BBM naik daun. Di mana-mana orang bicara soal kenaikan BBM (bahan bakar minyak). Tak kecuali di warung kopi di seputaran Ulee Kareng, Banda Aceh. Di warung kopi yang terkenal dengan tempat update (memperbaharui) fitnah itu, pembicaraan soal BBM cukup hangat dan fresh. Hal ini wajar, karena pengunjung warung ini rata-rata politisi, aktivis LSM, wartawan, kontraktor, pengacara dan orang-orang HTW lainnya. (HTW=han troh wa/tak sampai dipeluk).
Terjadilah pembicaraan lintas profesi.
Politisi: kenaikan harga BBM memang tak dapat dielak. Selama ini yang menikmati sumsidi BBM kan orang-orang kaya yang punya mobil mewah. Bayangkan biaya produksi BBM Premium itu sekitar Rp10.000, dan dijual Rp4.500 (di tempat eceran Rp5.000). Pemerintah memberikan subsidi Rp5.500 per liter. Nah, siapa yang menikmati subsidi paling banyak?
Tak ada yang menjawab. Masing-masing orang di warung itu asyik sendiri, ada yang pura-pura berhitung. Banyak juga yang lebih senang memelototi layar Blackberry (BB)-nya. Yang pura-pura berhitung, langsung menjawab. Orang ini ternyata aktif di sebuah LSM di Banda Aceh.
Aktivis LSM: Benar, memang subsidi itu lebih banyak dinikmati oleh orang kaya yang punya banyak mobil. Misalkan saja mereka mengisi tangki yang kapasitasnya 35 liter, berarti mereka menikmati subsidi Rp150.000 sekali isi. Bandingkan dengan pemilik sepeda motor, sekali isi 3 liter berarti mereka hanya menikmati subsidi Rp15.000 per sekali isi.
Diskusi sangat menarik sebenarnya. Tapi, fokus teman-teman yang mengerubungi meja itu pada layar BB masing-masing. Mereka kadang-kadang senyum sendiri, kadang tertawa lepas. Tak sedikit pula yang memasang wajah cemberut. Bisa jadi pesan yang dikirimnya tak mendapat balasan.
Lain lagi teman wartawan. Mereka tak terlalu memikirkan soal kenaikan BBM. Mereka lebih peduli pada nasib teman mereka di Jambi dan Pontianak yang terkena tembakan polisi saat membubarkan massa yang berunjuk-rasa menolak kenaikan BBM.
Wartawan: jurnalis yang bekerja di lapangan sangat minim perlindungan. Pihak kantor mereka tak menyediakan fasilitas yang bisa melindungi karyawannya dalam meliput di medan yang terlalu berisiko. Pemilik makin kapitalis, hanya memikirkan keuntungan semata. Mereka bukannya memikirkan kesejahteraan jurnalis, tapi asyik bikin Forum Pemred hanya mengampanyekan merek kondom Meoong! Tahi buah lah semua!
Si wartawan ini kebetulan hanya seorang koresponden yang bekerja untuk sebuah media di Jakarta. Wajar jika dia emosi. Tak hanya gaji yang kecil, tapi kadang-kadang laporan yang dikirim belum tentu mendapat prioritas untuk tayang, karena kantornya memilih big-news dengan dampak besar.
Hari makin sore. Pembicaraan makin tak jelas lagi juntrungannya. Masing-masing sibuk cang-panah sendiri. Tak tahu lagi, siapa mendengarkan siapa. Karena, meski berkelompok, ternyata topik yang dibicarakan di meja itu berbeda-beda. Pembicaraan sangat tergantung micro-phone siapa yang paling besar terdengar, maka omongan dialah yang paling dominan.
Si kontraktor yang dari tadi hanya asik dengan BB sendiri, tiba-tiba berjingkrak. Dia tertawa lebar. Rupanya, sebuah pesan broadcast (Blackberry Messenger/BBM) yang menjadi penyebabnya. Tak ingin tertawa sendiri, dia pun membaca keras-keras isi pesan yang baru diterimanya. Kali ini, yang lain tekun menyimak. Begini isi BBM-nya:
Sari mengadu pada Ibunya tentang hal buruk yang menimpanya.
Sari: (dalam kondisi ketakutan). Ibu, bapak kemana?
Ibu: ke luar kota. Ada apa tanya bapak?
Sari: (dengan nada pelan). Sari minta maaf bu, sepertinya Sari hamil.
Ibu: (setengah kaget). Apa..!!? Apa kamu bilang?
Sari: (gemetaran). Iya, saya hamil bu! Ini…(sambil mengelus-elus perut)
Ibu: Aaah…nggak mungkin. Kamu mungkin sakit. Istirahat saja, nanti sembuh sendiri.
Sari: Tapi akhir-akhir ini, saya sering muntah-muntah, bu!
Ibu: (rada cuek). Aah…mana ada, paling kamu masuk angin. Ke sana, gih beli minyak angin sana, biar cepat sembuh.
Sari: (tersedu)…hiks…hiks. Kenapa ibu tak percaya, saya sekarang tuh doyan makanan yang asam-asam, bu!
Ibu: (dengan kesal sambil teriak). Berhentilah kamu berkhayal SARIFUDDIN! Ibu tempeleng kamu nanti, baru tahu rasa. Bencong mana pula ada rahim. (Rupanya, Sarifuddin ini seorang waria. Dia lebih senang dipanggil Sari)
Semua yang duduk di meja itu tertawa lepas. Mereka pun sepakat untuk bubar. “Mudah-mudahan dana kompensasi Rp155 miliar untuk korban lumpur Lapindo biar nyasar ke Sarifuddin yang jauh di Aceh,” celetuk pengacara seperti menyindir Golkar yang setuju BBM naik. Suaranya cuku jelas. Sekali lagi mereka tertawa. Benar-benar BBM Pungo. []
Note: tulisan lama, awalnya diposting di acehpungo.com
Tags:
pojok