Bendera dan Perdamaian Aceh

Di Aceh na alam peudeung 
Cap sikeurueng bak jaroe raja
Phon di Aceh troh u Pahang
Tan soe teuntang Iskandar Muda
..........
(Nadham Aceh)

Halaman konflik Aceh tiba-tiba terbuka kembali. Cerita ‘bendera’ dan ‘lambang’ Aceh menjadi isu seksi sebagai santapan media. Aceh yang secara ejaan cukup singkat di lidah ternyata begitu rumit, kompleks dan sensitif. Bayangan konflik seperti di masa lalu pun terhidang di benak kita.

Pemicunya adalah pengesahan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Jumat (22/3). Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, sejak Senin (25/3/2013) resmi menetapkan bendera dan lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu sebagai bendera dan lambang resmi Propinsi Aceh.

Pengesahan tersebut menempatkan Aceh dan Jakarta pada posisi berhadap-hadapan. Di Aceh bendera dan lambang menjadi harga mati yang tak boleh ditawar-tawar. Rakyat pun larut dalam euphoria kemenangan. Sementara Jakarta jelas tak memberi restu. Bendera dan lambang tersebut diyakini akan menghidupkan kembali semangat separatisme rakyat Aceh. Penolakan serupa juga disuarakan masyarakat Gayo dan beberapa daerah yang masih memendam keinginan membentuk propinsi tersendiri, terpisah dari Aceh.

Semua pihak hendaknya berhati-hati dan menyikapi persoalan ini dengan kepala jernih. Semua diskusi, pendapat, sikap dan kebijakan terkait isu bendera dan lambang harus ditempatkan dalam kerangka perdamaian. Bagi kita, ada dua pertanyaan penting yang perlu segera dijawab adalah, apakah bendera dan lambang Aceh itu sebagai simbol kedaulatan? Ataukah bendera itu hanya sekadar ‘obat pelelap tidur’ sambil dinina-bobo ‘dongeng’ romantisme sejarah!

Kesepakatan
Pasca-MoU Helsinki dan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menciptakan kondisi sosial-politik-ekonomi yang kondusif di Aceh. Aceh dapat menjalankan pemerintahan sendiri. Banyak mantan kombatan GAM berpartisipasi dalam Pemilihan Kepala Pemerintahan Daerah (Pilkada), mulai tingkat Gubernur hingga Bupati/Walikota serta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sesuatu yang mustahil saat Aceh masih dibalut konflik.

Kebersediaan berunding dan memilih penyelesaian Aceh secara damai berarti secara tidak langsung mengakui dan menerima apapun konsekuensi hasilnya. Hal ini sangat disadari dan dipahami oleh juru runding kedua belah pihak (RI dan GAM) saat itu. Bahwa, ada kompensasi-kompensasi yang akan diberikan kepada pihak lain. Di antaranya, kehadiran Partai Politik Lokal, pemusnahan senjata, dan distribusi ekonomi yang lebih adil. 

Kompensasi itu tentu saja tidak gratis. GAM sebagai sebagai sebuah subjek pelaku konflik bersedia menutup rapat-rapat keinginan memerdekakan Aceh untuk selamanya. MoU memuluskan jalan bagi integrasi total Aceh ke dalam konstitusi Indonesia, dan Aceh tak boleh lagi bicara referendum atau merdeka.

Rupanya, kesepahaman itu tak semulus yang dikira. Poin paling sensitif dan krusial tentu saja terkait bendera, lambang dan himne. Dalam MoU Helsinki (artikel 1.1.5) disebutkan, “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.” Poin ini kemudian diterjemahkan dalam UUPA, pada pasal 246 ayat (2), “Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencermnkan keistimewaan dan kekhususan. Artinya, penentuan dan penetapan bendera Aceh dibolehkan selama bukan dimaksudkan sebagai simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh (ayat 3), serta penetapan bendera, lambang dan himne diatur bentuk Qanun yang berpedoman pada perundang-undangan (ayat 4).

Resistensi
Semua pihak mesti bijak memandang masalah krusial ini. Jangan sampai sikap resistensi yang berlebihan justru memupuk kembali semangat konfrontasi secara lebih terbuka. Hal ini menjadi penting, karena: Pertama, semangat penetapan bendera dan lambang Aceh kini sama sekali berbeda dengan saat ketika Hasan Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka tahun 1976 serta ketika puncak konflik Aceh (1999-2002). 

Faktor Pemilu 2014 tak boleh dikesampingkan. Elit Partai Aceh yang kini mendominasi pemerintahan dan parlemen Aceh menyadari dukungan terhadap mereka pada 2014 bakal merosot tajam. Kinerja mereka sejauh ini tidak begitu menggembirakan, dan publik Aceh mulai pesimistis terhadap kinerja mereka. Untuk tetap memikat hati pemilih, mereka memerlukan jualan baru. Bendera dan lambang diyakini akan kembali memulihkan kepercayaan publik Aceh terhadap mereka. Kehadiran bendera dan lambang Aceh setidaknya akan membuat rakyat terlena dan lupa dengan kondisi ril yang terjadi.

Kedua, tak semua pihak di Aceh sepakat dengan Qanun tersebut. Penolakan muncul di mana-mana, baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Penolakan itu dapat disimak melalui komentar tokoh-tokoh di media, obrolan di jejaraing soal (Facebook dan Twitter). Mereka beralasan bahwa bendera Aceh itu sama sekali tak bisa menggantikan beras sebagai kebutuhan riil masyarakat. Sementara penolakan secara terbuka disuarakan oleh komunitas Gayo dan masyarakat beberapa kabupaten yang memang memendam keinginan untuk menalak tiga provinsi induk, Aceh. 

Tak hanya Qanun bendera dan lambang yang mereka tolak, melainkan juga Qanun Wali Nanggroe. Mereka yang menolak beralasan bahwa Qanun Wali Nanggroe sangat diskriminatif. Yang mereka sorot tak hanya soal anggaran, melainkan beberapa point dalam Qanun seperti calon Wali Nanggroe harus mampu berbicara bahasa Aceh secara fasih. Seperti diketahui, di Aceh tak semua suku berbicara dalam bahasa Aceh, seperti misalnya masyarakat Gayo, Alas, dan Aneuk Jamee.

Semangat perdamaian
Kita berharap Pemerintah Aceh (juga Parlemen Aceh) dan Pemerintah Pusat segera menemukan jalan tengah terkait pro-kontra bendera dan lambang Aceh. Persoalan bendera dan lambang ini jangan sampai mencederai semangat perdamaian yang sedang dinikmati rakyat Aceh. 

Diakui atau tidak, secara historis bendera dan lambang Aceh yang disahkan DPR Aceh itu sangat berbau separatisme. Sehingga diyakini akan menguak lagi hasrat dan birahi Aceh untuk melawan Jakarta. Apalagi jika ditelaah makna dari bendera dan lambang, merupakan bentuk penegasan kedaulatan Aceh. Inilah yang menjadi batu sandungan dan kerikil tajam terhadap masa depan perdamaian Aceh.

Perlu segera dicari solusi alternatif, agar yang menjadi bendera dan lambang Aceh benar-benar merupakan simbol perdamaian. Sehingga mau tak mau mewajibkan semua pihak di Aceh untuk tak lagi mengungkit luka yang bisa mencederai perdamaian. 

Alam Peudeung (wikimedia.org)
Jika yang diusung adalah semangat perdamaian serta menghormati sejarah masa lalu Aceh, maka alam peudeung (Bendera Pedang) seperti termaktub dalam nadham (syair) Aceh yang memiliki warna dasar merah, pedang dan bulan bintang, jauh lebih memungkinkan. Selain tak mengusik persatuan Aceh, alam peudeung sangat cocok dengan semangat perdamaian.

Alam peudeung akan memupuk rasa bangga pada sejarah masa lalu Aceh. Ini untuk menegaskan, bahwa romantisme Aceh tak dimulai pada 1976 ketika Hasan Tiro memaklumkan perang terhadap Jakarta, melainkan pada masa keemasan Aceh ketika diperintah Sultan Iskandar Muda, seperti terlukis dalam nadham Aceh yang dikutip di awal tulisan ini. 

Penggunaan alam peudeung itu sekaligus untuk meminimalisir klaim pihak-pihak tertentu sebagai yang paling berjasa bagi terciptanya perdamaian. Buah perdamaian Aceh harus dinikmati oleh seluruh masyarakat Aceh, baik yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun yang tidak. Semua memiliki jasa dan saham atas lahirnya perdamaian.

Pada akhirnya, dialog merupakan kunci untuk menyelesaikan polemik bendera dan lambang secara bermartabat, tak ada pihak yang harus kehilangan muka. Bahwa perdamaian Aceh terlalu mahal untuk dinodai, untuk dan oleh alasan apapun! []
Previous Post Next Post