Kalau saya samakan
Atjehpost.co dengan Sokrates, saya akan dicap mengada-ada. Kalau saya ibaratkan
Atjehpost.co dengan penari telanjang, saya akan dicap kurang-ajar. Pilihan
amannya, saya memilih menarik benang merahnya saja.
Sebagai pekerja media (lebih tepatnya blogger), saya
terbilang terlambat tahu cerita ‘pamitnya’ atjehpost.co
dari jagad persilatan media online di Aceh. Ketidaktahuan ini saya anggap
wajar, karena atjehpost.co tak
termasuk dalam situs berita yang wajib saya akses setiap hari. Saya lebih
memilih Detiksport atau KompasTekno dan Twitter sebagai situs yang menggoda
untuk saya buka tiap mengakses internet.
‘Pamitnya atjehpost.co’ saya tahu secara offline, dari cerita kawan-kawan saat
pesta kuah beulangong di kawasan
Angsa23. Awalnya setengah tak
percaya. Bagaimana mungkin media yang sudah pernah mengumumkan tidak lagi
terbit—kemudian kembali terbit—lagi-lagi membuat pengumuman serupa. Ini jelas tak
masuk dalam akal sehat kita. Mengapa harakiri
menjadi solusi terakhir bagi media online yang diklaim terbesar di Aceh ini
terutama karena bermasalah dengan hukum?
Ada yang membuat saya lebih terkejut lagi. Seorang wartawan memberitahu saya, ada aparat Sat Reskrim bertanya
padanya, kenapa para wartawan tidak demo atas masalah yang menimpa atjehpost, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. “Biasanya, kalau terkait
masalah media dan wartawan, kalian pasti akan langsung gelar demo. Tapi ini
kenapa adem-adem saja?” kata si wartawan menirukan pertanyaan Sat Reskrim.
Kawan saya ini memilih tak menjawab.
Di satu sisi kita prihatin dengan kasus yang menimpa atjehpost.co ini. Sebab ini akan jadi preseden buruk untuk media online
lainnya. Para penguasa yang ingin membungkam media, cukup melaporkan media
tersebut ke polisi, lalu media itu tutup dengan sendirinya. Setidaknya, kesan
ini yang saya tangkap dari pesan yang ditulis awak atjehpost, “... kali ini
atjehpost.co pamit untuk selamanya dari news portal online Aceh...”. Namun,
di sisi lain, kita juga dapat belajar banyak hal dari masalah tersebut, terutama
menjadi lebih dewasa, seperti ditulis dalam salam ‘pamit’ atjehpost, bahwa “perpisahan mungkin terdengar menakutkan,
tetapi sebenarnya perpisahan akan mengajarkan banyak hal pada kita yang
mengalaminya, bukan hanya tentang bagaimana menghargai keberadaan sesuatu
sebelum hal tersebut menghilang melainkan juga tentang bagaimana menjadi dewasa.”
Jurnalisme itu tak semata-mata keahlian menulis dan
mengolah berita serta berani menyiarkannya, karena jurnalisme juga menuntut kita berhati-hati
memperlakukan informasi dan menggunakan sumber anonim dalam berita. Deborah
Howell, redaktur Washington untuk jaringan suratkabar Newhouse, mengingatkan
kita, bahwa dua aturan menggunakan sumber anonim. Pertama, jangan pernah menggunakan sumber anonim untuk memberi
opini terhadap orang lain. Kedua,
jangan pernah menggunakan sumber anonim sebagai kutipan pertama dalam tulisan.
Inilah prinsip kehati-hatian yang perlu dipegang para wartawan dan jurnalis.
Kita akui, atjehpost
memang tergolong berani terutama dalam menghajar Gubernur Zaini Abdullah,
terlepas akurat-tidaknya pemberitaan mereka. Kita salut pada keberanian mereka untuk
bersikap berbeda. Tapi, bagi saya ada pertanyaan yang belum terjawab. Apakah
sikap atjehpost menyerang gubernur
benar-benar berangkat dari keyakinan mereka sendiri (pilihan) atau yang mereka
lakukan hanya menyuarakan kepentingan pihak lain? Bukan rahasia lagi, hubungan
yang memburuk antara Gubenur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf akhir-akhir
ini berpengaruh besar pada sisi pemberitaan atjehpost,
bahkan dalam beberapa kasus, pemberitaan atjehpost
justru menambah runcing hubungan itu.
Ini sebenarnya lucu. Pasalnya, atjehpost merupakan media di balik suksesnya Zaini Abdullah-Muzakkir
Manaf menduduki tampuk kekuasaan di Aceh. Dalam kampanye Pilkada 2012 dan
Pemilu 2014, kita hampir sulit mendapati berita yang menyerang Gubernur Zaini
Abdullah secara vulgar. Malah, pemberitaan terkait mantan Menteri Luar Negeri
GAM itu semuanya positif. Orang pun pasti bertanya-tanya, kenapa begitu cepat
opini atjehpost terhadap Zaini
berubah?
Mantan Gubernur Irwandi Yusuf dalam salah satu status facebook-nya sempat menyinggung soal
kecenderungan pemberitaan atjehpost
dalam menghajar gubernur Zaini. Irwandi mempertanyakan, kenapa atjehpost hampir
tak pernah menyerang Mualem (Muzakkir Manaf). Cut Farah Meutia, juga pernah
menyinggung hal serupa.
Kalau memang apa yang dilakukan awak atjehpost dalam menghajar zaini berangkat dari keyakinan mereka sendiri,
menurut saya, lebih elok jika mereka memilih terus melawan dan mempertahankan
apa yang mereka yakini benar itu sampai di ruang pengadilan. Jika nanti vonis
hakim menyatakan mereka bersalah, mereka perlu tetap pada pendiriannya, seperti
prinsip Socrates. Filsuf Yunani itu memilih meminum racun daripada mengubah
pendirian. Kalau atjehpost memilih harakiri
dalam kondisi begini, efek dramatisnya pasti luar biasa.
Kaum kepentingan
Kita hidup di zaman tsunami informasi. Informasi menyerbu
kita melalui berbagai saluran. Belum selesai berita yang satu kita lahap, mata
kita sudah melihat berita lain. Semua datang berbarengan, kita sampai tak
sempat tarik nafas. Jika tak pandai-pandai, sungguh kita akan menjadi korban.
Sebab, di zaman tsunami informasi begini, bukan perkara mudah membedakan antara
fakta dan fitnah, antara berita dan iklan, serta antara yang benar-benar berita
dengan sekadar hoax belaka.
Menjalani hidup dalam kondisi begitu, ada baiknya kita
mendengar lagi peringatan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang mereka tulis dalam
Blur, sehingga kita menjadi lebih
berhati-hati. Sebab, tak selamanya informasi yang kita baca, kita lihat dan
dengar adalah semata-mata informasi/berita, melainkan banyak di antaranya hanya
informasi berkedok. Jangan-jangan yang kita sangka berita sebenarnya hanya
propaganda, iklan terselubung, semata-mata hiburan atau informasi mentah yang
belum terkonfirmasi dan wartawan/penulis cukup bersembunyi di bawah kalimat,
“telepon tidak diangkat”, “pesan singkah tidak dibalas”, atau “handphonenya
tidak aktif”, dan banyak lagi.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengingatkan kita untuk
lebih mengenali konten seperti apa yang ingin kita lahap di era tsunami
informasi begini, di tengah kultur media yang terbuka dan campur-aduk, karena “label informasi seringkali menipu ketimbang
mencerahkan.”
Mereka mengindentifikasi, ada empat model jurnalisme yang
sering kita temui belakangan ini. Pertama,
jurnalisme verifikasi. Ini adalah model tradisional yang menempatkan nilai
tertinggi pada akurasi dan konteks. Soal ini, kita harus belajar pada sosok
Rick Meyer dari Los Angeles Times.
Dia selalu memisahkan fakta dan wawancara ke dalam kertas kecil yang mirip
kartu catatan dan mengaturnya di lantai. Inilah yang oleh Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel dalam Element of Journalism
disebut sebagai contoh dari disiplin verifikasi.
Atau kita dapat belajar dari Tom French dari St. Petersburg Times. Pemenang hadih
pulitzer 1999 untuk penulisan feature tentang orang yang mengidap HIV/AIDS ini
dikenal dengan warna pencilnya yang berbeda-beda dalam memverifikasi fakta yang
ada dalam setiap tulisannya. Sebelum menyerahkan tulisannya ke editor, Tom
French mengambil salinan tercetak dan meneliti tulisan itu baris per baris
dengan pencil berwarna, menorehkan tanda centang pada tiap fakta dan pernyataan
di dalam tulisan. Ini akan mengingatkan dia untuk memeriksa ulang setiap fakta
dan pernyataan.
Kedua, jurnalisme
pernyataan. Ini model lebih baru yang meletakkan nilai tertinggi pada kecepatan dan volume, dan karenanya
cenderung jadi kanal informasi pasif.
Ketiga, jurnalisme
pengukuhan. Ini sebuah media politik baru yang membangun loyalitas bukan pada
akurasi, kelengkapan atau verifikasi melainkan mengafirmasi apa yang diyakini
audiens, sehingga cenderung menjadi informasi menjemput bola demi tujuan itu.
Keempat, jurnalisme
kaum kepentingan. Dalam model ini mencakup situs web atau karya, seringkali
investigasi, yang biasanya didanai pihak khusus yang berkepentingan, dan bukan
oleh institusi media, dan dikemas menyerupai media.
Cara menandai jurnalisme kaum kepentingan ini sangat
gampang. Menurut Kovach dan Rosenstiel, dalam jurnalisme kaum kepentingan,
berita yang disajikan bermuara satu titik atau kesimpulan sama yang
diulang-ulang. “Jika semua beritanya mengatakan hal yang sama, maka
berhati-hatilah,” kata Kovach mengingatkan.
Saat menulis posting ini, saya menyempatkan diri membaca
berita atjehpost terkait Zaini
Abdullah. Kesan yang saya tangkap, berita mereka bermuara pada satu titik:
Zaini Abdullah diposisikan bersalah. Ini terlihat dalam beberapa berita, sekali
pun menggunakan narasumber berbeda. Jangan-jangan, atjehpost belakangan ini sudah masuk dalam model jurnalisme kaum
kepentingan! Saya berharap kesimpulan saya ini salah.
Penari telanjang
Pembaca atjehpost pasti
kecewa saat mendapati portal kebanggaannya tak lagi terupdate dan memilih pamit untuk selamanya. Mereka yang termasuk
dalam kategori pembaca berita-berita sensasional, pasti berharap atjehpost dapat muncul dalam nama lain.
Ini sangat wajar, karena sebagai media yang pernah berhenti terbit dua kali,
pasti suatu saat akan terbit lagi, mungkin dengan nama berbeda.
Saya terkesan dengan perumpamaan Bill Kovach dan Tom
Rosentiel dalam The Element of Journalism
tentang media yang mencerahkan dan media yang suka melebih-lebihkan serta kerap
membuat sensasi. Mereka menyebutnya dengan prinsip Penari Telanjang dan Pemain Gitar.
Katanya, jika anda ingin menarik audiens, anda bisa pergi
ke ujung jalan, copot pakaian, dan bertelanjanglah. Orang-orang pasti akan
berbondong-bondong menonton aksi telanjang ini. Namun, lama-lama orang akan
bosan, karena hanya melihat aksi itu-itu saja. Penarinya akan dicap orang tak
bermoral atau kurang waras.
Bandingkan, misalnya, tulis Kovach, dengan orang yang
bermain gitar. Pergi ke ujung jalan yang sama dan mainkan gitar. Awalnya
mungkin yang mendengar anda tidak seberapa. Di hari pertama orang yang menonton
pasti membuat anda kecewa, tapi di hari kedua pasti akan bertambah, ini juga
sangat bergantung pada seberapa bagus anda memainkan gitar dan lagu-lagu yang
anda bawakan. Jika anda bermain cantik dan lagu anda menarik, penonton akan
semakin bertambah, tidak pernah berkurang. Kita juga tak perlu repot mencari
penonton baru untuk menggantikan penonton yang bosan.
Diakui atau tidak, beberapa pemberitaan atjehpost lebih mirip prinsip penari
telanjang, terutama terkait berita Gubernur Zaini Abdullah. Ini tak seluruhnya
salah. Di era new media, banyak media
online sudah ‘menuhankan’ trafik. Isi berita boleh biasa-biasa saja, tetapi
judulnya harus menggoda. Trafik bagi media online kerap dikapitalisasi dengan
perolehan dollar. Ah, sudah terlalu panjang saya mengoceh.
Sekali pun saya tak peduli dengan pemberitaan atjehpost, dan beberapa di antaranya tak
sesuai dengan prinsip yang saya anut, sebagai blogger saya bersimpati kepada
mereka. Seberat apapun masalah yang mereka hadapi, harakiri bukanlah solusi final.
Bacaan
1. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (Dewan
Pers dan Pantau, 2012)
2. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan
Diharapkan Publik (Pantau, 2006)
Tags:
Jurnalisme