+ Gila, mana mungkin Diponegoro jadi Hasan Tiro
- Ingat, tak ada yang tidak mungkin.
+ Diponegoro itu orang Jawa! Tiro orang Aceh. Itu saja sudah berbeda
- Iya, saya tahu. Sekedar berandai-andai kan boleh?
+ Janganlah berandai-andai sesuatu yang tak mungkin
- Karena tak mungkin, makanya kita berandai-andai
Debat itu bisa panjang, tak akan menemukan ujung. Itu jelas kita akui sulit untuk mengubah sesuatu yang tidak mungkin lagi. Apalagi, kedua orang itu pun sudah tiada. Membicarakan mereka saja sebenarnya sudah tidak pantas. Tapi karena mereka orang hebat, wajar jika kita terus membicarakannya. Membicarakan mereka itu juga bagian dari mengingat sejarah dan membesarkan mereka dalam memori kita, dan memori anak cucu kelak.
Keduanya, memang lahir dari bangsa berbeda. Satu dari bangsa Jawa, dan satu
lagi Bangsa Aceh. Seperti kita tahu, entitas bangsa itu melekat sejak lahir
hingga mati. Entitas itu jelas tak bisa berubah. Seseorang yang lahir sebagai
bangsa Jawa jelas tak bisa seenaknya menjadi bangsa Aceh, begitu pula
sebaliknya. Inilah mungkin yang disebut nasionalisme, yang oleh Hasan Tiro,
diterangkan, bahwa dalam urusan nasionalisme orang tidak boleh berpura-pura.
Lihatlah bagaimana orang yang lahir sebagai Yahudi atau Persia. Identitas itu
melekat dalam diri mereka, hingga mereka mati.
Maka begitulah ceritanya, identitas terbentuk. Kita pun harus memahaminya.
Dan dalam perkara itu, hal-hal lain biasanya mengikut. Sebut saja, bagaimana
orang Bali (laki-laki) marah jika disebut ‘Mas’ karena ucapan yang pantas dan
lazim bagi mereka adalah ‘Bli’. Orang Padang lebih senang disapa ‘Uda’
ketimbang Abang. Orang Aceh lebih suka dipanggil ‘Bang’ ketimbang ‘Mas’, dan
sebagainya, sebagainya.
Nah, kembali lagi ke pertanyaan semula: Bagaimana seandainya Diponegoro
menjadi Hasan Tiro? Kita akan langsung menjawab, itu sesuatu yang tidak
mungkin. Iya, memang. Itu karena kita masih berpikir dalam sekat-sekat
identitas sempit. Itu terjadi karena kita melulu memakai kerangka nasionalisme
yang menuhankan identitas kultural dan lokal. Akan berbeda halnya jika kita
menggunakan kerangka lain: untuk kemaslahatan bersama dan menghormati sosok
lokal. Ini memang konteksnya berbeda. Yah, dalam memandang sesuatu, kita
selayaknya menjadi lebih kreatif dan produktif. Jangan pernah batasi pikiran
kita dengan sesuatu yang lebih sempit. Pikiran kita harus terbuka...
Sebab, yang sedang kita bicarakan ini bukan soal identitas lokal: Jawa vis
a vis Aceh. Kita sekarang sedang bahas bagaimana Jalan Diponegoro yang terletak
di pusat Pasar Aceh itu kita ubah menjadi Jalan Hasan Tiro; jalan KH Ahmad
Dahlan kita ubah menjadi Jalan Teungku Abdullah Syafie. Alasan saya sederhana
saja. Beberapa ruas jalan yang berdekatan dengan jalan-jalan tersebut
menggunakan nama tokoh Aceh, seperti Jalan Muhammad Jam, Jalan Teungku Syik
Pante Kulu, Jalan T. Cut Ali, Jalan Teungku Chik Di Tiro dan beberapa nama lain
yang tak bisa kita ingat.
Kenapa tiba-tiba saya bicara tentang perubahan nama jalan? Karena tak ada
jalan lain untuk mengingat seseorang yang telah tiada (dan kita yakin mereka memiliki
andil yang besar dalam hidupnya untuk Aceh ini) kecuali menabalkan nama mereka pada nama
jalan. Sehingga nama mereka selalu hidup dalam ingatan kita.
Di Jakarta juga sudah lama muncul wacana untuk mengubah nama jalan. Usulan
perubahan nama jalan tersebut mencakup Jalan Merdeka Utara menjadi Jalan Soekarno, Jalan Merdeka Selatan menjadi Jalan
Hatta, Jalan Merdeka Timur menjadi Jalan Soeharto, dan Jalan Merdeka Barat
menjadi Jalan Ali Sadikin.
Nah, karena Aceh sudah ada MoU dan UUPA alias sudah menganut self government (Saya ragu menulis self government, karena yang benar adalah Otonomi Khusus), Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakkir Manaf perlu segera mengeluarkan Pergub untuk mengubah nama jalan di Banda Aceh dengan nama tokoh-tokoh pejuang, seperti yang sudah kita sebutkan di atas: Hasan Tiro dan Abdullah Syafie. Saya yakin keduanya berjasa terhadap apa yang kita nikmati sekarang ini. Selemah-lemah cara menghormati mereka adalah menggunakan nama mereka sebagai nama jalan! []
Nah, karena Aceh sudah ada MoU dan UUPA alias sudah menganut self government (Saya ragu menulis self government, karena yang benar adalah Otonomi Khusus), Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakkir Manaf perlu segera mengeluarkan Pergub untuk mengubah nama jalan di Banda Aceh dengan nama tokoh-tokoh pejuang, seperti yang sudah kita sebutkan di atas: Hasan Tiro dan Abdullah Syafie. Saya yakin keduanya berjasa terhadap apa yang kita nikmati sekarang ini. Selemah-lemah cara menghormati mereka adalah menggunakan nama mereka sebagai nama jalan! []
Tags:
catatan