Saya yakin, tak banyak yang mengenal sosok pengusaha Aceh satu ini, terutama generasi sekarang. Tapi, bagi para eks anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) namanya tentu saja tidak asing. Dia pernah memegang posisi kunci dalam gerakan yang dibangun oleh Teungku Daud Beureu’eh pada 1953 itu sebagai penanggung jawab logistik.
Dialah H. Abdullah Banta. Lahir di Samadua, Aceh Selatan, pada 1920, anak laki-laki satu-satunya dari 11 bersaudara. Sekali pun hanya sempat bersekolah di Sekolah Rakyat (SR), suami dari Hj Asmah Abubakar ini pernah merajai dunia bisnis di Aceh tahun 1960-an. Kedekatan dengan dunia bisnis sejak kecil mengantarkannya menjadi salah seorang pengusaha angkutan. Dia bahkan pernah membeli sebuah kapal layar.
Kecintaan terhadap dunia pelayaran sangat dipengaruhi oleh hobi di masa kecil. Dia gemar mencari ikan dan sering terlibat dalam tarik pukat. Sejak kecil dia sudah dekat dengan kehidupan maritim. Apalagi, tempat kelahirannya di Samadua, dikelilingi oleh gunung dan lautan. Letak geografis ini menumbahkan minatnya terhadap pelayaran dan dunia angkutan sekaligus. Bahkan, di masa lajangnya pernah menjadi sopir angkutan, dan bercita-cita dapat membeli sebuah bus.
Namun, cita-cita membeli sebuah bus itu tak juga kesampaian, karena setelah menikahi Hj Asmah Abubakar pada tahun 1942, H Abdullah Banta justru membeli sebuah kapal layar. Uniknya, simbol dan nama kapalnya adalah Selebes. Entah apa tujuan dia memberi nama kapal tersebut seperti sebutan Pulau Sulawesi itu.
Nama Selebes ternyata tak bertahan lama. Setelah joint/merger dengan beberapa perusahaan lain, lahir sebuah perusahaan baru dengan nama NV. PMABS (Perusahaan Motor Abdullah Brahim Salam) yang bergerak di bisnis angkutan. Anehnya, Bus PMABS itu tetap menggunakan simbol kapal layar, seperti Selebes. Di perusahaan baru itu, beliau duduk sebagai direkturnya.
Jaringan bisnis yang dibangunnya melalui perusahaan itu sangatlah luas. Tak hanya melayani jasa pengangkutan saja, melainkan terlibat dalam kegiatan ekport-import komoditi ke berbagai negara. Ayah delapan putra ini bahkan pernah membawa kopra dan pala Aceh ke Malaysia, Singapura, China dan Hongkong melalui pelabuhan Kuala Langsa.
Sementara dari Cina, yang saat itu telah terkenal dengan hasil industrinya, H Abdullah mengimpor berbagai jenis merek sepeda ke Acheh. Kegiatan ini berlangsung kira-kira pada tahun 1960-an. Keberhasilannya membangun kerajaan bisnis tak dirintisnya sendiri, melainkan bersama-sama dengan perusahaan lain seperti Aceh Kongsi, NV. Permai, Ajeyma Coy, NV. Murni Teguh dan NV Bahruni.
Kesuksesan di dunia bisnis membuat H Abdullah Banta makin terkenal. Gubernur Aceh Ali Hasjmi dan Muzakkir Walad mengangkatnya sebagai staff khusus. Aksesnya terhadap kekuasaan semakin luas, saat diminta oleh Walikota Osman Yacob, untuk memperindah tata kota Banda Aceh. Salah satu hasil dari karyanya dapat dilihat di sepanjang Jalan Dipenogero Banda Aceh.
Salah satu pendiri Yayasan Asrama Nagasakti terus melebarkan sayap bisnisnya seperti membuka SPBU. Bisnis ini ditekuni setelah tak lagi fokus di bidang pengangkutan. Dalam menjalankan bisnis SPBU ini, H Abdullah bekerja sama dengan Pertamina.
Saat DI/TII pimpinan Daud Beureueh bergolak di Aceh, Abdullah Banta ikut ambil bagian di dalam gerakan yang menuntut lahirnya negara Islam tersebut. Dengan latar belakang kegiatan yang digelutinya, maka dia dipercaya sebagai bidang logistik Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Di saat sedang berada di puncak bisnis, kesehatannya pun terus memburuk. Mobilitas sebagai pengusaha tak jarang membuat penyakitnya bertambah parah, apalagi dia jarang beristirahat. Ketika kena serangan jantung, H Abdullah sempat mengalami koma 38 hari di RS Mount Elizabeth Singapura. Perjuangan beliau melawan penyakit sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1954, saat ginjalnya tinggal satu.
Di mata anak-anaknya, beliau adalah seorang tipe pekerja keras, dan pantang menyerah. Beliau meninggal dunia pada tahun 1986 dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di sebuah desa di Montasik, Aceh Besar. Ini salah satu saudagar Aceh yang nyaris luput dari catatan sejarah. []
Note: tulisan ini sudah lama sekali saya tulis. Seingat saya, ada seorang teman meminta saya membuat tulisan biografi singkat H Abdullah Banta, tidak tahu untuk keperluan apa. Data-data di tulisan ini berasal dari teman saya itu. Saya posting kembali di blog ini sebagai arsip.
Dialah H. Abdullah Banta. Lahir di Samadua, Aceh Selatan, pada 1920, anak laki-laki satu-satunya dari 11 bersaudara. Sekali pun hanya sempat bersekolah di Sekolah Rakyat (SR), suami dari Hj Asmah Abubakar ini pernah merajai dunia bisnis di Aceh tahun 1960-an. Kedekatan dengan dunia bisnis sejak kecil mengantarkannya menjadi salah seorang pengusaha angkutan. Dia bahkan pernah membeli sebuah kapal layar.
Kecintaan terhadap dunia pelayaran sangat dipengaruhi oleh hobi di masa kecil. Dia gemar mencari ikan dan sering terlibat dalam tarik pukat. Sejak kecil dia sudah dekat dengan kehidupan maritim. Apalagi, tempat kelahirannya di Samadua, dikelilingi oleh gunung dan lautan. Letak geografis ini menumbahkan minatnya terhadap pelayaran dan dunia angkutan sekaligus. Bahkan, di masa lajangnya pernah menjadi sopir angkutan, dan bercita-cita dapat membeli sebuah bus.
Namun, cita-cita membeli sebuah bus itu tak juga kesampaian, karena setelah menikahi Hj Asmah Abubakar pada tahun 1942, H Abdullah Banta justru membeli sebuah kapal layar. Uniknya, simbol dan nama kapalnya adalah Selebes. Entah apa tujuan dia memberi nama kapal tersebut seperti sebutan Pulau Sulawesi itu.
Nama Selebes ternyata tak bertahan lama. Setelah joint/merger dengan beberapa perusahaan lain, lahir sebuah perusahaan baru dengan nama NV. PMABS (Perusahaan Motor Abdullah Brahim Salam) yang bergerak di bisnis angkutan. Anehnya, Bus PMABS itu tetap menggunakan simbol kapal layar, seperti Selebes. Di perusahaan baru itu, beliau duduk sebagai direkturnya.
Jaringan bisnis yang dibangunnya melalui perusahaan itu sangatlah luas. Tak hanya melayani jasa pengangkutan saja, melainkan terlibat dalam kegiatan ekport-import komoditi ke berbagai negara. Ayah delapan putra ini bahkan pernah membawa kopra dan pala Aceh ke Malaysia, Singapura, China dan Hongkong melalui pelabuhan Kuala Langsa.
Sementara dari Cina, yang saat itu telah terkenal dengan hasil industrinya, H Abdullah mengimpor berbagai jenis merek sepeda ke Acheh. Kegiatan ini berlangsung kira-kira pada tahun 1960-an. Keberhasilannya membangun kerajaan bisnis tak dirintisnya sendiri, melainkan bersama-sama dengan perusahaan lain seperti Aceh Kongsi, NV. Permai, Ajeyma Coy, NV. Murni Teguh dan NV Bahruni.
Kapal di Aceh | Tropen Museum |
Salah satu pendiri Yayasan Asrama Nagasakti terus melebarkan sayap bisnisnya seperti membuka SPBU. Bisnis ini ditekuni setelah tak lagi fokus di bidang pengangkutan. Dalam menjalankan bisnis SPBU ini, H Abdullah bekerja sama dengan Pertamina.
Saat DI/TII pimpinan Daud Beureueh bergolak di Aceh, Abdullah Banta ikut ambil bagian di dalam gerakan yang menuntut lahirnya negara Islam tersebut. Dengan latar belakang kegiatan yang digelutinya, maka dia dipercaya sebagai bidang logistik Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
PMABS | foto: Almanak Umum Aceh 1959 |
Di mata anak-anaknya, beliau adalah seorang tipe pekerja keras, dan pantang menyerah. Beliau meninggal dunia pada tahun 1986 dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di sebuah desa di Montasik, Aceh Besar. Ini salah satu saudagar Aceh yang nyaris luput dari catatan sejarah. []
Note: tulisan ini sudah lama sekali saya tulis. Seingat saya, ada seorang teman meminta saya membuat tulisan biografi singkat H Abdullah Banta, tidak tahu untuk keperluan apa. Data-data di tulisan ini berasal dari teman saya itu. Saya posting kembali di blog ini sebagai arsip.
Tags:
biografi