Sepenggal Ingatan tentang Munir

Saya tidak akrab dengan Almarhum Munir, tapi saya mengenalnya. Kalau tidak salah ingat, saya dua kali bertemu dia. Pertemuan pertama terjadi di kantor Kontras (dulu di bilangan jalan Cisadane, Cikini). Saya tidak ingat dalam rangka apa saya ke sana. Yang pasti, saat itu hampir semua aktivis Aceh yang berada di Jakarta sering main ke sana. Pertemuan kedua terjadi di Hotel Cemara, Jakarta Pusat, pada 14 November 2003. Munir menjadi salah satu pembicara diskusi “Dampak dan Implikasi Penerapan Darurat Militer di Aceh yang dibuat oleh Komnas HAM di hotel tersebut.

Selain Munir, diskusi selama dua hari itu, juga menghadirkan Gus Dur, Pdt Nathan Setia Budi, Hakim Nyak Pha, Otto Syamsuddin Ishak, dan lain-lain. Diskusi tersebut merupakan salah satu upaya untuk memberikan opini berbeda terhadap penerapan Darurat Militer. Hampir semua pembicara menyoroti dampak DM bagi masyarakat kecil serta terhadap upaya perdamaian yang sebelumnya digagas. Mereka tak pernah yakin DM mampu menyelesaikan masalah Aceh.

Saya tertarik dengan paparan mereka. Munir, misalnya, banyak menyoroti strategi Darurat Militer di Aceh, yang menurutnya menghancurkan apa yang sudah terbangun di Aceh. Di berbagai forum dan kesempatan, Munir menyerukan pencabutan Darurat Militer. Munir termasuk aktivis yang paling getol menentang kebijakan militeristik di Aceh.

Menurutnya, ada beberapa strategi darurat militer di Aceh. Pertama, menghidupkan birokratik otoriter. Hal itu terlihat jelas dari kebijakan KTPMerah Putih. Awalnya, kebijakan KTP Merah Putih ini dimaksudkan untuk memisahkan rakyat Aceh dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Kenyataannya, KTP itu justru untuk membedakan antara orang Aceh dengan non Aceh,” katanya.

Kedua, pola manipulasi politik masyarakat. Menurutnya, pola ini dimaksudkan untuk memperoleh struktur otoriter, seperti adanya pilihan hitam-putih. “Ini tidak lain adalah sub-ordinasi konsep keamanan. Mendukung DM atau GSA (Gerakan Separatis Aceh, nama yang sering diberikan oleh militer kepada GAM),” jelasnya. Ini terlihat dari aksi demonstrasi atau mobilisasi massa untuk mendukung perpanjangan DM di Aceh, padahal pada kenyataannya aksi itu direkayasa oleh TNI.

Ketiga, relasi mutualisme yang memunculkan parasit. Darurat Militer, katanya, membuka peluang terjadinya kerjasama antara militer dengan elit politik lokal. Banyak elit lokal menikmati keuntungan di balik pemberlakuanDarurat Militer, seperti kesempatan melakukan KKN. “Suasana DM dimanfaatkan oleh elit lokal untuk memperkaya diri,” tegas Munir yang juga pendiri Imparsial.

Munir juga menyoroti pola operasi yang diterapkan oleh TNI. Katanya, apa yang dilakukan TNI di Aceh merupakan sistem okupasi wilayah, yang mana lebih mencerminkan bentuk penyerbuan satu negara ke negara lain.

“DM di Aceh itu sama dengan konsep yang dijalankan oleh AS di Irak,” katanya membandingkan dengan perang yang terjadi di Irak, ketika kekuatan sekutu menyerbu Irak untuk mendongkel Saddam Husein. Pola seperti ini, sama sekali bukan pilihan terutama untuk mengukur tingkat kemenangan TNI di Aceh. Karena, strategi yang diterapkan GAM adalah perang gerilya yang sama sekali tak menganggap penting pemanfaatan atau pendudukan suatu wilayah.

“Jadi, klaim keberhasilan oleh TNI adalah klaim kemenangan semu,” simpul aktivis kelahiran Baru, Malang, ini.

Itulah beberapa butir pandangan Munir terhadap pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Seperti kita tahu, Munir dibunuh di atas pesawat yang akan menerbangkannya ke Belanda, pada 7 September 2004 silam. Mudah-mudahan coretan singkat ini bisa menjadi bagian dari upaya mengingat Munir—sekaligus melawan lupa—yang pada 7 September 2013 kemarin berarti sudah 9 tahun lamanya Munir dibunuh, tetapi belum mendapatkan keadilan. Pembunuhnya belum diketahui hingga sekarang. []
Note: posting ini saya tulis berdasarkan buku catatan harian saya selama di Jakarta.

Post a Comment

Previous Post Next Post