Saya beruntung
bisa melihat negeri Belanda dari dekat. Pengalaman berkunjung ke negeri Kincir
Angin pada 27 Juli 2010 silam itu masih membekas hingga kini. Sebab, itulah
pertama kalinya saya menginjak kaki di negeri yang dulu pernah berperang dengan
bangsa Aceh (1873-1942).
Bagi orang Aceh, Belanda bukan negeri asing. Sebab, puluhan tahun kedua negeri ini terlibat perang paling berdarah di Nusantara. Ribuan pasukan dari kedua belah pihak itu gugur dalam medan tempur. Ingatan sejarah itu pula yang mengiringi saya ketika berkunjung ke Museum Bronbeek di Arhem, Belanda pada 27 Juli 2010 silam.
Dalam bahasa
Belanda, Bronbeek berarti aliran air/sungai kecil. Kami sempat melihat bekas
sumber aliran sungai itu di belakang museum.
Bahkan,
seperti disinggung di atas, museum Bronbeek ini jadi pilihan para peneliti yang
ingin mempelajari sejarah Belanda dan bangsa-bangsa taklukannya. Mereka dapat
mengakses semua dokumen, benda atau prasasti yang ada di sini untuk keperluan
akademiki/studi. Apalagi, banyak benda-benda penting tersimpan di museum ini
yaitu meriam, seragam tentara, pedang, pangkat dan medali penghargaan militer,
poster proganda masa konflik, patung, senjata ringan, gambar dan beberapa catatan
dan koleksi buku.
Bagi orang Aceh, Belanda bukan negeri asing. Sebab, puluhan tahun kedua negeri ini terlibat perang paling berdarah di Nusantara. Ribuan pasukan dari kedua belah pihak itu gugur dalam medan tempur. Ingatan sejarah itu pula yang mengiringi saya ketika berkunjung ke Museum Bronbeek di Arhem, Belanda pada 27 Juli 2010 silam.
Tapi, itu
dulu. Belanda hari ini tentu berbeda dengan yang dulu. Kini, Belanda dikenal
sebagai salah satu Negara Eropa yang elok, eksotis dan modern. Negeri
berpenduduk lebih kurang 8 juta orang itu mulai diperhitungkan sebagai kiblat
kemajuan dan pusat pendidikan.
Universitas-universitas
di Belanda termasuk dalam peringkat 10 di antara 200 perguruan terbaik di
dunia. Beberapa universitas yang layak dicatat di antaranya, Leiden University,
Utrecht University, University of Amsterdam, University of Groningen (untuk
universitas riset); Amsterdam School of the Arts, Business School of Amsterdam
(untuk universitas terapan), dan sebagainya.
Museum-museum
di Belanda juga jadi rujukan dan tempat para ilmuan menggali rujukan sejarah,
di antaranya museum Leiden dan Bronbeek.
Sebelum tiba
di Bronbeek, saya membayangkan museum ini pastilah seperti kebanyakan museum
lain di tempat kita: tak terurus, pengap, berantakan dan sangat tak nyaman
dikunjungi. Namun, begitu memasuki areal museum, kita pun terkagum-kagum;
betapa luar biasanya museum ini.
Halaman
depannya cukup luas, penuh dengan taman bunga. Beberapa prasasti, ukiran batu,
beberapa patung tentara Belanda di depan museum—mulai dari patung perwira
sampai patung prajurit KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) langsung terhidang di depan mata.
Gedung-gedung di kawasan Museum itu sekilas seperti bangunan peninggalan
Belanda di tempat kita: kokoh, kuat dan sangat artistik. Di museum inilah kita jadi takjub bagaimana
rapinya Belanda merawat ingatan bangsanya dengan nilai-nilai sejarah: melalui
benda-benda perang (meriam) dan literatur.
Meriam dari
berbegai jenis itu dipajang mengelilingi dinding museum. Benda-benda perang ini
dibawa dari sejumlah wilayah taklukan di Nusantara. Hal itu sebagai bukti yang
menunjukkan betapa seriusnya bangsa Belanda merawat peninggalan sejarahnya.
Bronbeek
Museum
Bronbeek ini termasuk salah satu museum tertua di Belanda. Pengelola atau
conservator museum, Drs. Hans van den Akker yang saya wawancarai menyebutkan,
usia museum yang sering disebut Museum Perang ini sudah 150 tahun, sejak
pertama kali dibangun oleh Raja Willem III tahun 1863. Willem sendiri lahir dengan nama Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk van Oranje-Nassau, lahir di Brussels, Belgia, 17 Februari 1817 merupakan Raja Belanda dan Grand-Ducal House of Luxembourg. Pada 23 November 1890, dia meninggal (pada umur 73 tahun) dan mewariskan tahta kepada putrinya, Wilhelmina yang ketika itu baru berumur 10 tahun.
Menurut Hans,
dulunya Raja Willem III membangun museum ini untuk mengenang pasukan setianya,
KNIL sebagai penghormatan atas jasa mereka. Patung gelap pasukan KNIL memegang
pedang dan senjata di prasasti depan museum dapat menjelaskan hal ini.
Tarmizi Busu, pengungsi Aceh di Denmark saat di Bronbekk |
Kenapa museum
ini diberi nama Bronbeek? “Di lokasi dibangun museum ini dulunya terdapat sungai
kecil asli (bukan sungai buatan),” kata Hans.
Meskipun
Bronbeek sebagai destinasi wisata untuk umum, namun museum ini juga menjadi
tempat untuk anak-anak sekolah di Belanda mengenal sejarah bangsanya dari
dekat. Ini tak terlepas dari terobosan sistem pembelajaran yang dianut Belanda.
Sistem ini melatih siswa untuk menganalisis dan memecahkan masalah dengan
praktis dan mandiri melalui penekanan pada cara belajar mandiri dan
kedisiplinan.
Berpose ria di depan patung KNIL |
Bagaimana
dengan anggaran pengelolaan museum? Menurut Hans, dananya semua subsidi dari
kerajaaan. Segela keperluan untuk museum itu memang menjadi tanggung jawab
pihak Kerajaan. Mereka hanya mengurus dan merawatnya.
Hans ini masih
muda. Dia cukup lancar berbahasa Indonesia. Dia bawa kami berkeliling semua
sudut museum. Kami juga diajak melihat-lihat sudut khusus tempat menyimpan
semua benda dan arsip perang Aceh. Kami sedikit kecewa, karena hasrat kami
untuk melihat langsung bendera perang Aceh, tak kesampaian. Menurut Hans, tahun
depan jika kami berkunjung lagi, kami bisa melihatnya. Pasalnya, ruangan tempat
menyimpan benda-benda itu sedang direhab. Kami sempat melihat beberapa pekerja
yang bongkar pasang di situ.
Saya dan Drs. Hans van den Akker |
Sementara W.M
Adrians, pengelola perpustakaan di museum itu, menceritakan, sebagian kebutuhan
buku (termasuk buku klasik) mereka beli dari penerbit lain melalui dana subsidi
kerajaan. “Banyak juga penerbit yang menyumbang buku. Jumlahnya mencapai
ribuan,” kata Adrian, yang pasih berbahasa Indonesia. Adrian pernah lama
tinggal di Indonesia, di kawasan Maluku.
Tak hanya Hans
dan Adrian yang bisa berbahasa Indonesia. Sejumlah orang yang kami temui semua
mampu berbicara bahasa Indonesia. Mereka rupanya bagian dari 43 veteran perang
masa penjajahan Belanda. Kesan mereka kepada kami cukup baik. Mereka cukup
bangga pada kami yang dari Aceh.
Saya dan W.M Adrians |
“Orang Aceh kuat-kuat, dan sangat gagah
berani,” ujar seorang
kakek yang usianya sudah 90 lebih. Setiap hari dia bersama-sama temanya menyapa
orang yang berkunjung, membersihkan halaman, dan menyapu. Mereka cukup senang,
hal itu kami tahu dari raut wajah mereka yang selalu mengangkat tangan dan
menyapa kami, termasuk ketika kami berpamit pulang. Dari mereka pula kita bisa
memperoleh cerita-cerita seputar perang di Nusantara. Mereka dengan senang hati
mau berbagi kisah hidup serta pengalaman perang yang mereka alami sewaktu
menjadi tentara kolonial dulunya.
Adrian juga
menceritakan, sebagian buku-buku di pustaka Bronbeek yang dikelolanya dikirim
ke Aceh. “Tapi sebagian dari buku itu sudah hilang karena tsunami,” katanya,
pelan. Kini, sebagian dari buku-buku itu masih bisa diakses dan didownload di
www.acehbooks.org secara gratis. Situs ini disedikan dan dibiayai oleh Menteri
Pendidikan Belanda, yang dikelola oleh KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land-en Volkenkunde) di Leiden.
KITLV tersebut
menyedikan sebagian besar literatur tentang Aceh secara digital untuk
diserahkan kepada masyarakat Aceh. Proyek tersebut terutama untuk proses
digitalisasi sejumlah literatur tentang Aceh diawasi oleh Perpustakaan Kerajaan
di Den Haag.
Di website ini
terdapat lebih kurang seribuan lebih file buku Aceh secara digital dalam format
pdf yang bisa didownloads. Informasi dalam website Aceh Books menyebutkan bahwa
judul-judul lain yang berhubungan dengan Aceh akan ditambahkan seiring waktu.
Buku-buku dalam website ini terdapat dalam sejumlah bahasa seperti Indonesia,
Aceh, Inggris, Belanda dan juga dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya yang
diterbitkan oleh penerbit-penerbit, baik yang ada di Indonesia maupun di Eropa.
Buku-buku tersebut tertanggal mulai abad 17 hingga hari ini.
Seperti Museum Aceh
Menurut saya,
museum Bronbeek itu cukup istimewa. Setelah puas berkeliling, kita hampir selalu berpapasan dengan benda-benda perang yang berhubungan dengan Aceh. Kita
akan langsung terbayang pada heroisme pejuang Aceh dulunya. Bayangkan, meriam-meriam
eks perang Aceh dalam ukuran yang berbeda menempati sisi-sisi utama ruangan
berkaca dan melintangi sudut-sudut museum. Kemana saja kita berjalan dalam
museum itu, meriam-meriam itu menjadi pemandangan utama yang cukup kontras,
seperti meriam berukiran keemasan buatan Turki sampai meriam Inggris yang
dihadiahkan kepada Sultan Aceh dahulu.
Selepas pintu
masuk utama, tepatnya di dinding sebelah kita, kita akan langsung disapa dengan
wajah gambar-gambar Gubernur Militer Belanda di Aceh, mulai dari Mayor Jendral
Kohler yang mati terbunuh sampai Van Heutz yang buta sebelah sebagai ‘hadiah’
dari pejuang Mujahidin Aceh.
Apa yang saya
lihat ini hanyalah sedikit dari bentuk kepedulian Belanda pada pengembangan
pendidikan serta upaya merawat peninggalan sejarah untuk anak cucu. []
Referensi:
Tags:
catatan