Semalam di Singapore (9)

Wajar jika saya dan Popon (nama panggilan Teuku Irwani) cemas. Sebelumnya kami sudah utarakan agar selepas belanja agar segera diantar ke masjid terdekat. Dia pun setuju. Kini kami seperti orang bodoh yang tak tahu harus kemana. Kami terduduk malas di depan Mustafa Exchange.

Sejak tiba di Singapore pada pukul 10.14 malam hingga menjelang Subuh ini kami berdua belum sempat istirahat. Dari awal kami memang tak berniat mencari penginapan. Bukan perkara isi kantong yang tak mendukung, tapi tanggung jika harus menyewa kamar hotel. Karena siangnya kami sudah harus balik ke Malaysia, sesuai dengan jadwal di tiket kereta yang kami pegang. Saya pun sudah harus pulang ke Aceh sesuai jadwal tiket pesawat yang saya pegang.

“Bagaimana jika bapak sopir itu tak balik lagi ke sini?” saya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.

“Tak mungkin, orangnya tak keliatan pembohong. Mungkin dia sedang menuju ke sini,” jawaban T Irwani (Popon) cukup membuat saya tenang.

popon & me
Di tengah keasyikan kami mengobrol, tiba-tiba dari seberang jalan sudah muncul seorang laki-laki dewasa yang segera kami kenali sebagai sopir kami. Dia menyeberang dan menuju ke arah kami. Dia tampak buru-buru. Kami tidak melihat mobil taxi miliknya.

“Bagaimana sudah puas berbelanja?” dia menyapa kami. “Beli barang apa saja.” Dia ramah seperti biasanya.

“Yah, kita bingung tak tahu harus membeli apa. Tapi kami sudah belanja beberapa jenis barang sebagai oleh-oleh,” T Irwani mencoba menjawab, mewakili jawaban kami berdua.

Sang sopir taxi itu kemudian mengajak kami segera berangkat. Rupanya dia tadi memarkir mobilnya agak jauh dari mall kami berbelanja, karena dia ambil jalan memotong, sehingga kami tak melihat mobilnya lewat di depan mall. Tanpa kesulitan, kami pun memasukkan barang belanjaan kami, sebagian kami taruh di bagasi, agar posisi duduk kami nyaman.

Di dalam mobil, si bapak itu menawarkan kami untuk melihat istana Sultan. Dia beralasan, lokasi istana itu tak jauh dari Masjid, sehingga selesai melihat-lihat istana kami bisa langsung shalat Subuh di Masjid.

“Kalian perlu melihat Istana Sultan, karena Subuh masih satu jam lagi,” begitu dia memberi alasan.

Kita berdua mengiyakan usulan itu. “Oke, menarik juga melihat istana Sultan, sambil menunggu adzan Subuh,” kami menjawab serempak.

Laju taxi pun segera diarahkan menuju Istana Sultan. Dia membawa kami melewati pertokoan, yang katanya, banyak dihuni oleh pedagang dari Indonesia. Menurutnya, banyak dari pedagang itu berjualan kuliner.

Sekitar lima belas menit kemudian, mobil taxi yang kami tumpangi memasuki jalan yang mengarah ke pintu masuk Istana. Kiri-kanan kami dipenuhi gedung. Jalan itu sepi, kami tak bertemu siapa pun di sana. Maklum, masih larut malam, masih sejam lagi masuk waktu Subuh.

Setelah mobil diparkir di pinggir jalan, kami pun melihat-lihat suasana di depan Istana. Karena memang tak bisa masuk ke depan. Pintu masuk dalam kondisi terkunci. Tapi kami masih bisa melihat suasana di dalam. Gelap banget. Kami melihat di bawah tenda banyak kursi plastik, seperti ada hajatan. Ada beberapa lampu yang nyala. Selebihnya kami tidak dapat melihat ada apa saja di dalam, benar-benar gelap.

Istana itu memiliki nama Istana Kampong Glam, dibangun pada tahun 1840. Istana ini dikenal sebagai warisan Melayu yang masih berdiri kokoh di Singapore. Di samping pintu masuk, kita bisa membaca dengan jelas tulisan “Malay Heritage Centre” (Taman Warisan Melayu).

Seperti biasa, kami pun mencoba mengambil beberapa gambar. Karena tidak bisa melihat-lihat ke dalam, terpaksa kami mengambil fotonya di depan pagar Istana. Padahal, kalau bisa masuk ke dalam pasti lebih seru lagi. Namun, apa boleh buat, karena kami datangnya menjelang Subuh, sehingga tak bisa masuk ke dalam. Yang penting kami sudah melihat istana dari dekat.

Selesai melihat-lihat dan berfoto ria, kami pun beranjak. Sopir taxi mengantar kami ke Masjid Sultan, masih di Kampung Glam. Masjid yang berada di Kampung Glam ini merupakan masjid pertama yang dibangun di republik itu [Wikipedia]. Masjid bersejarah itu tak sekedar tempat ibadah, melainkan menjadi objek wisata bagi wisatawan asing yang berkunjung ke Singapore.

Menurut situs wikipedia, struktur awal masjid ini dibangun sekitar 1826 oleh masyarakat Jawa (pedagang awal di Singapura) yang melakukan aktivitas berdagang dengan masyarakat Arab, Boyan dan Bugis sebelum kedatangan saudagar Tionghoa. Masjid itu menjadi tempat tinggal atau kawasan permukiman awal beberapa etnik masyarakat Indonesia. Pada 1920-an ia dibangun kembali seperti sekarang. Dan kini ia telah direnovasi dan ditetapkan sebagai produk pariwisata Singapura. Nama jalan di kawasan itu masih menggunakan nama asli, seperti Kandahar Street, Baghdad Street, Arab Street dan Bussorah Street.

Sepertinya itu menjadi akhir kebersamaan kami berada dalam taxi miliknya. Selepas itu kami pun berpisah. Saya tidak ingat berapa ongkos taxi yang kami bayar, apakah 10 atau 50 dollar.

“Oke, kalian sudah tiba di Masjid. Saya harus pulang dulu. Sampai ketemu lagi,” katanya. Dia pun memberi kami kartu nama, untuk kami masing-masing.

“Kalau ke Aceh jangan lupa hubungi kami. Nanti kami ajak jalan-jalan,” T Irwani mencoba ramah. Dia pun kemudian menghilang di ujung jalan. Kami segera melangkah ke pekarangan Masjid. Setelah meletakkan tas dan belanjaan di tangga masjid, kami mengambil wudhuk. Rupanya salat Subuh berjamaah baru saja selesai. Sehingga kami pun salat sendiri-sendiri.

Selesai salat, kami mencoba bersantai sejenak di sudut masjid. Puas rasanya bisa istirahat setelah asyik jalan-jalan. Terus terang kami hampir tak sempat beristirahat. Tanpa sadar kami merebahkan diri. Rupanya, selain kami, ada beberapa orang yang juga merebahkan diri. Sehingga kami tak merasa canggung. Bukan apa-apa, karena biasanya ada pengurus masjid yang melarang para jamaah tidur di dalam masjid.

Tanpa sadar, saya dan Popon tertidur pulas. Padahal, awalnya hanya sekedar rebahan sambil menunggu pagi. Tak tahunya kami tertidur benaran. Kami tak ingat berapa lama kami sudah tidur, hingga dibangunin oleh pengurus masjid. Begitu kami lihat keluar masjid, suasana sudah terang. Kami lihat jam di tangan, menunjukkan sudah pukul 9 pagi. Berarti hampir empat jam kami tertidur.

“Jangan sampai kasih tahu sama teman-teman di Aceh bahwa kita ke Singapore cuma tidur di masjid, bikin malu Aceh,” T Irwani mencoba mengingatkan saya. Kami pun tertawa. Usai mencuci muka seadanya, kami pun beranjak dari masjid. Rencana selanjutnya ke Esplenade mau mengisi perut serta melihat lagi patung Singa, sebelum pulang ke Malaysia.

Saya pun kembali teringat pada sepenggal ungkapan teman saya, T Irwani ketika duduk di kawasan Esplenade, saat baru tiba di Singapore. “Tanyoe tajak u Singapore cit untuk tajak tes ata nyan, pue mantong udep.” Kami tertawa lepas. Bukan apa-apa, omongan teman saya itu sedikit porno, karena kalau diterjemahkan artinya kira-kira: Menguji Mr P. Jadilah, kami ke Singapore untuk menguji Mr P (pasti ada yang berpikir macam-macam). Hahaha. [Selesai]

Sebelumnya Semalam di Singapore (8)

Post a Comment

Previous Post Next Post