Semalam di Singapore (8)

Saya dan Popon mulai bergerilya memburu barang untuk oleh-oleh buat keluarga. Kami berpindah dari satu blok ke blok lain. Antara satu blok dengan blok lain lumayan jauh juga. Semua yang jualan di situ menawarkan barang-barang bagus, dan layak untuk dibeli. Tapi, karena kondisi kantong yang tidak stabil, kami terpaksa memilih barang yang benar-benar penting dan perlu, tentu saja yang harganya terjangkau.
Baca tulisan sebelumnya Semalam di Singapore (7)
Begitu berada di dalam, kami tidak langsung membeli, melainkan melihat-lihat dulu seisi mall. Minimal sebelum membeli, kami sudah memiliki bayangan apa saja yang hendak dibeli. Kami ingin memanjakan mata dulu.

Saking terlalu asyik melihat barang dagangan di suatu blok, saya dan Popon sering terpisah. Untung, kami saling memantau satu sama lain, karena jika sampai terpisah ribet juga. Sesekali saya memilih duduk di tangga tiap lantai karena kecapaen, plus mengecek apakan ada wifi gratis yang bisa dipakai untuk online.

Praktis, akhirnya setelah berkeliling, kami sepakat untuk membeli beberapa barang saja. Pilihannya jatuh pada bross. Ada beberapa blok yang punya koleksi bross. Saya cukup bingung ketika harus membeli beberapa bross pesanan teman. Terus terang saya tak bisa membedakan mana bross yang cocok dan bagus. Akhirnya, saya asal beli saja. Tentunya yang harganya terjangkau.

Setelah puas memilih barang, kami pun segera beranjak ke blok lain, sembari melihat-lihat barang lainnya. Karena sudah tak bisa menahan lagi, saya ingin segera pipis. Tapi, di mana cari toilet di tempat luas seperti ini. Beruntung, karena tak jauh dari meja kasir, saya melihat seorang pelayan.

“Excuse me, mrs. Where is toilet?” saya beranikan diri tanya dengan bahasa Inggris. Teman saya, si Popon, hampir muntah dia. Dia memang begitu jika melihat sesuatu yang aneh. Lalu, si pelayan itu menjawab, bahwa toilet berada di lantai 3. Kami pun segera menuju ke sana. “Duh, merdeka rasanya bisa mengencingi Singapore,” gumam saya dalam hati begitu berada di dalam toilet. Popon juga pipis di toilet sebelah.

Selesai pipis, kami tak langsung keluar mall. Kami masih belum puas berjalan-jalan di dalam mall itu. Maklum, kita orang kampung yang sedang terdampar di kota metropolitan seperti Singapore. Jadi, sebelum kembali ke Aceh, tak ada salahnya memuaskan diri dulu. Kapan lagi kami bisa berlagak seperti artis di Jakarta yang suka berburu barang bagus di Singapore. Bedanya, jika artis sering memborong barang, kami sudah cukup puas hanya dengan melihat dan memegang saja.

Saya punya kebiasaan unik. Tiap mengunjungi mall di mana saja, selalu menyempatkan diri untuk membeli buku, minimal satu buku. Hal ini pula yang saya lakukan saat berada di mall itu. Setelah tanya sama pelayan di mana bookstore, saya pun bergegas. Satu persatu buku saya perhatikan. Koleksi buku di situ lebih banyak dalam bahasa Inggris, sedikit sekali dalam bahasa Melayu. Si Popon juga demikian, dia perhatikan tiap rak buku. Dia mencari-cari buku tentang pendidikan, seperti konsentrasi pendidikan dia di UKM.

Puas rasanya bisa melihat dan membolak-balik buku di toko itu. Kami kadang berlagak seperti professor yang mencari bahan referensi di perpustakaan. Sekilas, jika ada yang melihat gaya kami mencari buku, mereka pasti mengira kami ini mahasiswa teladan yang tidak punya kendala dengan bahasa Inggris. Meski fakta sebenarnya, bahasa Inggris kami seperti kata pepatah rakitan di Aceh, “Like a goat walking on the stone” alias “Lagee kameng jak ateuh batee”. Hehehe.

Akhirnya, saya ketemu dua buku bagus. Judulnya, How to Read HITLER, dan satu lagi buku biografi: Disraeli. Setelah saya bolak-balik dan melihat harga yang tercetak di belakang buku, saya sempat termenung sebentar. Bukan apa-apa, saya sedang menghitung apakah uang di dompet saya cukup untuk membeli dua buka itu. Setelah merasa, bahwa uang saya lebih dari cukup, saya ambil buku itu dan membawa ke meja kasir untuk membayar.

Kami pun kemudian keluar dari mall itu. Belum ada tanda-tanda sang sopir taxi yang berjanji menjemput kami tiba di lokasi. Dalam hati, kami takut juga, jangan-jangan dia tak jadi menjemput dan sudah pergi entah kemana. Dengan sabar kami menunggu sambil duduk di lantai depan mall. Dalam hati kami berdoa, agar si sopir taxi tidak melanggar janji. [bersambung]

Post a Comment

Previous Post Next Post