Saya yakin bahwa tak semua masyarakat Aceh tahu bahwa daerah mereka merupakan salah satu provinsi dengan penerimaan pemerintah perkapita tertinggi di Indonesia. Mereka juga tidak tahu bahwa Pemerintah Aceh plus Kabupaten/Kota menerima dana Rp25,5 triliun pada tahun 2013. Mereka bahkan tidak peduli jika sejak tahun 2008 hingga akhir 2013 lalu, daerah mereka menerima lebih dari Rp100 triliun dana. Mereka pun tak tertarik membicarakan keberadaan Aceh yang menduduki peringkat ke-5 terkaya dari sisi penerimaan pemerintah sebesar Rp5,5 juta, padahal penerimaan rata-rata daerah lain hanya sebesar Rp4,2 juta.
Apa pentingnya angka-angka di atas ketika dihadapkan pada kondisi terkini, terutama perkembangan ‘sosial’ yang terjadi di kantor Gubernur Aceh tiap musim meugang tiba atau saat menagih bantuan proposal seperti terjadi 2013 lalu? Bayangkan ratusan orang rela berdesak-desakan, ‘mengemis’ serta menunggu berjam-jam untuk mendapatkan ‘bantuan proposal’ dari Pemerintah Aceh. Entah siapa yang ‘memprovokasi’ masyarakat untuk menagih ‘dana’ dari Pemerintah Aceh, kita tidak tahu pasti. Tapi fenomena tersebut menunjukkan ada yang salah dari visi pembangunan Aceh selama ini. Jelas bukan, bahwa angka-angka di atas menjadi tak bermakna!
Aceh boleh saja kaya dengan mengelola dana yang cukup besar, terutama setelah tsunami dan damai tercipta. Namun, di balik dana yang besar itu justru melahirkan masyarakat yang ‘sakit’ (secara sosial). Kejadian di kantor Gubernur, misalnya (termasuk juga fenomena tiap menjelang Meugang, Idul Fitri, dan Idul Adha), menunjukkan gejala ‘sakit’ kini mengidap di sebagian besar masyarakat Aceh. Budaya royal dengan membagi-bagi uang, yang sebelumnya dilakukan politisi menjelang Pemilu, kini dilakoni oleh Pemerintah, sekalipun itu tak dapat disebut kebijakan. Budaya ini jelas membuat masyarakat jadi ‘manja’ serta membuat mereka lupa bekerja, karena uang begitu mudahnya didapat: cukup bawa KTP atau proposal, mereka sudah bisa membawa pulang uang jutaan rupiah.
Lalu, bagaimana kita harus menjawab andai ada orang iseng-iseng bertanya: apa yang sudah berubah setelah 9 tahun usia perdamaian Aceh dan 10 tahun tsunami berlalu? Saya sendiri, terus-terang, akan menggelengkan kepala. Padahal, sekilas, ini hanya pertanyaan sederhana yang tak membutuhkan waktu berjam-jam memikirkan jawabannya. Tapi, saya yakin tak mudah menjawab pertanyaan ini, terutama setelah dihadapkan pada sejumlah fenomena seperti di atas. Soalnya, ada beragam soal yang harus kita bedah, mulai dari aspek politik, ekonomi, hukum, sosial, kesehatan, pendidikan, sumber daya alam, infrastruktur dan sebagainya. Masing-masing aspek itu tak dapat diurai secara terpisah, melainkan saling terkait satu-sama lain.
Kita boleh saja mengatakan bahwa kebebasan dalam bidang politik sudah jauh lebih baik di banding sebelumnya, tetapi tetap saja meninggalkan banyak pertanyaan susulan. Kita juga boleh menyebutkan bahwa akses ekonomi sekarang ini lebih mudah, tapi kembali dihadapkan pada pertanyaan lain: akses oleh dan untuk siapa? Begitu juga soal hukum, sosial, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Tak ada jawaban paripurna untuk pertanyaan di atas. Artinya, memang tak mudah menjawab apalagi sekadar mengatakan sudah banyak hal yang sudah berubah setelah usia perdamaian menginjak 9 tahun atau setelah 10 tahun tsunami berlalu. Sebab, fakta sering menunjukkan keadaan sebaliknya, bukan?
Tak percaya? Silakan simak analisis Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) tentang hasil analisis belanja hibah/bansos Aceh tahun 2013, di mana ternyata belanja hibah/bansos yang bertujuan untuk pemerataan dan azas persamaan ekonomi termasuk untuk meredam potensi konflik, belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Aceh secara riil. Padahal, kata peneliti PECAPP Renaldi Safriansyah, belanja tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, misalnya, dana hibah/bansos Aceh hanya Rp159 miliar dan menjadi Rp1,3 triliun pada tahun 2011. Sementara Tahun 2013, kata dia, menjadi Rp1,8 triliun, tujuh kali lipat dibanding 2007.
Kita boleh saja mendebat hasil analisis tersebut, terutama membandingkan kondisi ekonomi masyarakat (khususnya di perkotaan) yang lebih menggeliat di banding sebelumnya. Belum lagi jika kita menggunakan tolak ukur daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi, jumlah kendaraan bermotor maupun kondisi warung kopi yang selalu penuh. Tapi, apakah benar demikian? Bukankah itu hanya ‘kemewahan’ yang cuma dinikmati segelintir orang saja.
Namun, tunggu dulu. Kita tak boleh mendasarkan penilaian hanya berdasarkan fenomena semata, yang kerap sering menyembunyikan keadaan sebenarnya. Sebab, dari data terbaru Badan Pusat Statistik Aceh per 2 Juli 2012, misalnya, tentu membuat kita terkejut. Bayangkan, penduduk miskin di Aceh mencapai 909.040 jiwa pada Maret 2012 (19,5 persen), meningkat dibandingkan data per Maret 2011 sejumlah 894 ribu jiwa (acehkita, 2/7). Artinya, pemerintahan Aceh yang lahir pasca-perdamaian (juga tsunami) ternyata belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.
Tak berlebihan, kalau peneliti PECAPP mengatakan, bahwa belanja hibah dan bantuan sosial yang terus meningkat sama sekali tak berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan (belanjapublikaceh.org). Angka kemiskinan di Aceh yang sebesar 19,5 persen (2012) itu ternyata menempatkan Aceh di peringkat kelima secara nasional, yang memiliki rata-rata sebesar 11,9 persen. Sementara di tahun sebelumnya (2011), peringkat kemiskinan Aceh berada di posisi keenam secara nasional. Mencengangkan, bukan?
Lebih memiriskan lagi, ternyata, selain upaya percepatan kesejahteraan yang masih jalan di tempat, kita juga dihadapkan pada masalah sosial yang tak kalah penting: jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa di Aceh juga tinggi. Data dari Dinas Kesehatan Aceh tahun 2012, misalnya, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 14,1 persen (dihitung dari total jumlah golongan usia 15 tahun ke atas). Bahkan, angka gangguan jiwa di Aceh ini berada di atas rata-rata nasional, yang hanya 11,6 persen. Kita tidak tahu apakah ada hubungannya antara tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, dengan peningkatan jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa. Untuk yang satu ini perlu penelitian yang lebih mendalam lagi.
Apa yang harus dilakukan Aceh?
Kondisi seperti disinggung di atas jelas menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera mendapat perhatian dari Pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Sisa dua tahun lebih masa pemerintahan perlu ‘dihibahkan’ untuk menuntaskan masalah tersebut, terutama pengentasan kemiskinan, pelayanan kesehatan yang lebih baik serta menjamin terpenuhinya hak anak atas pendidikan. Ini sejalan dengan target Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs) yang musti dicapai pada tahun 2015, di mana pemerintah Indonesia ikut menandangani Deklarasi Milenium tersebut pada Pertemuan Puncak di New York tahun 2000 silam.
Dari delapan target MDGs: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar untuk semua; kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan; penurunan angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan, saya kira Aceh cukup menuntaskan empat tujuan saja (target minimal), yaitu penurunan angka kemiskinan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu serta pendidikan.
Dengan dana Aceh yang cukup besar, saya kira target tersebut tak sulit digapai, asal saja pemerintah melakukan semua upaya-upaya tersebut secara terukur serta terkonsep jelas. Budaya bagi-bagi uang seperti tiap musim meugang dan Idul Fitri tiba sudah selayaknya dihindari. Pemerintah perlu menghidupkan sektor produktif masyarakat dengan mengembangkan konsep ekonomi kerakyatan, termasuk membenahi infrastruktur yang masih buruk.
Sementara penurunan angka kematian bayi menjadi mendesak, setelah kita disodorkan fakta yang menohok kita semua bahwa angka kematian bayi di Aceh selama 2013 lalu mencapai 1.034 bayi, lebih tinggi di banding tahun 2012 yang hanya 985 bayi. Anehnya, kematian tersebut rata-rata disebabkan oleh kekurangan gizi, baik saat janin masih di dalam kandungan maupun ketika bayi masih di bawah satu tahun. Angka ini sebenarnya tak mengherankan, karena ternyata berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2010, sebanyak 23,7 persen anak Aceh mengalami gizi buruk dan kurang gizi.
Di atas segalanya, kita harus selalu saling mengingatkan, bahwa perdamaian Aceh tak diraih dengan modal kosong, melainkan melibatkan nyawa dan darah, ditambah dengan penderitaan akibat gempa dan tsunami. Kejadian-kejadian memilukan hati tersebut harus menjadi ‘cambuk’ memajukan Aceh menjadi lebih baik. Rasa-rasanya penderitaan masyarakat Aceh di masa lalu tak perlu ditambah lagi dengan kesalahan mengurus Aceh, dalam arti Pemerintah Aceh tak memiliki visi mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh untuk aneuk nanggroe Aceh ini. Jika itu terjadi, kita semua memiliki ‘saham’ yang tak kecil menghancurkan kembali Aceh kesekian kalinya.
Jadi, setelah 10 tahun tsunami berlalu, masih cukup banyak pekerjaan rumah yang mesti dibenahi, dan pemerintah tidak boleh berpangku tangan! Wassalam
Apa pentingnya angka-angka di atas ketika dihadapkan pada kondisi terkini, terutama perkembangan ‘sosial’ yang terjadi di kantor Gubernur Aceh tiap musim meugang tiba atau saat menagih bantuan proposal seperti terjadi 2013 lalu? Bayangkan ratusan orang rela berdesak-desakan, ‘mengemis’ serta menunggu berjam-jam untuk mendapatkan ‘bantuan proposal’ dari Pemerintah Aceh. Entah siapa yang ‘memprovokasi’ masyarakat untuk menagih ‘dana’ dari Pemerintah Aceh, kita tidak tahu pasti. Tapi fenomena tersebut menunjukkan ada yang salah dari visi pembangunan Aceh selama ini. Jelas bukan, bahwa angka-angka di atas menjadi tak bermakna!
Aceh boleh saja kaya dengan mengelola dana yang cukup besar, terutama setelah tsunami dan damai tercipta. Namun, di balik dana yang besar itu justru melahirkan masyarakat yang ‘sakit’ (secara sosial). Kejadian di kantor Gubernur, misalnya (termasuk juga fenomena tiap menjelang Meugang, Idul Fitri, dan Idul Adha), menunjukkan gejala ‘sakit’ kini mengidap di sebagian besar masyarakat Aceh. Budaya royal dengan membagi-bagi uang, yang sebelumnya dilakukan politisi menjelang Pemilu, kini dilakoni oleh Pemerintah, sekalipun itu tak dapat disebut kebijakan. Budaya ini jelas membuat masyarakat jadi ‘manja’ serta membuat mereka lupa bekerja, karena uang begitu mudahnya didapat: cukup bawa KTP atau proposal, mereka sudah bisa membawa pulang uang jutaan rupiah.
Lalu, bagaimana kita harus menjawab andai ada orang iseng-iseng bertanya: apa yang sudah berubah setelah 9 tahun usia perdamaian Aceh dan 10 tahun tsunami berlalu? Saya sendiri, terus-terang, akan menggelengkan kepala. Padahal, sekilas, ini hanya pertanyaan sederhana yang tak membutuhkan waktu berjam-jam memikirkan jawabannya. Tapi, saya yakin tak mudah menjawab pertanyaan ini, terutama setelah dihadapkan pada sejumlah fenomena seperti di atas. Soalnya, ada beragam soal yang harus kita bedah, mulai dari aspek politik, ekonomi, hukum, sosial, kesehatan, pendidikan, sumber daya alam, infrastruktur dan sebagainya. Masing-masing aspek itu tak dapat diurai secara terpisah, melainkan saling terkait satu-sama lain.
Kita boleh saja mengatakan bahwa kebebasan dalam bidang politik sudah jauh lebih baik di banding sebelumnya, tetapi tetap saja meninggalkan banyak pertanyaan susulan. Kita juga boleh menyebutkan bahwa akses ekonomi sekarang ini lebih mudah, tapi kembali dihadapkan pada pertanyaan lain: akses oleh dan untuk siapa? Begitu juga soal hukum, sosial, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Tak ada jawaban paripurna untuk pertanyaan di atas. Artinya, memang tak mudah menjawab apalagi sekadar mengatakan sudah banyak hal yang sudah berubah setelah usia perdamaian menginjak 9 tahun atau setelah 10 tahun tsunami berlalu. Sebab, fakta sering menunjukkan keadaan sebaliknya, bukan?
Tak percaya? Silakan simak analisis Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) tentang hasil analisis belanja hibah/bansos Aceh tahun 2013, di mana ternyata belanja hibah/bansos yang bertujuan untuk pemerataan dan azas persamaan ekonomi termasuk untuk meredam potensi konflik, belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Aceh secara riil. Padahal, kata peneliti PECAPP Renaldi Safriansyah, belanja tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, misalnya, dana hibah/bansos Aceh hanya Rp159 miliar dan menjadi Rp1,3 triliun pada tahun 2011. Sementara Tahun 2013, kata dia, menjadi Rp1,8 triliun, tujuh kali lipat dibanding 2007.
Kita boleh saja mendebat hasil analisis tersebut, terutama membandingkan kondisi ekonomi masyarakat (khususnya di perkotaan) yang lebih menggeliat di banding sebelumnya. Belum lagi jika kita menggunakan tolak ukur daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi, jumlah kendaraan bermotor maupun kondisi warung kopi yang selalu penuh. Tapi, apakah benar demikian? Bukankah itu hanya ‘kemewahan’ yang cuma dinikmati segelintir orang saja.
Namun, tunggu dulu. Kita tak boleh mendasarkan penilaian hanya berdasarkan fenomena semata, yang kerap sering menyembunyikan keadaan sebenarnya. Sebab, dari data terbaru Badan Pusat Statistik Aceh per 2 Juli 2012, misalnya, tentu membuat kita terkejut. Bayangkan, penduduk miskin di Aceh mencapai 909.040 jiwa pada Maret 2012 (19,5 persen), meningkat dibandingkan data per Maret 2011 sejumlah 894 ribu jiwa (acehkita, 2/7). Artinya, pemerintahan Aceh yang lahir pasca-perdamaian (juga tsunami) ternyata belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.
Tak berlebihan, kalau peneliti PECAPP mengatakan, bahwa belanja hibah dan bantuan sosial yang terus meningkat sama sekali tak berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan (belanjapublikaceh.org). Angka kemiskinan di Aceh yang sebesar 19,5 persen (2012) itu ternyata menempatkan Aceh di peringkat kelima secara nasional, yang memiliki rata-rata sebesar 11,9 persen. Sementara di tahun sebelumnya (2011), peringkat kemiskinan Aceh berada di posisi keenam secara nasional. Mencengangkan, bukan?
Lebih memiriskan lagi, ternyata, selain upaya percepatan kesejahteraan yang masih jalan di tempat, kita juga dihadapkan pada masalah sosial yang tak kalah penting: jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa di Aceh juga tinggi. Data dari Dinas Kesehatan Aceh tahun 2012, misalnya, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 14,1 persen (dihitung dari total jumlah golongan usia 15 tahun ke atas). Bahkan, angka gangguan jiwa di Aceh ini berada di atas rata-rata nasional, yang hanya 11,6 persen. Kita tidak tahu apakah ada hubungannya antara tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, dengan peningkatan jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa. Untuk yang satu ini perlu penelitian yang lebih mendalam lagi.
Apa yang harus dilakukan Aceh?
Kondisi seperti disinggung di atas jelas menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera mendapat perhatian dari Pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Sisa dua tahun lebih masa pemerintahan perlu ‘dihibahkan’ untuk menuntaskan masalah tersebut, terutama pengentasan kemiskinan, pelayanan kesehatan yang lebih baik serta menjamin terpenuhinya hak anak atas pendidikan. Ini sejalan dengan target Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs) yang musti dicapai pada tahun 2015, di mana pemerintah Indonesia ikut menandangani Deklarasi Milenium tersebut pada Pertemuan Puncak di New York tahun 2000 silam.
Dari delapan target MDGs: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar untuk semua; kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan; penurunan angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan, saya kira Aceh cukup menuntaskan empat tujuan saja (target minimal), yaitu penurunan angka kemiskinan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu serta pendidikan.
Dengan dana Aceh yang cukup besar, saya kira target tersebut tak sulit digapai, asal saja pemerintah melakukan semua upaya-upaya tersebut secara terukur serta terkonsep jelas. Budaya bagi-bagi uang seperti tiap musim meugang dan Idul Fitri tiba sudah selayaknya dihindari. Pemerintah perlu menghidupkan sektor produktif masyarakat dengan mengembangkan konsep ekonomi kerakyatan, termasuk membenahi infrastruktur yang masih buruk.
Sementara penurunan angka kematian bayi menjadi mendesak, setelah kita disodorkan fakta yang menohok kita semua bahwa angka kematian bayi di Aceh selama 2013 lalu mencapai 1.034 bayi, lebih tinggi di banding tahun 2012 yang hanya 985 bayi. Anehnya, kematian tersebut rata-rata disebabkan oleh kekurangan gizi, baik saat janin masih di dalam kandungan maupun ketika bayi masih di bawah satu tahun. Angka ini sebenarnya tak mengherankan, karena ternyata berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2010, sebanyak 23,7 persen anak Aceh mengalami gizi buruk dan kurang gizi.
Di atas segalanya, kita harus selalu saling mengingatkan, bahwa perdamaian Aceh tak diraih dengan modal kosong, melainkan melibatkan nyawa dan darah, ditambah dengan penderitaan akibat gempa dan tsunami. Kejadian-kejadian memilukan hati tersebut harus menjadi ‘cambuk’ memajukan Aceh menjadi lebih baik. Rasa-rasanya penderitaan masyarakat Aceh di masa lalu tak perlu ditambah lagi dengan kesalahan mengurus Aceh, dalam arti Pemerintah Aceh tak memiliki visi mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh untuk aneuk nanggroe Aceh ini. Jika itu terjadi, kita semua memiliki ‘saham’ yang tak kecil menghancurkan kembali Aceh kesekian kalinya.
Jadi, setelah 10 tahun tsunami berlalu, masih cukup banyak pekerjaan rumah yang mesti dibenahi, dan pemerintah tidak boleh berpangku tangan! Wassalam
Note: tulisan ini pernah memenangkan juara III lomba penulisan PECAPP
Tags:
Artikel