Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 memang sudah lama usai, dan kita pun sudah memiliki presiden dan wakil presiden terpilih: Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Tapi, pesta demokrasi yang membelah masyarakat kita ke dalam dua kubu secara kontras meninggalkan ‘keprihatinan’ yang mendalam: bagaimana media bermain secara ‘kasar’ dan ‘radikal’ bahkan dengan melabrak tembok independensi.
Ya, netralitas media menjadi isu utama dalam Pilpres yang diikuti oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Awalnya, kita menganggap kemunculan pimpinan media yang berafiliasi ke partai politik tertentu suatu hal biasa. Lama-lama, kita menjadi sadar, bahwa secara terbuka maupun terselubung, mereka kerap muncul dengan pesan-pesan politik: melalui iklan dan pemberitaan. Kita pun menjadi sulit membedakan mana ‘berita’ dan mana ‘propaganda’ (pesan sponsor).
Pemberitaan (baca: propaganda) dan iklan mereka kerapa muncul di waktu-waktu utama (prime time), dan kita pemirsa ‘dipaksa’ melahap dan menyaksikan apa saja yang keluar dari mulut mereka, tanpa diberi pilihan. Media ‘membombardir’ kita dengan berita-berita politik itu, seolah-olah kita menyetujuinya. Kita hampir-hampir tak punya pilihan, kecuali berhenti menonton televisi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panwaslu dan KPI sepertinya tak bergigi ketika berhadapan dengan pemilik media. Jaringan televisi kita, kini memang sebagian besar dikuasai politisi, seperti MNC group, Metro TV dan TV One. Sekali pun banyak pengaduan dari publik tentang pelanggaran yang dilakukan pihak media tersebut, kampanye terselubung dan iklan politik itu tak juga berkurang. Bahkan pemilik media semakin kuasa melawan berbagai aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur soal ini.
Arogansi pihak media secara jelas terlihat saat diskusi rencana peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait muatan politik di layar kaca, di kantor KPI, 14 November 2013. Kebanyakan peserta diskusi, rata-rata dari industri televisi dengan suara bulat menolak peraturan yang akan diberlakukan KPI.
Rekayasa persetujuan
Media massa terutama televisi memang sangat ampuh digunakan sebagai medium kampanye. Penelitian yang pernah dilakukan Dewan Pers sejak 2008-2012 menunjukkan bahwa televisi masih menjadi yang paling banyak diakses oleh masyarakat, disusul media online. Jadi, cukup wajar ketika televisi menjadi pilihan nomor satu yang dipilih politisi dalam mendongkrak citra.
Terlepas kita setuju atau tidak dengan mereka, faktanya, banyak pimpinan partai politik memilih muncul di layar televisi saban hari. Bahkan, durasinya makin meningkat menjelang pemilu. Masyarakat digiring untuk menerima pesan politik tersebut. Suka tidak suka, kita harus menonton berita dan iklan politik. Konten dan iklan kampanye selalu hadir, di sela-sela kita menonton sinetron, infotainment dan berita.
Lihat saja bagaimana kampanye para calon presiden benar-benar sudah pada taraf ‘menggila’. Kemunculan mereka di layar televisi denga penuh percaya diri, menunjukkan seolah-olah mereka sudah menjadi presiden. Masyarakat diajak untuk menerima mereka. Padahal, masyarakat sebenarnya sudah cukup muak dengan kampanye politik ini, tetapi mereka tak punya kuasa menolak. Pasalnya, orang-orang yang mereka lihat di televisi, selain punya kuasa juga memiliki dana yang melimpah. Mereka sanggup membayar mahal untuk setiap iklan dan (kadang-kadang untuk pemberitaan), selain karena sebagian memang pemiliknya.
Iklan Capres
Namun, di luar soal iklan dan kampanye terselubung melalui pemberitaan, sebenarnya ada hal lain yang membuat kita pantas prihatin. Yaitu, bagaimana massifnya iklancapres hadir di layar kaca kita dan durasinya terus meningkat ketika masa kampanye dimulai bahkan menjelang pencoblosan dengan berkedok pemberitaan dan iklan layanan masyarakat. Jangan tanya, berapa jumlah dana yang digelontorkan untuk iklan capres tersebut, karena nilainya sepadan untuk membangun puluhan ribu rumah sederhana untuk masyarakat miskin yang masih bertebaran di seluruh pelosok negeri.
Menurut temuan lembaga SatuDunia yang dimuat di situs www.iklancapres.org, belanja iklan untuk berbagai media yang ada di Jakarta saja mencapai Rp120,32 miliar. Sementara jumlah total untuk lima wilayah pemantauan, total mencapai Rp128,73 miliar. Ini belum lagi ditambah iklan di luar wilayah pemantauan, pasti angkanya lebih besar lagi. Sementara menurut data hasil riset yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Sigi Kaca Pariwara seperti dikutip www.iklancapres.org, terungkap bahwa total belanja iklan televisi untuk kampanye pilpres 2014 tercatat mencapai Rp 186,63 miliar. Masing-masing capres mengeluarkan dana yang hampir berimbang untuk keperluan tersebut.
Jumlah biaya iklan tentang pasangan nomor urut 1 (Prabowo-Hatta Rajasa), misalnya, mencapai Rp 93,72 miliar. Adapun belanja iklan televisi yang dikeluarkan kubu Jokowi-JK sebesar Rp 92,9 miliar. Bagi kita ini menunjukkan betapa mahalnya harga menjadi pemimpin di negeri ini, serta bagaimana uang dihamburkan untuk 'membeli' pilihan rakyat.
Sikap Kita
Kita wajar prihatin, karena dana yang cukup besar tersebut hanya dihabiskan untuk iklan politik. Ini terjadi karena memang kita belum sepenuhnya memiliki pengaturan kampanye secara ketat. Nina Septiani dalam tulisannya Aturan Iklan Capres di Indonesia Kalah Jauh dengan Negara-Negara Eropa di www.iklancapres.org menulis bahwa di negara-negara demokratis Eropa, pengaturan kampanyenya sangatlah ketat. Di Inggris, Jerman, dan Prancis, misalnya, iklan politik pada media penyiaran swasta sama sekali dilarang.
Sementara di tempat kita, bukan tidak ada aturan, tetapi di sini sudah lama berlaku rumus: aturan dibuat untuk dilanggar. Bahkan beberapa peraturan yang dibuat untuk mengatur soal kampanye ditolak, seperti ditunjukkan perwakilan media yang menolak aturan KPI itu.
Lalu, bagaimana seharusnya sikap kita? Kejadian di Polandia pada akhir tahun 1981, seperti dicatat Bill Kovach dan Thomas Rosenstiel dalam bukunya Element of Journalisme (2003), patut menjadi inspirasi bagi kita. Saat jam tayang utama (prime time), masyarakat memilih membawa anjing mereka bermain di taman. Mereka tak mau mendengarkan radio yang kontennya lebih banyak berisi konten pemerintah. Sementara di Gdank, Polandia, saat jam tayang siaran dari pemerintah, masyarakat membalikkan layar televisi ke arah jalan melalui jendela. Mereka sedang mengirim pesan kepada pemerintah, ‘kami tak sudi mendengar kebenaran versimu’.
Saya pikir, ke depan, kalau iklan capres menjamur lagi dan menggila, masyarakat kita perlu menggunakan cara yang dilakukan warga Polandia. Biarlah capres-capres ganteng itu berkampanye sendiri di televisi! Di atas segalanya, kita patut memberi apresiasi atas kehadiran website www.iklancapres.org ini. Ia tak hanya merekam nilai dan angka, melainkan juga mengingatkan kita betapa mahalnya biaya menjadi penguasa di negeri ini. Bahwa, bukan tidak mungkin, di balik besarnya dana kampanye tersebut ada uang kita yang dirampok mereka. Salam
Ya, netralitas media menjadi isu utama dalam Pilpres yang diikuti oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Awalnya, kita menganggap kemunculan pimpinan media yang berafiliasi ke partai politik tertentu suatu hal biasa. Lama-lama, kita menjadi sadar, bahwa secara terbuka maupun terselubung, mereka kerap muncul dengan pesan-pesan politik: melalui iklan dan pemberitaan. Kita pun menjadi sulit membedakan mana ‘berita’ dan mana ‘propaganda’ (pesan sponsor).
Pemberitaan (baca: propaganda) dan iklan mereka kerapa muncul di waktu-waktu utama (prime time), dan kita pemirsa ‘dipaksa’ melahap dan menyaksikan apa saja yang keluar dari mulut mereka, tanpa diberi pilihan. Media ‘membombardir’ kita dengan berita-berita politik itu, seolah-olah kita menyetujuinya. Kita hampir-hampir tak punya pilihan, kecuali berhenti menonton televisi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panwaslu dan KPI sepertinya tak bergigi ketika berhadapan dengan pemilik media. Jaringan televisi kita, kini memang sebagian besar dikuasai politisi, seperti MNC group, Metro TV dan TV One. Sekali pun banyak pengaduan dari publik tentang pelanggaran yang dilakukan pihak media tersebut, kampanye terselubung dan iklan politik itu tak juga berkurang. Bahkan pemilik media semakin kuasa melawan berbagai aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur soal ini.
Arogansi pihak media secara jelas terlihat saat diskusi rencana peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait muatan politik di layar kaca, di kantor KPI, 14 November 2013. Kebanyakan peserta diskusi, rata-rata dari industri televisi dengan suara bulat menolak peraturan yang akan diberlakukan KPI.
Rekayasa persetujuan
Media massa terutama televisi memang sangat ampuh digunakan sebagai medium kampanye. Penelitian yang pernah dilakukan Dewan Pers sejak 2008-2012 menunjukkan bahwa televisi masih menjadi yang paling banyak diakses oleh masyarakat, disusul media online. Jadi, cukup wajar ketika televisi menjadi pilihan nomor satu yang dipilih politisi dalam mendongkrak citra.
Terlepas kita setuju atau tidak dengan mereka, faktanya, banyak pimpinan partai politik memilih muncul di layar televisi saban hari. Bahkan, durasinya makin meningkat menjelang pemilu. Masyarakat digiring untuk menerima pesan politik tersebut. Suka tidak suka, kita harus menonton berita dan iklan politik. Konten dan iklan kampanye selalu hadir, di sela-sela kita menonton sinetron, infotainment dan berita.
Lihat saja bagaimana kampanye para calon presiden benar-benar sudah pada taraf ‘menggila’. Kemunculan mereka di layar televisi denga penuh percaya diri, menunjukkan seolah-olah mereka sudah menjadi presiden. Masyarakat diajak untuk menerima mereka. Padahal, masyarakat sebenarnya sudah cukup muak dengan kampanye politik ini, tetapi mereka tak punya kuasa menolak. Pasalnya, orang-orang yang mereka lihat di televisi, selain punya kuasa juga memiliki dana yang melimpah. Mereka sanggup membayar mahal untuk setiap iklan dan (kadang-kadang untuk pemberitaan), selain karena sebagian memang pemiliknya.
Iklan Capres
Namun, di luar soal iklan dan kampanye terselubung melalui pemberitaan, sebenarnya ada hal lain yang membuat kita pantas prihatin. Yaitu, bagaimana massifnya iklancapres hadir di layar kaca kita dan durasinya terus meningkat ketika masa kampanye dimulai bahkan menjelang pencoblosan dengan berkedok pemberitaan dan iklan layanan masyarakat. Jangan tanya, berapa jumlah dana yang digelontorkan untuk iklan capres tersebut, karena nilainya sepadan untuk membangun puluhan ribu rumah sederhana untuk masyarakat miskin yang masih bertebaran di seluruh pelosok negeri.
Belanja Iklan Capres | iklancapres.org |
Jumlah biaya iklan tentang pasangan nomor urut 1 (Prabowo-Hatta Rajasa), misalnya, mencapai Rp 93,72 miliar. Adapun belanja iklan televisi yang dikeluarkan kubu Jokowi-JK sebesar Rp 92,9 miliar. Bagi kita ini menunjukkan betapa mahalnya harga menjadi pemimpin di negeri ini, serta bagaimana uang dihamburkan untuk 'membeli' pilihan rakyat.
Sikap Kita
Kita wajar prihatin, karena dana yang cukup besar tersebut hanya dihabiskan untuk iklan politik. Ini terjadi karena memang kita belum sepenuhnya memiliki pengaturan kampanye secara ketat. Nina Septiani dalam tulisannya Aturan Iklan Capres di Indonesia Kalah Jauh dengan Negara-Negara Eropa di www.iklancapres.org menulis bahwa di negara-negara demokratis Eropa, pengaturan kampanyenya sangatlah ketat. Di Inggris, Jerman, dan Prancis, misalnya, iklan politik pada media penyiaran swasta sama sekali dilarang.
Sementara di tempat kita, bukan tidak ada aturan, tetapi di sini sudah lama berlaku rumus: aturan dibuat untuk dilanggar. Bahkan beberapa peraturan yang dibuat untuk mengatur soal kampanye ditolak, seperti ditunjukkan perwakilan media yang menolak aturan KPI itu.
Lalu, bagaimana seharusnya sikap kita? Kejadian di Polandia pada akhir tahun 1981, seperti dicatat Bill Kovach dan Thomas Rosenstiel dalam bukunya Element of Journalisme (2003), patut menjadi inspirasi bagi kita. Saat jam tayang utama (prime time), masyarakat memilih membawa anjing mereka bermain di taman. Mereka tak mau mendengarkan radio yang kontennya lebih banyak berisi konten pemerintah. Sementara di Gdank, Polandia, saat jam tayang siaran dari pemerintah, masyarakat membalikkan layar televisi ke arah jalan melalui jendela. Mereka sedang mengirim pesan kepada pemerintah, ‘kami tak sudi mendengar kebenaran versimu’.
Saya pikir, ke depan, kalau iklan capres menjamur lagi dan menggila, masyarakat kita perlu menggunakan cara yang dilakukan warga Polandia. Biarlah capres-capres ganteng itu berkampanye sendiri di televisi! Di atas segalanya, kita patut memberi apresiasi atas kehadiran website www.iklancapres.org ini. Ia tak hanya merekam nilai dan angka, melainkan juga mengingatkan kita betapa mahalnya biaya menjadi penguasa di negeri ini. Bahwa, bukan tidak mungkin, di balik besarnya dana kampanye tersebut ada uang kita yang dirampok mereka. Salam
Tags:
Artikel