Dalam sejumlah kesempatan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok sering mengingatkan kita tentang bonus demografi. Awalnya, saya tak begitu memandang penting masalah ini, dan menganggap apa yang disampaikan Ahok itu klise. Tapi, karena terlalu sering disampaikan, saya pun mencoba cari tahu tentang bonus demografi, termasuk membuka buku lawas. Saya pun sadar, bahwa yang disampaikan itu bukan klise.
Saya pun setuju dengan pandangan Ahok yang menganggap penting masalah bonus demografi dan dampaknya bagi Indonesia. Sebab, jika tak pandai-pandai mempersiapkan diri, Indonesia akan mengalami masalah besar di masa-masa mendatang. Bonus demografi merupakan masalah serius yang perlu segera dipecahkan dan dicari solusi oleh Pemerintah sebelum semuanya terlambat.
Tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas apa yang terjadi dengan Bonus Demografi? Apa dampaknya bagi Indonesia serta langkah apa yang harus dilakukan menghadapi bonus demografi?
Bonus Demografi dan Dampaknya
Saat ini, Indonesia memiliki jumlah penduduk 253,60 juta jiwa. Jumlah ini menempatkan Indonesia berada di posisi empat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, setelah Cina (1,3 miliar), India (1,2 miliar) dan Amerika (318 juta). Indonesia hanya berselisih sekitar 51 juta jiwa dengan jumlah penduduk Brazil yang berada di peringkat kelima (202 juta).
Dari 253 juta jumlah tersebut, Indonesia memiliki penduduk dengan usia produktif (penduduk berusia 15-64 tahun) sekitar 44,98 persen. Diperkirakan, jumlah penduduk usia produktif ini akan terus meningkat, hingga tahun 2025-2035, di mana Indonesia akan menikmati bonus demografi, yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari jumlah penduduk nonproduktif.
Di satu sisi, besarnya jumlah penduduk usia produktif ini sebagai berkah dan potensi bagi pembangunan bangsa. Tapi, di sisi lain, jika tak pandai dikelola dan diantisipasi, kondisi ini justru menjadi musibah dan membawa dampak sosial yang lebih hebat. Karena, tingkat penduduk usia produktif yang menanggung penduduk nonproduktif (usia tua dan anak-anak) akan sangat rendah, 44 per 100 penduduk produktif. Sementara kemampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan juga masih rendah, belum lagi dari sisi kualitas penduduk usia produktif yang sangat buruk.
Dari data UNDP (2011) seperti dikutip situs BKKBN, rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya 5,8 tahun, yang berarti rata-rata penduduk Indonesia tidak sampai menyelesaikan jenjang pendidikan SD. Kondisi ini cukup memiriskan hati, karena angkatan kerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD. Padahal pada 2015 nanti, kita akan menghadapi zona perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Fre Trade Area- AFTA). Kondisi Indonesia tidak akan sama lagi seperti sekarang. Indonesia akan kebanjiran para pekerja dari luar negeri, yang tentu saja memiliki talenta dan ketrampilan yang jauh di atas rata-rata penduduk kita, yang kebanyakan didominasi lulusan SD itu. Tenaga kerja kita jelas tak akan siap bersaing dengan mereka yang memiliki skil di atas rata-rata.
Apalagi, seperti selama ini, tenaga kerja kita di luar negeri paling banter hanya jadi pembantu. Kita belum mampu menyediakan tenaga kerja yang profesional dan memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan negara setempat. Jadinya, kita hanya mampu ‘mengekspor’ pembantu. Hal ini pun masih menjadi masalah besar, karena sebagian mereka tak mendapatkan upah yang layak, serta banyak dari mereka diperlakukan secara tidak senonoh.
Sudah sepatutnya kita belajar pada nasib dinosaurus, yang sering kita tonton di film Jurasic Park. Dalam banyak literatur yang kita baca, dinosaurus pernah menguasai bumi ini. Lalu, kenapa bisa punah? Karena mereka lambat melakukan evolusi dan tak mampu beradaptasi ketika terjadi perubahan yang begitu cepat bahkan radikal. Akibatnya, mereka digantikan oleh makhluk yang lebih besar atau kecil, yang lebih gesit, lebih bisa beradaptasi, lebih mampu bertahan dan lebih inovatif.
Dalam waktu dekat, saat memasuki AFTA, kita tak menyiapkan diri dengan lebih baik, nasib kita juga akan sama seperti dinosaurus. Pasalnya, begitu masuk era perdagangan bebas itu, tak ada yang dapat kita lakukan kecuali harus bertahan, gesit, dan adaptif. Jika kita tak siap, maka bersiap-siaplah digilas oleh zaman yang kian berubah ini.
James Canton dalam bukunya The Extreme Future (2010) mengingatkan skenario runtuhnya sebuah bangsa. Katanya, sebuah bangsa akan runtuh dan hancur jika angka pengangguran melonjak secara tajam, terjadi chaos di beberapa sektor, banyak talenta berbakat hengkang ke luar negeri (brain-drain), rendahnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kerjasama yang buruk antara dunia bisnis dan pemerintah, tidak adanya katalisator bagi penegakan demokrasi, pelarian modal ke luar negeri, rendahnya dukungan pendidikan, dan pertahanan yang lemah sehingga amat tergantung kekuatan asing (sekutu).
Apa yang harus dilakukan?
Menghadapi kondisi dan dampak dari bonus demografi di atas, muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?
1. Perbaiki sektor pendidikan
Pendidikan selalu menjadi sektor penting menghadapi perubahan zaman. Pemerintah perlu terus-menerus memperbaiki kurikulum pendidikan yang up to date terutama dengan memasukkan mata pelajaran sains terbaru di sekolah menengah dan kejuruan. Sehingga lulusan kita mampu bersaing dengan lulusan dari negara lain.
2. Perbanyak program insentif.
Pemerintah perlu memperbanyak program insentif baru untuk mendorong generasi muda menjadi ilmuwan, insinyur, wirausahawan yang melek teknologi. Dunia nantinya akan semakin canggih, jika kita tidak terus-menerus memperbaharui diri dengan pengetahuan terbaru, kita akan ketinggalan zaman. Pemerintah perlu memperhatikan kelompok muda seperti ini dengan memberikan penghargaan dan imbalan yang setimpal. Hal ini juga untuk menghindari larinya talenta-talenta muda kita ke negara lain yang lebih menghargai karya mereka.
3. Generasi inovatif dan bermental enterpreneur
Karena kita akan menghadapi perdagangan bebas, di mana dunia menjadi begitu sempit, maka yang perlu dilakukan adalah memperbanyak pengajaran di bidang inovasi dan menggalakkan mental enterpreneurship bagi setiap orang. Hal ini sangat mudah dilakukan karena generasi muda kita sangat menyukai inovasi. Mereka sudah mulai akrab dengan dunia enterpreneurship. Hal ini sangat gampang diketahui dengan menjamurnya situs e-comerse dan blog-blog yang menjajakan berbagai produk anak negeri. Yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan memperluas jangkauan internet hingga ke pelosok desa, yang hingga kini belum merata seluruhnya.
4. Perlunya perlindungan hak kekayaan intelektual
Kita akui cukup banyak produk dan hasil penelitian anak negeri yang bernilai pengetahuan tinggi. Pemerintah perlu melindunginya dengan mempermudah akses bagi pengurusan hak atas kekayaan intelektual, serta penegakan hukum secara tegas terhadap pencurian atas hak kekayaan intelektual ini.
5. Perkecil angka pemuda putus asa
Salah satu dampak dari bonus demografi adalah besarnya beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif terhadap kelompok usia tidak produktif. Jika pemerintah tak mensiasatinya dengan memperbanyak lapangan kerja, mereka-mereka ini akan berubah menjadi penduduk yang berputus asa: tidak punya kerja tetap, tidak kreatif serta bermasalah dengan keuangan. Pemerintah perlu membuka peluang dan kesempatan bagi mereka mengembangkan diri agar memiliki kebebasan finansial. Jika tidak, maka ini juga akan mendatangkan dampak sosial yang lebih serius: generasi yang berputus asa. Kalau kondisi ini yang terjadi, jelas mereka bukanlah generasi yang siap menghadapi masa depan yang lebih bebas.
Di atas segalanya, dalam menghadapi bonus demografi, pemerintah perlu memperbanyak program pelatihan dan memperluas akses pendidikan (termasuk untuk masyarakat kurang mampu) untuk menciptakan tenaga kerja bertalenta dan memiliki ketrampilan. Dengan demikian, kita bukan hanya menikmati berkah dari bonus demografi melainkan juga siap menghadapi dunia yang kian berubah!
Saya pun setuju dengan pandangan Ahok yang menganggap penting masalah bonus demografi dan dampaknya bagi Indonesia. Sebab, jika tak pandai-pandai mempersiapkan diri, Indonesia akan mengalami masalah besar di masa-masa mendatang. Bonus demografi merupakan masalah serius yang perlu segera dipecahkan dan dicari solusi oleh Pemerintah sebelum semuanya terlambat.
Tulisan sederhana ini akan mencoba mengulas apa yang terjadi dengan Bonus Demografi? Apa dampaknya bagi Indonesia serta langkah apa yang harus dilakukan menghadapi bonus demografi?
Bonus Demografi dan Dampaknya
Saat ini, Indonesia memiliki jumlah penduduk 253,60 juta jiwa. Jumlah ini menempatkan Indonesia berada di posisi empat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, setelah Cina (1,3 miliar), India (1,2 miliar) dan Amerika (318 juta). Indonesia hanya berselisih sekitar 51 juta jiwa dengan jumlah penduduk Brazil yang berada di peringkat kelima (202 juta).
Dari 253 juta jumlah tersebut, Indonesia memiliki penduduk dengan usia produktif (penduduk berusia 15-64 tahun) sekitar 44,98 persen. Diperkirakan, jumlah penduduk usia produktif ini akan terus meningkat, hingga tahun 2025-2035, di mana Indonesia akan menikmati bonus demografi, yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari jumlah penduduk nonproduktif.
Di satu sisi, besarnya jumlah penduduk usia produktif ini sebagai berkah dan potensi bagi pembangunan bangsa. Tapi, di sisi lain, jika tak pandai dikelola dan diantisipasi, kondisi ini justru menjadi musibah dan membawa dampak sosial yang lebih hebat. Karena, tingkat penduduk usia produktif yang menanggung penduduk nonproduktif (usia tua dan anak-anak) akan sangat rendah, 44 per 100 penduduk produktif. Sementara kemampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan juga masih rendah, belum lagi dari sisi kualitas penduduk usia produktif yang sangat buruk.
Dari data UNDP (2011) seperti dikutip situs BKKBN, rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya 5,8 tahun, yang berarti rata-rata penduduk Indonesia tidak sampai menyelesaikan jenjang pendidikan SD. Kondisi ini cukup memiriskan hati, karena angkatan kerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD. Padahal pada 2015 nanti, kita akan menghadapi zona perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Fre Trade Area- AFTA). Kondisi Indonesia tidak akan sama lagi seperti sekarang. Indonesia akan kebanjiran para pekerja dari luar negeri, yang tentu saja memiliki talenta dan ketrampilan yang jauh di atas rata-rata penduduk kita, yang kebanyakan didominasi lulusan SD itu. Tenaga kerja kita jelas tak akan siap bersaing dengan mereka yang memiliki skil di atas rata-rata.
Apalagi, seperti selama ini, tenaga kerja kita di luar negeri paling banter hanya jadi pembantu. Kita belum mampu menyediakan tenaga kerja yang profesional dan memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan negara setempat. Jadinya, kita hanya mampu ‘mengekspor’ pembantu. Hal ini pun masih menjadi masalah besar, karena sebagian mereka tak mendapatkan upah yang layak, serta banyak dari mereka diperlakukan secara tidak senonoh.
Sudah sepatutnya kita belajar pada nasib dinosaurus, yang sering kita tonton di film Jurasic Park. Dalam banyak literatur yang kita baca, dinosaurus pernah menguasai bumi ini. Lalu, kenapa bisa punah? Karena mereka lambat melakukan evolusi dan tak mampu beradaptasi ketika terjadi perubahan yang begitu cepat bahkan radikal. Akibatnya, mereka digantikan oleh makhluk yang lebih besar atau kecil, yang lebih gesit, lebih bisa beradaptasi, lebih mampu bertahan dan lebih inovatif.
grafik bonus demografi | net |
James Canton dalam bukunya The Extreme Future (2010) mengingatkan skenario runtuhnya sebuah bangsa. Katanya, sebuah bangsa akan runtuh dan hancur jika angka pengangguran melonjak secara tajam, terjadi chaos di beberapa sektor, banyak talenta berbakat hengkang ke luar negeri (brain-drain), rendahnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kerjasama yang buruk antara dunia bisnis dan pemerintah, tidak adanya katalisator bagi penegakan demokrasi, pelarian modal ke luar negeri, rendahnya dukungan pendidikan, dan pertahanan yang lemah sehingga amat tergantung kekuatan asing (sekutu).
Apa yang harus dilakukan?
Menghadapi kondisi dan dampak dari bonus demografi di atas, muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?
1. Perbaiki sektor pendidikan
Pendidikan selalu menjadi sektor penting menghadapi perubahan zaman. Pemerintah perlu terus-menerus memperbaiki kurikulum pendidikan yang up to date terutama dengan memasukkan mata pelajaran sains terbaru di sekolah menengah dan kejuruan. Sehingga lulusan kita mampu bersaing dengan lulusan dari negara lain.
2. Perbanyak program insentif.
Pemerintah perlu memperbanyak program insentif baru untuk mendorong generasi muda menjadi ilmuwan, insinyur, wirausahawan yang melek teknologi. Dunia nantinya akan semakin canggih, jika kita tidak terus-menerus memperbaharui diri dengan pengetahuan terbaru, kita akan ketinggalan zaman. Pemerintah perlu memperhatikan kelompok muda seperti ini dengan memberikan penghargaan dan imbalan yang setimpal. Hal ini juga untuk menghindari larinya talenta-talenta muda kita ke negara lain yang lebih menghargai karya mereka.
3. Generasi inovatif dan bermental enterpreneur
Karena kita akan menghadapi perdagangan bebas, di mana dunia menjadi begitu sempit, maka yang perlu dilakukan adalah memperbanyak pengajaran di bidang inovasi dan menggalakkan mental enterpreneurship bagi setiap orang. Hal ini sangat mudah dilakukan karena generasi muda kita sangat menyukai inovasi. Mereka sudah mulai akrab dengan dunia enterpreneurship. Hal ini sangat gampang diketahui dengan menjamurnya situs e-comerse dan blog-blog yang menjajakan berbagai produk anak negeri. Yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan memperluas jangkauan internet hingga ke pelosok desa, yang hingga kini belum merata seluruhnya.
4. Perlunya perlindungan hak kekayaan intelektual
Kita akui cukup banyak produk dan hasil penelitian anak negeri yang bernilai pengetahuan tinggi. Pemerintah perlu melindunginya dengan mempermudah akses bagi pengurusan hak atas kekayaan intelektual, serta penegakan hukum secara tegas terhadap pencurian atas hak kekayaan intelektual ini.
5. Perkecil angka pemuda putus asa
Salah satu dampak dari bonus demografi adalah besarnya beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif terhadap kelompok usia tidak produktif. Jika pemerintah tak mensiasatinya dengan memperbanyak lapangan kerja, mereka-mereka ini akan berubah menjadi penduduk yang berputus asa: tidak punya kerja tetap, tidak kreatif serta bermasalah dengan keuangan. Pemerintah perlu membuka peluang dan kesempatan bagi mereka mengembangkan diri agar memiliki kebebasan finansial. Jika tidak, maka ini juga akan mendatangkan dampak sosial yang lebih serius: generasi yang berputus asa. Kalau kondisi ini yang terjadi, jelas mereka bukanlah generasi yang siap menghadapi masa depan yang lebih bebas.
Di atas segalanya, dalam menghadapi bonus demografi, pemerintah perlu memperbanyak program pelatihan dan memperluas akses pendidikan (termasuk untuk masyarakat kurang mampu) untuk menciptakan tenaga kerja bertalenta dan memiliki ketrampilan. Dengan demikian, kita bukan hanya menikmati berkah dari bonus demografi melainkan juga siap menghadapi dunia yang kian berubah!
Note: tulisan ini sudah diposting di Kompasiana pada 9 Oktober 2014
Tags:
Artikel