Sebenarnya cukup banyak pengalaman unik dan menarik yang saya alami selama 2,5 tahun menjalani hidup di Jakarta. Kalau diceritakan satu per satu melalui tulisan singkat ini tentu tak bakal lengkap. Tapi, di antara cerita unik dan menarik itu, ada satu kejadian yang sampai sekarang masih membuat saya senyum-senyum sendiri kalau mengingatnya.
Sewaktu di Jakarta, aktivitas yang paling banyak menyita waktu saya adalah membaca dan menulis. Saat itu saya benar-benar ingin melatih diri menjadi penulis produktif serta ingin memiliki wawasan luas. Keinginan ini sangat wajar, karena saya meninggalkan bangku kuliah saat duduk semester enam (sekali pun pada akhirnya saya bisa menyelesaikannya dan jadi sarjana). Jadi, waktu luang itu benar-benar saya manfaatkan dengan membaca buku, minimal saya tak ketinggalan dengan teman-teman saya yang masih kuliah.
Nah, tiap Sabtu-Minggu saya banyak menghabiskan waktu di toko buku, di antaranya di Gramedia Atriun Senen, Gramedia di Pondok Indah Mall, Gramedia di kawasan Blok M, atau di toko buku Pasaraya Manggarai. Hanya sesekali saya pilih Gramedia Matraman. Saya hafal di deretan mana buku politik-sosial, novel-fiksi atau buku-buku umum berada di toko-toko buku ini.
Di toko-toko buku inilah saya membaca novel atau kumpulan cerpen secara gratis. Biasanya, ada beberapa buku yang sampul kertasnya sudah dibuka. Buku itu saya baca sambil berdiri, tak boleh duduk di lantai atau bangku yang ada. Jika kedapatan duduk, petugas toko akan langsung menegur. Terus terang, saya tak sendiri dalam urusan membaca buku secara gratis ini. Karena banyak juga ABG yang berperilaku sama dengan saya.
Untuk buku kumpulan cerpen, biasanya saya tamatkan dengan sekali baca. Sementara untuk novel kategori tebal, saya memilih tak menamatkannya dalam sekali baca. Soalnya, tak kuat untuk berdiri berlama-lama. Biasanya saya balik lagi esok untuk menuntaskannya, dengan cara mencatat di handphone halaman yang sudah saya baca.
Jadwal saya mengunjungi toko buku mulai pukul 11.00 hingga pukul 16.00 sore. Siang hari, jika buku yang saya baca tidak tamat, saya memilih mencari makanan dulu, selesai makan baru saya balik lagi ke toko. Bagi saya, begitulah cara menyiasati kondisi kantong yang tak mendukung untuk membeli buku bagus.
Begitulah, saya pun sering berpindah-pindah toko buku. Tak enak juga tiap keluar tak pernah beli buku, padahal termasuk pengunjung yang sangat rajin. Itulah manfaat toko buku di kota-kota besar, kita bisa membaca tanpa harus membelinya. Itu pengalaman saya 5-6 tahun silam. Sekarang tidak tahu, apakah masih ada buku-buku yang dilepas sampulnya dan bebas dibaca. Karena sudah dua tahun tak ke Jakarta. []
Sewaktu di Jakarta, aktivitas yang paling banyak menyita waktu saya adalah membaca dan menulis. Saat itu saya benar-benar ingin melatih diri menjadi penulis produktif serta ingin memiliki wawasan luas. Keinginan ini sangat wajar, karena saya meninggalkan bangku kuliah saat duduk semester enam (sekali pun pada akhirnya saya bisa menyelesaikannya dan jadi sarjana). Jadi, waktu luang itu benar-benar saya manfaatkan dengan membaca buku, minimal saya tak ketinggalan dengan teman-teman saya yang masih kuliah.
Nah, tiap Sabtu-Minggu saya banyak menghabiskan waktu di toko buku, di antaranya di Gramedia Atriun Senen, Gramedia di Pondok Indah Mall, Gramedia di kawasan Blok M, atau di toko buku Pasaraya Manggarai. Hanya sesekali saya pilih Gramedia Matraman. Saya hafal di deretan mana buku politik-sosial, novel-fiksi atau buku-buku umum berada di toko-toko buku ini.
Di toko-toko buku inilah saya membaca novel atau kumpulan cerpen secara gratis. Biasanya, ada beberapa buku yang sampul kertasnya sudah dibuka. Buku itu saya baca sambil berdiri, tak boleh duduk di lantai atau bangku yang ada. Jika kedapatan duduk, petugas toko akan langsung menegur. Terus terang, saya tak sendiri dalam urusan membaca buku secara gratis ini. Karena banyak juga ABG yang berperilaku sama dengan saya.
Untuk buku kumpulan cerpen, biasanya saya tamatkan dengan sekali baca. Sementara untuk novel kategori tebal, saya memilih tak menamatkannya dalam sekali baca. Soalnya, tak kuat untuk berdiri berlama-lama. Biasanya saya balik lagi esok untuk menuntaskannya, dengan cara mencatat di handphone halaman yang sudah saya baca.
Jadwal saya mengunjungi toko buku mulai pukul 11.00 hingga pukul 16.00 sore. Siang hari, jika buku yang saya baca tidak tamat, saya memilih mencari makanan dulu, selesai makan baru saya balik lagi ke toko. Bagi saya, begitulah cara menyiasati kondisi kantong yang tak mendukung untuk membeli buku bagus.
Begitulah, saya pun sering berpindah-pindah toko buku. Tak enak juga tiap keluar tak pernah beli buku, padahal termasuk pengunjung yang sangat rajin. Itulah manfaat toko buku di kota-kota besar, kita bisa membaca tanpa harus membelinya. Itu pengalaman saya 5-6 tahun silam. Sekarang tidak tahu, apakah masih ada buku-buku yang dilepas sampulnya dan bebas dibaca. Karena sudah dua tahun tak ke Jakarta. []
Note: tulisan ini sudah pernah saya posting di Kompasiana, 17 Juni 2013
Tags:
serba serbi