Pada 4 Desember 2014 ini, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan Hasan Tiro di Gunung Halimon berusia 38 tahun. Di usia yang makin matang tersebut, banyak hal yang sudah berubah di tubuh organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh itu. Mulai dari perpecahan internal hingga beberapa kadernya menguasai pemerintahan di Aceh. Apalagi, seusai tsunami dan damai tercipta, Aceh kecipratan banyak dana: mulai dari bagi hasil Migas, dana otsus dan lain sebagainya. Dana tersebut, lebih dari cukup untuk membangun Aceh ke arah yang lebih baik.
Perdana Menteri GAM Malek Mahmud--sekarang Wali Nanggroe Aceh--seusai penandatanganan MoU Helsinki mengumpulkan para perunding GAM, aktivis sipil dan anggota GAM yang diundang ke Helsinki, untuk sosialisasi hasil perundingan dan apa yang harus dilakukan oleh Aceh, terutama para pejuang GAM. Informasi ini saya terima dari beberapa tokoh yang kebetulan hadir dalam perundingan tersebut. Dalam pertemuan informal itu, Malik Mahmud, mengatakan bahwa dengan penandatanganan damai tersebut, Aceh memiliki hak mengurusi dirinya sendiri di luar enam kewenangan yang masih menjadi tugas Pemerintah di Jakarta. "Kita nantinya bisa membangun partai lokal, kader-kader GAM bisa mencalonkan diri jadi Bupati/Walikota dan Gubernur. Kita memiliki akses terhadap ekonomi dan politik. Saat itu kita semua akan sejahtera, rakyat kita akan sejahtera. Tapi, ketika berbagai kemewahan itu kita capai, apakah kita masih mau berjuang sedikit lagi untuk merebut apa yang kita perjuangkan selama ini?" begitu kira-kira ucapan PM GAM waktu itu.
Selepas Malik menyampaikan hal ini, suasana menjadi hening. Tak ada yang bersuara. Pertanyaan PM tak ada yang berani menjawab. Mereka seperti sibuk dengan pikiran masing-masing. Kini setelah hampir sepuluh tahun damai Aceh tercipta, setelah MoU menutup peluang Aceh untuk merdeka, apakah masih ada lagi yang akan berjuang untuk kemerdekaan Aceh? Tiba-tiba saya juga tak berani menjawabnya. Nikmat perdamaian yang kita nikmati ini benar-benar membuat kita terlena dan lupa pada apa yang sudah terjadi sebelum damai tercipta. Hal ini pula yang membuat saya gelisah.
Di tengah kegelisahan itu, saya hanya bisa menulis. Sebab, melalui tulisan pula saya bebas memikirkan apa saja. Melalui tulisan, saya berharap ada yang tersentuh, sekali pun bukan untuk mengungkit-ungkit kembali kisah lama. Melalui tulisan pula, saya ingin merawat ingatan kita, bahwa apa yang sebelumnya terjadi di Aceh, termasuk apa yang kita rasakan setelah damai tercipta, benar-benar bukan mimpi. Karena itulah, buku yang sedang saya selesaikan ini, saya beri judul Aceh Tapi Nyata. Saya senang menggunakan judul yang sederhana untuk menyampaikan sesuatu yang sebenarnya besar.
Saya berharap, buku Aceh Tapi Nyata yang sedang saya siapkan ini bisa menjadi cermin bagi kita. Sebesar apa pun kuasa yang kita dapat hari ini, tak terlepas karena dulunya ada orang lain yang berjuang menggadaikan nyawa, darah dan air mata. Untuk itulah, ketika kuasa didapat, sekali-kali, kita tak boleh tersesat di rimba kekuasaan. Kekuasaan, kata orang, sekecil apa pun sering memabukkan. Makanya, seorang pejuang sejati, dia selalu ingat dari mana dia berangkat, melalui jalan apa dia datang, dan setelah berpetualang ke mana pun, dia tetap tahu jalan pulang.
Di luar itu, saya merencanakan buku ini menjadi ulang tahun peringatan Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-38. Hanya melalui buku saya mampu mengingat, bahwa di Aceh pernah sibak-sibuk dengan perjuangan, dan orang-orang dengan gagah berani berperang memerdekakan Aceh dari Indonesia, sekali pun sekarang orang-orang mulai melupakannya. Jadi, siap-siaplah sambut adik kecil Aceh Pungo, yang kali ini saya beri nama "Aceh Tapi Nyata". []
Perdana Menteri GAM Malek Mahmud--sekarang Wali Nanggroe Aceh--seusai penandatanganan MoU Helsinki mengumpulkan para perunding GAM, aktivis sipil dan anggota GAM yang diundang ke Helsinki, untuk sosialisasi hasil perundingan dan apa yang harus dilakukan oleh Aceh, terutama para pejuang GAM. Informasi ini saya terima dari beberapa tokoh yang kebetulan hadir dalam perundingan tersebut. Dalam pertemuan informal itu, Malik Mahmud, mengatakan bahwa dengan penandatanganan damai tersebut, Aceh memiliki hak mengurusi dirinya sendiri di luar enam kewenangan yang masih menjadi tugas Pemerintah di Jakarta. "Kita nantinya bisa membangun partai lokal, kader-kader GAM bisa mencalonkan diri jadi Bupati/Walikota dan Gubernur. Kita memiliki akses terhadap ekonomi dan politik. Saat itu kita semua akan sejahtera, rakyat kita akan sejahtera. Tapi, ketika berbagai kemewahan itu kita capai, apakah kita masih mau berjuang sedikit lagi untuk merebut apa yang kita perjuangkan selama ini?" begitu kira-kira ucapan PM GAM waktu itu.
Cover Aceh Tapi Nyata |
Di tengah kegelisahan itu, saya hanya bisa menulis. Sebab, melalui tulisan pula saya bebas memikirkan apa saja. Melalui tulisan, saya berharap ada yang tersentuh, sekali pun bukan untuk mengungkit-ungkit kembali kisah lama. Melalui tulisan pula, saya ingin merawat ingatan kita, bahwa apa yang sebelumnya terjadi di Aceh, termasuk apa yang kita rasakan setelah damai tercipta, benar-benar bukan mimpi. Karena itulah, buku yang sedang saya selesaikan ini, saya beri judul Aceh Tapi Nyata. Saya senang menggunakan judul yang sederhana untuk menyampaikan sesuatu yang sebenarnya besar.
Saya berharap, buku Aceh Tapi Nyata yang sedang saya siapkan ini bisa menjadi cermin bagi kita. Sebesar apa pun kuasa yang kita dapat hari ini, tak terlepas karena dulunya ada orang lain yang berjuang menggadaikan nyawa, darah dan air mata. Untuk itulah, ketika kuasa didapat, sekali-kali, kita tak boleh tersesat di rimba kekuasaan. Kekuasaan, kata orang, sekecil apa pun sering memabukkan. Makanya, seorang pejuang sejati, dia selalu ingat dari mana dia berangkat, melalui jalan apa dia datang, dan setelah berpetualang ke mana pun, dia tetap tahu jalan pulang.
Baca: Milad dan 4 DesemberKarena untuk tujuan inilah, saya berharap, Aceh Tapi Nyata, saya tulis. Saya akan senang kalau masing-masing kita menjadikannya sebagai cermin, menjadi medium merenung, tentang siapakah ini dan untuk apakah kita bergelut dalam kematian selama ini. Buku ini, sama sekali tak saya maksudkan sebagai sarana caci-maki, sekali pun di dalamnya cukup banyak beredar makian, tetapi tetap saya lakukan dalam kerangka menjadikannya sebagai cermin. Sebab, karena terlalu lena dengan kuasa, kita kadang-kadang lupa bercermin, tegasnya, kita lupa membaca lagi soal siapakah sekarang ini?
Di luar itu, saya merencanakan buku ini menjadi ulang tahun peringatan Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-38. Hanya melalui buku saya mampu mengingat, bahwa di Aceh pernah sibak-sibuk dengan perjuangan, dan orang-orang dengan gagah berani berperang memerdekakan Aceh dari Indonesia, sekali pun sekarang orang-orang mulai melupakannya. Jadi, siap-siaplah sambut adik kecil Aceh Pungo, yang kali ini saya beri nama "Aceh Tapi Nyata". []
Tags:
buku