Revolusi Mental ala Aceh

Sudah sembilan tahun Aceh menikmati perdamaian. Aceh yang terpuruk karena konflik plus luluk-lantak karena tsunami perlahan-lahan mulai berbenah. Semua energi tercurah bagaimana membangun Aceh yang baru keluar dari wilayah perang. Bantuan internasional yang mengalir ke Aceh setelah hantaman gelombang membuat Aceh kembali bergeliat. Tapi, fokus bantuan saat itu lebih pada sektor fisik dan kecil sekali untuk sektor non-fisik.

Memang, sebagai wilayah atau negeri yang baru keluar dari konflik (perang) dan bencana, Aceh perlu dan harus menyiapkan sesuatunya dari awal. Infrastruktur yang rusak dan hancur mulai diperbaiki. Bangunan sekolah yang hancur baik karena dibakar saat konflik maupun hantaman gempa-tsunami kembali dibangun. Di samping itu, dengan dana yang melimpah, penerimaan bagi hasil Migas dan Otonomi Khusus plus APBA, Pemerintah Aceh mulai memikirkan pembangunan sumber daya manusia, memperbaiki kualitas kesehatan, pendidikan dan sektor-sektor lain yang abai diperhatikan selama ini. Selain itu, Aceh juga mulai mengirim pelajar-pelajar ke luar negeri: ke Eropa, Amerika dan Timur Tengah. Jumlah pelajar yang dikirim meningkat tajam.

Data dari Lembaga Pembangunan Sumber Daya Manusia (LPSDM)—sebelumnya bernama Komisi Beasiswa Aceh (KBA)—sepanjang 2005-2011 sebanyak 2.114 pemuda Aceh dikirim untuk belajar, baik di universitas-universitas di Indonesia maupun ke luar negeri. Jumlah ini belum termasuk mereka-mereka yang belajar atas dana sendiri maupun beasiswa dari lembaga lain, serta jumlah penerima beasiswa dari 2012-2014 yang datanya belum diupdate LPSDM. Mereka-mereka ini diharapkan ketika kembali ke Aceh mampu berkontribusi bagi pembangunan Aceh. Sebuah tujuan yang sangat mulia.

Membangun daerah yang hancur karena perang maupun tsunami memang mutlak harus dimulai dengan meningkatkan sumber daya manusia. Pengalaman Jepang dan Jerman yang segera bangkit setelah hancur karena Perang Dunia juga melalui pembangunan sumber daya manusia. Mereka menomorsatukan pendidikan untuk generasi mudanya yang kemudian menjadi pelopor pembangunan dan perubahan di dalam negeri. Pemerintah Aceh yang mengirim pemuda untuk belajar berbagai disiplin ilmu juga berpikir serupa, bahwa untuk membangun Aceh harus terlebih dulu membangun sumber daya manusia.

Nah, agar nanti para pemuda yang dikirim belajar tersebut berkontribusi besar untuk Aceh, mau tidak mau, Pemerintah Aceh perlu memperketat pola rekrutmen, seperti kontrak khusus: bahwa mereka merupakan duta-duta Aceh di luar negeri. Sebelum keberangkatan, mereka perlu memperoleh pengetahuan tentang Aceh dan memperdalam ideologi ke-Acehan. Ini penting agar mereka nantinya menempatkan Aceh sebagai fokus pengabdian mereka. Dengan demikian mereka yang belajar ke luar negeri tersebut memiliki keterikatan emosi dengan Aceh, yang sudah membiayai mereka.

Revolusi mental ala Aceh
Selain memiliki ideologi ke-Acehan, anak yatim korban konflik dan tsunami perlu mendapatkan prioritas. Jumlah mereka tersebar di banyak tempat di Aceh, dan sering tak memiliki kesempatan mengakses beasiswa dari Pemerintah. Padahal, merekalah sebenarnya yang perlu mendapat dukungan dari Pemerintah. Apapun dalihnya, orang tua mereka punya andil dan berhak menikmati hasil dari perdamaian yang dinikmati hari ini.

Upaya Pemerintah Aceh menetapkan beberapa konsentrasi bidang keilmuan ketika membuka formasi penerimaan beasiswa patut diapreasiasi. Namun, bidang keilmuan yang benar-benar dibutuhkan Aceh perlu lebih ditingkatkan, sehingga mereka yang dikirim belajar ke luar negeri minimal memiliki kompetensi seketika kembali ke Aceh. Hal ini untuk meminimalisir lahirnya tukang belajar yang setelah menyenyam pendidikan tingga hanya demi mengisi formasi lowongan kerja, apalagi jika sampai meminta peluang kerja kepada Pemerintah. Padahal, mereka yang belajar ke luar negeri, seharusnya menjadi pelopor untuk membuka lapangan kerja di Aceh, dan ilmu yang mereka peroleh selama di luar negeri mampu diaplikasikan di Aceh.

Selepas konflik dan tsunami, cukup banyak peneliti asing melakukan penelitian di Aceh, terutama terkait sejarah konflik Aceh, proses perdamaian dan berbagai kajian antropologis lainnya. Biasanya mereka berada di Aceh untuk waktu 1-2 bulan, tetapi mampu menghasilkan karya yang jadi rujuan akademik dan referensi tentang Aceh. Hal ini masih kurang sekali dilakukan oleh pelajar Aceh yang dikirim belajar ke luar negeri. Padahal, kalau penelitian tersebut dilakukan oleh orang Aceh (tangan pertama), tentu lebih mendalam. Penelitian ini juga akan menjadi pembanding terhadap penelitian asing yang sering-kali sangat tidak objektif.

Ini penting, karena kita selalu mengulang-ulang bahwa Aceh adalah laboratorium tsunami dan konflik. Anehnya, orang Aceh sebagai pemilik laboratorium belum benar-benar memanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Banyak orang luar belajar model penyelesaian konflik Aceh dan dari tsunami Aceh, tetapi hingga kini belum lahir (seperti tulisan orang luar) tulisan secara komprehensif yang ditulis oleh orang Aceh sendiri yang bisa menjadi sarana pembelajaran untuk orang luar dari tangan pertama. Karena itu, mereka-mereka yang dikirim belajar ke luar negeri harus menjadi orang yang mampu menjual hasil laboratorium Aceh sehingga menjadi pegangan dan model, baik terkait model resolusi konflik dan penanganan pasca-tsunami serta bagaimana Aceh bertahan setelah tsunami dan konflik.

Kalau peluang tersebut tak dimanfaatkan oleh para penerima beasiswa yang dikirim ke luar negeri, maka sia-sialah Pemerintah Aceh memberi dana besar untuk mereka, apalagi jika tak mampu berkontribusi bagi pembangunan Aceh secara berkelanjutan. Ironis lagi, jika mereka yang dikirim kuliah tersebut masih menagih posisi kerja dari Pemerintah Aceh. Kalau ini yang terjadi, tak perlu lagi mengirim mereka ke luar negeri jika hanya membebani keuangan Aceh. Padahal, dana tersebut bisa dimanfaatkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan. Inilah kiranya yang disebut revolusi mental ala Aceh! []

Post a Comment

Previous Post Next Post