Nelayan Kampung Jawa dan Doa Kematian

Belakangan, saya rutin menghabiskan waktu berjam-jam melihat orang tarik pukat dan para pemancing di pantai Kampung Jawa, Kutaraja, Banda Aceh. Ada kesenangan melihat tingkah polah mereka. Sesekali saya mengabadikan momen tarik pukat dan para pemancing itu dengan kamera handphone (maklum bukan photographer). Pikiran saya seperti terbuka, layaknya hamparan lautan luas yang terhidang di hadapan saya.

Seringnya saya menyambangi pantai Kampung Jawa itu, saya pun jadi hafal seperti apa tingkah polah para nelayan maupun pemancing yang sering mencari ikan di sana. Para nelayan, misalnya, di sela mengisi kekosongan waktu, mereka kerap bermain batu domino di rangkang yang mereka buat untuk berteduh. Saya yakin, mereka secara sengaja menyiapkan batu domino untuk mereka bermain demi mengusir suntuk. Sebab, tak selalu ada kawanan ikan terkurung dalam pukat mereka, sekali pun mereka sudah menunggu kawanan ikan itu di tengah terik matahari yang membakar kulit. Dapat dibayangkan betapa lelahnya mereka.

Ketika menyambangi rangkang tempat mereka biasanya berteduh, saya dapati sosok yang rata-rata memang dapat dibilang berumur (untuk tidak menyebut sudah tua). Tapi, jangan ragukan kekuatan fisik mereka. Tubuh mereka berotot dengan warna kulit hitam legam terbakar terik matahari. Dari tampilan fisik saja, kita langsung sepakat kalau mereka adalah pribadi-pribadi kuat. Hanya dua-tiga orang saja yang masih tergolong muda. Tapi, umur tak menghalangi mereka saling bercanda, dan kadang-kadang di luar batas kewajaran. Mereka memang tak begitu peduli wibawa atau tata krama, karena hubungan mereka sudah selayaknya sebuah keluarga. Mereka pun sering berbicara satu sama lain dengan volume suara besar dan cenderung kasar, khas masyarakat pesisir.

Di atas rangkang, empat lelaki berumur, duduk melingkar, mengelilingi papan tebal seluas meja di cafe. Di atas papan itu, batu domino tersusun rapi, mengikuti angka serupa yang tercetak di atasnya. Saya lihat, ada dua nelayan memasang tali besar (tali kapal) di leher mereka yang diikat beberapa barang bekas, seperti pelampung, botol aqua dan jaring bekas seukuran jambul pengantin wanita. Mereka tidak sedang bermain sandiwara, melainkan begitulah hukuman karena kalah bermain. Semakin sering mereka kalah, jumlah tali yang melingkari leher mereka makin banyak plus barang bekas yang diikat di tali itu. Mereka pun sering mengejek satu sama lain. Para pengunjung yang menyambangi rangkang itu sering tak dapat menahan senyum mereka. Benar-benar hiburan gratis di tengah terik matahari.

Hari itu, saya lupa persisnya hari apa, saya memilih duduk di rangkang itu, bukan di warkop di ujung persimpangan jalan. Saya ingin menikmati canda-canda mereka, sekaligus melihat bagaimana mereka memastikan keberadaan kawanan ikan di lautan.

“Itu, burung camar mendekat. Mereka menukik ke air menangkap ikan,” teriak lelaki hitam legam berusia 55 tahun. Di kalangan mereka, lelaki yang dipanggil ayah itu berposisi pawang.

Para nelayan pun memandang ke tengah lautan, mengikuti arah telunjuk sang pawang.

“Ya, ada beberapa kawanan ikan. Mungkin ada ikan besar,” sahut salah satu di antara mereka yang berpakaian tentara.

Sekali pun bukan kali itu saja saya melihat orang tarik pukat, tapi saya sendiri masih bingung bagaimana mereka memastikan ada kawanan ikan di dalam air bergelombang. Memang, keberadaan camar menjadi salah satu petunjuk bahwa di lokasi itu ada ikannya. Kalau burung camar silih berganti menukik ke air menangkap ikan, itu sudah cukup menjelaskan bahwa ikan-ikan sedang berkumpul dalam jumlah banyak (kawanan).

Namun, tingkah polah camar bukan satu-satunya petunjuk keberadaan ikan. Para nelayan itu juga menggunakan perubahan air laut di lokasi yang ada ikannya. Warnanya berubah menghitam dan berbeda dengan warna air di sekitarnya. Pasalnya, kata mereka, jika ada kawanan ikan warna air berubah mengikuti warna sisik ikan. Kalau warna kulit ikan kuning, airnya berubah menguning, begitu kalau sisik ikan berwarna putih perak maka ada kilauan di dalam air yang berbeda dengan kilauan karena pantulan cahaya matahari atau gelombang laut.

Jika petunjuk-petunjuk itu terlihat, mereka pun mulai bersiap-siap dekat perahu. Kita pun akan mendengar teriakan kelompok nelayan saling memanggil temannya agar merapat. Para nelayan yang asik bermain domino atau minum kopi di warkop, akan berlarian ke arah boat dan siap-siap mendorongnya ke dalam air. Dua atau tiga orang kemudian loncat ke dalam perahu dan mengayuhnya mengurung kawanan ikan yang terlihat tadi. Kalau tiba-tiba kawanan ikan itu menghilang, mereka memilih berhenti sejenak dan menunggu informasi dari nelayan yang ada di darat. Begitulah mereka bermain ‘petak-umpet’ dengan ikan. Banyak yang sukses dengan hasil tangkapan melimpah-ruah, tapi tak jarang pula mereka mendapati pukat kosong karena tak ada ikan yang ‘nyangkut’.

Hari itu, kebetulan saya mengajak Fauzan Matang, seorang developer website cum blogger melihat aktivitas para nelayan di Kampung Jawa. Fauzan senang bukan kepalang. Dia seperti baru melihat pemandangan aneh dan lucu dalam hidupnya. Maklum, kepada pawang yang berada di rangkang itu, Fauzan mengaku sudah setahun tak pergi ke laut. Saya sendiri meragukan keterangan Fauzan. Ketika pawang dan beberapa nelayan sibuk menunjuk-nunjuk ke tengah laut, mengabarkan bahwa ada kawanan ikan, Fauzan tercengang tak percaya.

“Bagaimana mereka tahu ada ikan di dalam air? Saya kok tak bisa melihatnya?” Fauzan penasaran. Saya yang berada di samping Fauzan memberi tahu, bahwa jika ada kawanan camar yang mendekat dan menukik ke dalam air, itu tandanya sedang ada kawanan ikan.

Sang pawang yang duduk di pojok rangkang juga mencoba memberi tahu Fauzan, bahwa kalau ada kawanan ikan, warna air menjadi hitam atau mengikuti warna sisik ikan. Dia pun menunjuk ke tengah laut. Tapi, lelaki Matang berkaca-mata itu mengaku tak bisa melihatnya. “Kok tidak kelihatan ada ikannya?” Fauzan bersikap lugu.

“Kalau tidak bisa melihat, coba ambil ikan dan letakkan persis di depan mata, pasti kelihatan,” kata pawang sambil berlalu. Ada senyum mengembang dari wajahnya. Kami pun tertawa. Sebuah tawa yang tak dipaksa. Hehehe.

Saking asiknya melihat para nelayan bercengkrama sesama dan ikan hasil tangkapan, hari itu, saya jadi telat menyambangi warung kopi langganan. Online di warkop dan melihat orang tarik pukat memang hobi sampingan saya belakangan ini. Hari-hari saya terasa kosong kalau tidak sempat mengakses internet untuk satu jam saja.

Setelah memarkir sepmor, seperti biasa, saya mencari posisi duduk yang membelakangi dinding. Dalam hal online saya harus sedikit menjaga privacy. Selama online, saya tak selamanya cuma membalas tweet yang masuk, karena sesekali kalau suntuk saya membuka youtube dan nonton lagu. Tidak semua lagu dengan video klip sopan yang saya buka. Sering pula saya menonton lagu barat, kadang-kadang ada klip erotisnya. Pun begitu, saya juga senang menonton video klip lagu jadul. Dengan membelakangi dinding, saya berharap dapat menghindari tuduhan orang kalau saya 'gagal move on' karena masih saja menyukai lagu jadul semisal Asmara Novia Kolopaking atau Gambaran Cinta Inka Christie.

Saya yakin, kalian pasti menduga alasan itu cuma karangan saya belaka. Hati kecil kalian pasti mengatakan kalau saya sengaja memilih meja di sudut yang membelakangi dinding karena ingin menonton film esek-esek. Iya, kan? Hehehe, dasar piktor memang kalian. Tapi, jujur saya akui, saya duduk sengaja membelakangi dinding agar orang-orang tidak tahu apa yang sedang saya tulis. Kalau ada yang coba mengintip takutnya saya tak lagi fokus menulis. Selain itu, saya tak nyaman kalau misal ada intel melayu lewat saat saya menulis sesuatu yang kritis, atau orang-orang yang berseberangan pandangan dengan saya. Biarlah di dunia nyata saya jadi orang misterius, meski di dunia maya saya termasuk paling terbuka.

Jadi, setiba di warung kawasan Peunayong itu, saya langsung menuju kursi tempat biasa saya duduk yang kebetulan sedang kosong. Lega rasanya mendapati meja yang boleh dibilang sudah hak pakai saya. Tak jauh dari situ, di dekat meja sudut itu, saya lihat ada beberapa anak muda, seperti biasanya. Mereka asik menonton Youtube dan sebagian lagi ada yang bermain game. Mereka sudah terlalu sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan bermain game sepakbola.
Tapi, beberapa menit setelah saya membuka macbook, sayup-sayup saya mendengar obrolan mereka yang layak dibilang cang-panah itu, menyinggung soal Megawati, Surya Paloh dan Jokowi. Apa gerangan? Oh, rupanya sambil melihat rekan-rekannya bermain game, sebagian dari mereka lagi diskusi politik. Saya tangkap, mereka lagi kesal sama Megawati, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pasalnya, menurut mereka, Mega terlalu mencampuri pemerintahan Jokowi, termasuk soal penetapan Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri.

“Jokowi akan lebih aman dan bebas mewujudkan program-program pro rakyat kalau tidak ada Mega atau Paloh. Entah kapan dua orang ini mendapat surat dari Malaikat Izrail,” ucap lelaki kurus berambut gondrong, sambil tak lepas jari-jarinya dari layar smartphone besutan pabrik asal Korea.

“Chop, mana boleh berdoa tidak baik untuk orang. Kalau pun Tuhan mencabut nyawa Mega dan Paloh, kita harus mendoakan agar Tuhan mengampuni dosa-dosa mereka. Selain itu, kita harus bersyukur karena salah satu 'penyakit' di seputar Jokowi menghilang,” timpal lelaki tambun berkaca-mata dengan mimik serius.

Mau tak mau, saya harus menoleh ke arah mereka. Pikiran saya tiba-tiba dipenuhi awan gelap. Au ah!

Post a Comment

Previous Post Next Post