air, yakinlah di situ pasti ada kehidupan. Dalam buku-buku sejarah, kita menemukan bukti, bahwa banyak peradaban kuno bermula dari penemuan sumber air. Kita mengenal peradaban Mesopotamia, yang berpunca pada dua aliran sungai besar, Eufrat dan Tigris (kini wilayah Irak). Begitu pula peradaban Mesir Kuno, ada di sungai Nil.
Cina modern yang kita kenal hari ini juga tak bisa lepas dari peradaban yang disebut peradaban Lembah Sungai Kuning atau Sungai Yangtze. Kita juga membaca sejarah peradaban di Sungai Indus (Pakistan) atau sungai Gangga (India). Tanpa penemuan sumber air Zam Zam pada masa Siti Hajar (Ibunda Nabi Ismail), mungkin saja tak akan ada kehidupan di tanah Arab, Mekkah dan Medinah yang kita kenal hari ini.
Peradaban umat manusia terbentuk tak lepas dari ketergantungan terhadap sumber air. Tak pelak, perebutan sumber air ini pula membawa kepada perang. Sejarah mencatat demikian. Konflik Palestina dan Israel tak melulu urusan soal agama, melainkan perebutan wilayah yang kaya sumber air, seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur.
Manusia mungkin bisa hidup tanpa rumah, tanpa ketersediaan bahan makanan. Tapi sangat sedikit penduduk bumi yang bisa hidup tanpa sumber air. Kita tentu tak bisa bayangkan bagaimana bumi yang 70 persen lebih permukaannya adalah air tiba-tiba mengering, gersang, dan tandus. Sementara tubuh manusia butuh lebih 80 persen air. Bagaimana kita bisa hidup?
Kita boleh saja berkilah, bahwa air adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Tapi jangan salah, kualitas dan kuantitas air itu sangat tergantung pada sejauhmana kita manjaganya. Belum lagi, sumber air terbesar itu, lebih 97 persen, ada di laut, yang rasanya asin. Hanya 3 persen saja air tawar untuk keperluan kita sehari-hari. Dari jumlah itu pun, dua pertiganya adalah gletser dan es di kutub untuk menstabilkan iklim global, dan hanya satu pertiganya saja yang dapat dimanfaatkan 7 miliar jiwa manusia (www.wwf.or.id).
Malah, menurut PBB seperti dikutip wwf.or.id, lebih dari satu miliar orang tidak memiliki akses terhadap air bersih, tiga miliar orang tidak memiliki layanan sanitasi yang memadai, dan angka kematian akibat penyakit menular melalui air yang kurang bersih mencapai tiga juta kematian per tahun.
Air dan Kehidupan
Benar, bahwa manusia hidup tak bisa dilepaskan dari ketersediaan sumber air. Apalagi, air tak hanya untuk sumber minuman, tapi juga keperluan mandi, mencuci, untuk pertanian dan kebutuhan penting lainnya. Dalam kondisi ini, air adalah sahabat manusia. Tapi dalam kondisi tertentu, air adalah sumber malapetaka. Air bukan lagi sumber kehidupan, melainkan kematian.
Hal ini sangat tergantung pada cara kita memperlakukan bumi yang 80 persen permukaannya adalah air. Sedikit salah dalam mengelola bumi dan alam, maka tunggulah akibatnya. Contoh Tangse di atas sepertinya bisa menjelaskan kondisi ini. Bahwa, jika kita terus merusak alam, maka alam akan membalasnya. Air yang kodratnya menghidupi manusia, akan menjadi sumber malapetaka.
Apa yang terjadi di Tangse, tak terlepas karena manusia tak memperlakukan bumi dan alam dengan semestinya. Karena yang kita lakukan adalah mengundang bala. Air yang seharusnya menjadi sumber penghidupan, justru kemudian menjadi penyebab kematian kita, karena kesalahan kita sendiri. Padahal, kehidupan kita di bumi, sangat tergantung pada bagaimana kita bersahabat dan memperlakukan bumi, sebagai tempat kita berpijak. Ingat, “Tanpa kita, Bumi akan baik-baik saja dan akan tetap hidup; namun tanpa Bumi, kita bahkan tidak mungkin ada.”
Mudah-mudahan ini menjadi renungan bersama. Bersahabatlah dengan bumi sebagai ibu kandung air untuk kehidupan kita! [Taufik Al Mubarak]
Note: Tulisan ini sebagai bahan renungan pada peringatan Hari Bumi (Earth Day) yang diperingati setiap tanggal 22 April.
Tags:
Artikel