Di sekitar kita, cukup banyak muncul beragam merek, dari sekadar merek biasa hingga merek terkenal di dunia. Merek-merek tersebut seperti menegaskan status orang-orang yang memakainya, serta bagaimana kekuatan logo berbicara. Sebut saja, misalnya, merek Adidas, Reebok, Nike, Panda dan beberapa merek lain yang identik dengan dunia olahraga. Atau merek Apple, Samsung, Sony, Nokia, HTC dan beberapa merek terkenal lainnya di bidang teknologi. Kita juga akrab dengan merek seperti Google, Yahoo, Microsoft, Facebook dan Twitter.
Merek adalah sebuah penanda. Ia tak hanya mencerminkan kepribadian sebuah produk semata, karena merek tersebut masih diperkuat dengan simbol visual yang kita kenal dengan logo, untuk mengukuhkan keberadaan betapa pentingnya produk tersebut.
Kapan pertama kalinya muncul ide untuk memberikan merek atau tanda pada suatu benda? Marcel Danesi dalam Pesan, Tanda dan Makna, menulis pada awalnya pemberian branding (merek/tanda) berarti memberi cap panas pada daging dengan besi panas untuk menghasilkan bekas luka atau tanda dengan pola yang mudah dikenali. Sejak tahun 2000 SM, misalnya, bangsa Mesir Kuno memberi tanda pada ternak-ternak milik mereka. Di akhir Abad Pertengahan, pedagang dan anggota gilda memajang tanda khas di luar toko mereka. Inilah cikal-bakal gagasan merek dagang.
Bagi para pedagang saat itu, nama merek atau lambang pada sebuah produk memudahkan mereka melacak asal usul banda tersebut, sehingga mereka tahu bagaimana mutunya. Ide memberi merek atau tanda pada sebuah produk terus berkembang bertahun-tahun kemudian, hingga masa kini. Merek atau logo pun tak lagi sekadar tanda, melainkan sebuah penanda. Bahkan sering dibumbui dengan nilai-nilai mistis. Itulah bentuk kekuatan logo sebuah brand.
Logo Apple, misalnya, dibumbuhi simbolisme religi laten, terutama menyiratkan kisah Adam dan Hawa dalam Bibel dunia Barat, merujuk pada tindakan memakan apel yang mengandung pengetahuan terlarang (Danesi, 2012: 303). Logo buah apel yang sudah tergigit jelas mengukuhkan asosiasi simbolis tersebut.
Namun, pencipta logo, Rob Janoff dari Regis McKenna Advertising menyangkal penilaian yang menghubungkan logo dengan kisah dalam Kitab Kejadian. Malah, dia sengaja menambahkan tanda gigitan agar orang-orang tak salah melihat dan menganggap itu buah tomat. Tapi yang jelas, apel merupakan buah yang sangat disukai oleh Steve Jobs.
Penulis biografi Steve Jobs, Walter Isaacson, suatu ketika mengirim email kepada Steve Jobs menanyakan, apakah logo Apple merupakan bentuk penghormatan untuk mengenang jasa-jasa Alan Turing, penemu awal komputer asal Inggris, yang memecahkan kode pada zaman perang Jerman, dan kemudian bunuh diri dengan menggigit apel berlapis sianida? Isaacson sengaja menanyakan hal itu karena tergoda oleh pertanyaan putrinya. Jobs kemudian membalas email tersebut dan menyatakan 'seandainya saja dia memikirkan hal tersebut, tetapi dia tidak memikirkannya'.
Ini karena logo Nike juga bekerja pada beberapa level, dari ikonis ke mitis. Pada level ikonis, logo ini mengisyaratkan aktivitas berlari dengan kecepatan tinggi sambil mengenakan sepatu Nike. Sementara pada level mitis, logo ini mengambil gagasan bahwa kecepatan melambangkan kekuasaan dan penaklukan. Kombinasi dua level tersebut menciptakan sebuah persepsi, keduanya memiliki koneksi dengan realitas maupun sejarah naratif. (Danesi, 2012; 304)
Begitulah kekuatan logo dan merek. Ia menjadi penciptaan terakhir untuk sebuah brand perusahaan maupun hasil yang diproduksinya. Sangat sedikit perusahaan besar yang gonta-ganti mereknya, kecuali ada kondisi yang memaksa mereka untuk menggantinya. Biasanya disesuaikan dengan semangat zaman plus visi baru perusahaan, seperti penggantian logo SCTV atau Pertamina, untuk menyebut beberapa contoh. Nah, apakah anda tertarik mencipatakan logo yang bersejarah?
Merek adalah sebuah penanda. Ia tak hanya mencerminkan kepribadian sebuah produk semata, karena merek tersebut masih diperkuat dengan simbol visual yang kita kenal dengan logo, untuk mengukuhkan keberadaan betapa pentingnya produk tersebut.
Kapan pertama kalinya muncul ide untuk memberikan merek atau tanda pada suatu benda? Marcel Danesi dalam Pesan, Tanda dan Makna, menulis pada awalnya pemberian branding (merek/tanda) berarti memberi cap panas pada daging dengan besi panas untuk menghasilkan bekas luka atau tanda dengan pola yang mudah dikenali. Sejak tahun 2000 SM, misalnya, bangsa Mesir Kuno memberi tanda pada ternak-ternak milik mereka. Di akhir Abad Pertengahan, pedagang dan anggota gilda memajang tanda khas di luar toko mereka. Inilah cikal-bakal gagasan merek dagang.
Bagi para pedagang saat itu, nama merek atau lambang pada sebuah produk memudahkan mereka melacak asal usul banda tersebut, sehingga mereka tahu bagaimana mutunya. Ide memberi merek atau tanda pada sebuah produk terus berkembang bertahun-tahun kemudian, hingga masa kini. Merek atau logo pun tak lagi sekadar tanda, melainkan sebuah penanda. Bahkan sering dibumbui dengan nilai-nilai mistis. Itulah bentuk kekuatan logo sebuah brand.
Logo Apple, misalnya, dibumbuhi simbolisme religi laten, terutama menyiratkan kisah Adam dan Hawa dalam Bibel dunia Barat, merujuk pada tindakan memakan apel yang mengandung pengetahuan terlarang (Danesi, 2012: 303). Logo buah apel yang sudah tergigit jelas mengukuhkan asosiasi simbolis tersebut.
Namun, pencipta logo, Rob Janoff dari Regis McKenna Advertising menyangkal penilaian yang menghubungkan logo dengan kisah dalam Kitab Kejadian. Malah, dia sengaja menambahkan tanda gigitan agar orang-orang tak salah melihat dan menganggap itu buah tomat. Tapi yang jelas, apel merupakan buah yang sangat disukai oleh Steve Jobs.
Penulis biografi Steve Jobs, Walter Isaacson, suatu ketika mengirim email kepada Steve Jobs menanyakan, apakah logo Apple merupakan bentuk penghormatan untuk mengenang jasa-jasa Alan Turing, penemu awal komputer asal Inggris, yang memecahkan kode pada zaman perang Jerman, dan kemudian bunuh diri dengan menggigit apel berlapis sianida? Isaacson sengaja menanyakan hal itu karena tergoda oleh pertanyaan putrinya. Jobs kemudian membalas email tersebut dan menyatakan 'seandainya saja dia memikirkan hal tersebut, tetapi dia tidak memikirkannya'.
Lalu, bagaimana seekor kelinci yang mengenakan dasi kupu-kupu pada logo majalah dewasa Playboy? Logo ini bisa dikenali dan ditafsirkan, misalnya, melalui kelinci dan dasi kupu-kupu. Kelinci, misalnya diasosiasikan dengan perempuan, sangat subur, aktif secara seksual dan tidak pilih-pilih. Sementara kupu-kupu, menunjukkan sikap elegan, pemandangan kelab malam, keahlian dan sebagainya.
Apa yang ada dalam bayangan kita saat melihat Maria Sharapova memakai baju yang logo Nike? Logo itu tampak sangat cocok dengan karakter petenis jelita asal Rusia tersebut. Atau coba lihat pesepakbola Inggris, Wayne Rooney saat memakai sepatu Nike, terasa klop dengan kecepatan sang atlit. Kenapa bisa demikian?
Begitulah kekuatan logo dan merek. Ia menjadi penciptaan terakhir untuk sebuah brand perusahaan maupun hasil yang diproduksinya. Sangat sedikit perusahaan besar yang gonta-ganti mereknya, kecuali ada kondisi yang memaksa mereka untuk menggantinya. Biasanya disesuaikan dengan semangat zaman plus visi baru perusahaan, seperti penggantian logo SCTV atau Pertamina, untuk menyebut beberapa contoh. Nah, apakah anda tertarik mencipatakan logo yang bersejarah?
Tags:
Inforial