Dua hari sebelum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggelar Sidang Paripurna tentang kenaikan BBM (Bukan Blackberry Messenger, red), beberapa anggota dewan terhormat yang pulang ke dapil buru-buru balik ke Jakarta. Mereka yang sedang membangun citra tak mau rusak gara-gara tak ikut sidang. Mereka pun cepat-cepat memesan tiket agar segera tiba di Jakarta.
Nah, ketika tiba di ruang tunggu pesawat. Si anggota dewan ini, sebutlah namanya Si Pulan (SP), bertemu dengan Apa Pungo (AP). Terjadilah percapakan seperti ini:
SP: Waduh, kenapa pesawatnya telat datang, ya?
AP: Bapak bicara dengan saya? (saking lugunya)
SP: Yah, dengan siapa lagi, kan cuma kamu yang duduk di samping saya.
AP: Hehe, bapak pintar dan kritis. Wah, pasti wakil rakyat, ya?
SP: Hehe juga. Kok tahu?
AP: Tahu donk, kan saya rakyat! Lagi pula, ada gambar pin kebanggaan DPR di kantong bapak.
Obrolan berhenti ketika terdengar pengumuman bahwa pesawat jurusan Jakarta sudah tiba dan kepada penumpang segera naik ke pesawat. Satu-per-satu calon penumpang itu bangkit dari tempat duduk. Ramai bukan main. Mungkin di antara mereka ada juga wakil rakyat, seperti Si Pulan itu. Mereka pun antri di pintu keluar ruang tunggu. Masing-masing pegang tikat di tangan. Tak ada yang diperlakukan istimewa. Semua harus antri, termasuk Si Pulan yang kebagian antrian agak ke belakang.
Tak lama, semua calon penumpang itu sudah keluar dari ruang tunggu dan menuju ke pesawat. Masing-masing menuju ke tempat duduk seperti tertera pada tiket. Si Pulan dengan tergopoh-gopoh menaiki tangga pesawat dari pintu belakang. Sampai di pesawat, di lorong itu sudah cukup banyak orang yang mencari tempat duduk. Si Pulan pun memilih duduk di kursi belakang.
“Duh, senang rasanya bisa beristirahat,” gumam dia dalam hati.
Saat berniat memejamkan mata, si Pramugari datang menghampiri. Pasalnya, kursi yang diduduki Si Pulan itu jatah orang lain. Dengan sopan, si Pramugari meminta lihat tiket Si Pulan.
“Bapak, tempat duduk anda bukan di sini. Ini tempat duduk orang lain,” kata si Pramugari sembari menunjuk ke penumpang yang sedang kebingungan.
“Kenapa saya tak boleh duduk di sini? Saya kan memiliki tiket,” jawab Si Pulan seperti tak merasa bersalah.
“Tempat duduk Bapak ada di depan, di kelas Eksekutif,” si Pramugari memberi alasan sembari menunjukkan nomor kursi yang tertera di tiket.
Bapak itu marah-marah, tapi tak sampai memukuli si Pramugari dengan Koran yang dipegangnya. Sambil berdiri, dia mengomel bahwa si Pramugari tidak tahu siapa dirinya.
“Saya ini bukan Eksekutif. Saya Legislatif!” katanya sembari memperlihatkan lencana ke muka Pramugari yang tak habis pikir.
Dari jauh, Si Pungo, tersenyum sendiri melihat adegan itu. Dalam hatinya bergumam, “Dasar Dewan Pungo.” []
Nah, ketika tiba di ruang tunggu pesawat. Si anggota dewan ini, sebutlah namanya Si Pulan (SP), bertemu dengan Apa Pungo (AP). Terjadilah percapakan seperti ini:
SP: Waduh, kenapa pesawatnya telat datang, ya?
AP: Bapak bicara dengan saya? (saking lugunya)
SP: Yah, dengan siapa lagi, kan cuma kamu yang duduk di samping saya.
AP: Hehe, bapak pintar dan kritis. Wah, pasti wakil rakyat, ya?
SP: Hehe juga. Kok tahu?
AP: Tahu donk, kan saya rakyat! Lagi pula, ada gambar pin kebanggaan DPR di kantong bapak.
Obrolan berhenti ketika terdengar pengumuman bahwa pesawat jurusan Jakarta sudah tiba dan kepada penumpang segera naik ke pesawat. Satu-per-satu calon penumpang itu bangkit dari tempat duduk. Ramai bukan main. Mungkin di antara mereka ada juga wakil rakyat, seperti Si Pulan itu. Mereka pun antri di pintu keluar ruang tunggu. Masing-masing pegang tikat di tangan. Tak ada yang diperlakukan istimewa. Semua harus antri, termasuk Si Pulan yang kebagian antrian agak ke belakang.
Tak lama, semua calon penumpang itu sudah keluar dari ruang tunggu dan menuju ke pesawat. Masing-masing menuju ke tempat duduk seperti tertera pada tiket. Si Pulan dengan tergopoh-gopoh menaiki tangga pesawat dari pintu belakang. Sampai di pesawat, di lorong itu sudah cukup banyak orang yang mencari tempat duduk. Si Pulan pun memilih duduk di kursi belakang.
“Duh, senang rasanya bisa beristirahat,” gumam dia dalam hati.
Saat berniat memejamkan mata, si Pramugari datang menghampiri. Pasalnya, kursi yang diduduki Si Pulan itu jatah orang lain. Dengan sopan, si Pramugari meminta lihat tiket Si Pulan.
“Bapak, tempat duduk anda bukan di sini. Ini tempat duduk orang lain,” kata si Pramugari sembari menunjuk ke penumpang yang sedang kebingungan.
“Kenapa saya tak boleh duduk di sini? Saya kan memiliki tiket,” jawab Si Pulan seperti tak merasa bersalah.
“Tempat duduk Bapak ada di depan, di kelas Eksekutif,” si Pramugari memberi alasan sembari menunjukkan nomor kursi yang tertera di tiket.
Bapak itu marah-marah, tapi tak sampai memukuli si Pramugari dengan Koran yang dipegangnya. Sambil berdiri, dia mengomel bahwa si Pramugari tidak tahu siapa dirinya.
“Saya ini bukan Eksekutif. Saya Legislatif!” katanya sembari memperlihatkan lencana ke muka Pramugari yang tak habis pikir.
Dari jauh, Si Pungo, tersenyum sendiri melihat adegan itu. Dalam hatinya bergumam, “Dasar Dewan Pungo.” []
Note: tulisan ini awalnya diposting di blog acehpungo.com
Tags:
pojok