Pemilu 2014 sudah di depan mata. Seperti sebelum-sebelumnya, tiap dekat musim pemilu, politisi yang tak dikenal mulai pasang muka. Senyum mereka begitu mudah ditemui di tiang PLN, di simpang jalan, di batang pohon, di pinggir jalan atau digantung di atas jembatan. Anggota dewan yang terpilih lima tahun sebelumnya juga kembali menampakkan batang hidungnya, berlagak peduli dan merakyat, meski sempat hilang bagai ditelan bumi. Kita tak tahu apa kiprah mereka. Begitulah lakon hidup tiap musim politik tiba: politisi datang dan pergi, namun janji tak pernah ditepati.
Memilih wakil rakyat (juga memilih gubernur/bupati/walikota) sama seperti tamsilan orang tulak moto brok (mendorong mobil rusak). Perhatikan tingkah-laku orang tulak moto brok. Mereka biasanya membantu dengan ikhlas atas dasar menolong sesama. Karenanya, mereka sama sekali tak mengharap imbalan. Tiap selesai tulak moto brok, mereka lebih sering menerima ucapan terima kasih dari pemilik mobil, syukur-syukur jika ada tawaran minum kopi. Tapi, lebih sering, mobil rusak itu langsung tancap gas begitu mesin hidup. Si sopir paling-paling melempar senyum sambil mengangkat tangan disertai ucapan terima kasih.
“Makasih tgk, beh!” teriak mereka sambil melaju kencang. Kita pun hanya bisa termangu. Hehehe.
Tingkah-polah politisi juga demikian. Sejak 2004 saya intens mengikuti tingkah laku politisi yang mendadak berlagak jadi orang penting sekaligus sibuk. Sebentar-sebentar mereka turun ke kampung, ada yang diundang khenduri, memberi ceramah, membuka kompetisi pertandingan bola, meresmikan balai pengajian atau melakukan penanaman pohon perdana. Momen tersebut digunakan untuk mendekati rakyat dengan harapan mendapat suara dalam pemilu. Mereka pun sangat ramah, semua disalami dan diajak bicara, nyaris tanpa cela. Tiap sapaan diladeni dengan baik, seolah-olah begitu komunikatif dan peduli. Namun, semuanya itu rupanya hanya kamuflase semata.
Sebab, selepas pemilu atau saat sang politisi meraih posisi dan mendapatkan kedudukan, mereka lupa dengan segala tindakan yang diperbuatnya. Kita pun mendapati sosok yang berbeda dari sebelumnya: mereka menjadi jarang senyum, terlihat kaku, sombong, dan berlagak jadi orang penting benaran. Mereka tak lagi menyapa kita, sekadar beramah-tamah. Malah, jika kita ingin menyalaminya, susahnya minta ampun. Dia dijaga super ketat-berlapis-lapis. Kita merasa begitu jauh dengan orang yang kita pilih tersebut. Hingga kita menjadi tersadar, bahwa begitu seorang politisi terangkat derajatnya mereka menjadi orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal.
Nah, apakah dalam pemilu ini kita akan kembali dihadapkan pada kenyataan politek tulak moto brok! Semua terserah kita. Saya hanya mau mengingatkan saja, janganlah kita kembali jatuh ke dalam lubang yang sama: tiap pemilu ditipu politisi!
Memilih wakil rakyat (juga memilih gubernur/bupati/walikota) sama seperti tamsilan orang tulak moto brok (mendorong mobil rusak). Perhatikan tingkah-laku orang tulak moto brok. Mereka biasanya membantu dengan ikhlas atas dasar menolong sesama. Karenanya, mereka sama sekali tak mengharap imbalan. Tiap selesai tulak moto brok, mereka lebih sering menerima ucapan terima kasih dari pemilik mobil, syukur-syukur jika ada tawaran minum kopi. Tapi, lebih sering, mobil rusak itu langsung tancap gas begitu mesin hidup. Si sopir paling-paling melempar senyum sambil mengangkat tangan disertai ucapan terima kasih.
“Makasih tgk, beh!” teriak mereka sambil melaju kencang. Kita pun hanya bisa termangu. Hehehe.
Tingkah-polah politisi juga demikian. Sejak 2004 saya intens mengikuti tingkah laku politisi yang mendadak berlagak jadi orang penting sekaligus sibuk. Sebentar-sebentar mereka turun ke kampung, ada yang diundang khenduri, memberi ceramah, membuka kompetisi pertandingan bola, meresmikan balai pengajian atau melakukan penanaman pohon perdana. Momen tersebut digunakan untuk mendekati rakyat dengan harapan mendapat suara dalam pemilu. Mereka pun sangat ramah, semua disalami dan diajak bicara, nyaris tanpa cela. Tiap sapaan diladeni dengan baik, seolah-olah begitu komunikatif dan peduli. Namun, semuanya itu rupanya hanya kamuflase semata.
Sebab, selepas pemilu atau saat sang politisi meraih posisi dan mendapatkan kedudukan, mereka lupa dengan segala tindakan yang diperbuatnya. Kita pun mendapati sosok yang berbeda dari sebelumnya: mereka menjadi jarang senyum, terlihat kaku, sombong, dan berlagak jadi orang penting benaran. Mereka tak lagi menyapa kita, sekadar beramah-tamah. Malah, jika kita ingin menyalaminya, susahnya minta ampun. Dia dijaga super ketat-berlapis-lapis. Kita merasa begitu jauh dengan orang yang kita pilih tersebut. Hingga kita menjadi tersadar, bahwa begitu seorang politisi terangkat derajatnya mereka menjadi orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal.
Nah, apakah dalam pemilu ini kita akan kembali dihadapkan pada kenyataan politek tulak moto brok! Semua terserah kita. Saya hanya mau mengingatkan saja, janganlah kita kembali jatuh ke dalam lubang yang sama: tiap pemilu ditipu politisi!
Tags:
catatan