Saya masih setia menunggu serial televisi Game of
Thrones. Tidak biasanya saya begitu tergila-gila pada film yang rilisnya
seperti air kran di Banda Aceh itu yang tersendat-sendat: satu episode setiap minggu. Kali ini saya terpaksa mengingkari prinsip sendiri. Padahal, saya sudah berjanji pada diri sendiri
untuk tidak menonton film yang dicicil, karena hanya buang-buang umur saja,
seperti halnya menonton sinetron yang episode-nya mencapai ratusan.
Untuk Game of Thrones, saya membuat pengecualian. Film
yang diangkat dari cerita fantasi dalam novel best-seller berjudul asli “A
Song of Ice dan Fire” (Game of Thrones, salah satu bagian dari novel itu) karya
George R.R. Martin itu merangsang adrenalin kita untuk menunggu tiap episodenya.
Kegilaan saya pada film ini bukan kepura-puraan semata. Menunggu rilis Session
5 (sudah rilis awal April lalu), saya memilih menonton untuk kedua kalinya
session 1-4 (tidak semua film mendapatkan kehormatan dari saya menonton dua
kali) . Hal ini saya lakukan, agar begitu Session 5 rilis, saya tidak
kehilangan cerita sebelumnya, yang alurnya rumit, sulit ditebak, serta perubahan-perubahan karakter
tokoh: dari jahat jadi baik; dari musuh jadi teman; dan seterusnya.
Bagi saya sendiri, kisah dalam Game of Thrones itu
menyerupai dunia yang sedang kita jalani di Banda Aceh ini. Saya bukan
peng-khutbah moral, bukan ulama bersurban, dan bukan pula orang-orang punya ‘kekuasaan’
mengubah persepsi dan opini orang melalui tulisan. Sungguh, setiap apapun yang
saya tulis adalah bentuk pengulangan atas pengetahuan yang saya dapat dan saya
jaga dalam bentuk arsip tulisan, karena sering-kali saya akan membutuhkannya lagi. Bagi
saya, menulis itu adalah ziarah pengetahuan, karena kita tak pernah tahu kapan
pengetahuan baru yang kita dapatkan itu menghilang dalam ingatan.
Karena itu, saya tak pernah menyesal jika ada orang-orang
yang tidak setuju dengan apa yang saya tulis, sebab pembaca itu bukan robot
yang dapat digerakkan dengan tombol “ON” dan “OFF”. Pembaca adalah manusia
merdeka yang memiliki pengetahuan dan pemikiran sendiri, dan bbiasanya keputusan mereka
membaca tulisan kita murni bukan karena setuju terhadap apa yang kita
tulis, melainkan karena mereka butuh iklan, seperti halnya menonton film di
layar kaca: ada jeda iklan. Kita pun kadang-kala menulis karena memang
haus akan hiburan, setidaknya bagi saya: menulis adalah hiburan itu sendiri.
Ingatan saya kembali ke sebuah obrolan santai di warung
kopi Blackjack (saya dan teman-teman lebih sering menyebutkan “markas ronin”).
Saya lupa mencatat hari apa, yang pasti obrolan itu terjadi saat cuaca di Banda
Aceh begitu teriknya. Saya tidak begitu mengenal sang pelayan kota: Hj Illiza
Sa’aduddin Djamal, hingga seseorang memberi tahu saya, bahwa Bunda Eli (begitu
para netizen menyapanya) adalah anak seorang ulama. Saya tak begitu ingat konteks obrolan itu,
tapi yang pasti, penyebutan anak ulama itu diawali karena kebijakan yang
bersangkutan tetap membebaskan para pegawai di kota yang dipimpinnya itu untuk tidak masuk kantor, pada 3 hari setelah Idul Adha. Padahal, hari libur
nasional berdasarkan kalender pemerintah, pada hari kedua Idul Adha pegawai negeri
sudah wajib masuk kantor. Apakah sejak obrolan itu, saya menjadi kagum pada kualitas
keulamaan Bunda Eli?
Jika menjawab “Ya”, saya pasti sedang membohongi diri
sendiri. Seingat saya, saya mulai mengenal sosok Bunda yang di beberapa baliho
berjilbab hijau itu saat musim kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada)
2006 silam. Sekali pun gambar dirinya bersama (alm) Mawardy Nurdin begitu mudah
ditemui di Banda Aceh saat itu, tak sedikit pun menggoda saya untuk melihatnya
lekat-lekat, hingga seseorang memberitahu saya, bahwa dia akan memilih
perempuan cantik itu untuk kursi Wakil Walikota Banda Aceh. “Sep lagak Bu Eli, paih munyoe gobnyan terpilih ngon Pak Mawardy.”
Lebih kurang begitulah testimoni kawan saya itu. Sejak itulah saya jadi sering
memandang baliho yang ada gambar perempuan berjilbab itu, tiap berhenti di lampu merah.
Saya pikir, bahkan, hingga kini pun saya masih tetap kagum pada
bunda Eli. Setelah satu periode memimpin Banda Aceh bersama (alm) Mawardy, kejelian
dan kejeniusan kalkulasi politiknya demikian terasah. Tanpa bikin survei
(apalagi survei abal-abal) pun, saya kira kita dapat mengukur dan membaca
kecerdasan berpolitik Bunda Eli. Lima tahun bersama Pak Mawady mengurus kota,
dia sudah punya bayangan, bahwa suatu saat dia akan memimpin kota. Padahal kita
tahu, di beberapa kabupaten/kota, bahkan, di tingkat provinsi pun, pasangan
yang maju di Pilkada 2006 bercerai satu persatu, dan memilih maju sendiri
dengan menggandeng calon lain pada Pilkada 2012, tapi tidak demikian di Banda Aceh. Mawardy Nurdin dan Illiza
tetap kompak maju bareng, menghadang mantan Direktur Bank Aceh, Aminullah Usman
dan anak mantan Ketua DPRD Aceh HT Djohan, Irwan Djohan.
Illiza bukan tidak tahu kalau dirinya sudah punya cukup modal
populer dan membuatnya begitu dikenal di Banda Aceh, dan bisa mendapatkan
calon wakil walikota untuk berpasangan dengannya. Tapi, kejeniusan membaca dan nalar
politiknya mengatakan sebaliknya. Saya pikir, atas dasar itu kita pun harus belajar tentang
tahu diri dari sosok Bunda Eli ini. Dia tahu, kalau berpisah dengan Mawardy
peluangnya memenangi kursi Walikota cukup kecil. Mawardy hampir tak punya
cacat dalam menakhodai kota yang memiliki banyak nama itu, dan banyak orang
meramalkan hanya keajaiban yang membuat Mawardy tak terpilih lagi. Belakangan,
pemberian gelar Bapak Pembangunan Banda Aceh mengonfirmasi betapa tidak
cacatnya sang Walikota yang berasal dari Kampung Asan, Pidie, itu.
Lima tahun memerintah kota bersama-sama, Bunda Eli pasti
tahu kekuatan dan kelemahan tandemnya itu. Lagi pula, saat itu, Bunda tak punya
nyali mengkhianati Partai Demokrat, yang diakui atau tidak, telah ikut membesarkan
namanya. Karena itulah, berkat pembacaan dan nalar politik tadi, dia melawan
godaan yang mendorongnya maju sendirian dan ikut menantang Mawardy. Dia
memilih mengabaikan godaan itu, karena sangat yakin, angin barat sedang
berpihak padanya. Akhirnya, pada Pilkada 2012, bersama Mawardy, Bunda Eli
kembali terpilih dan memimpin Kutaraja lima tahun lagi. Sejak Mawardy mulai
sakit-sakitan, Bunda Eli semakin yakin, hanya perlu menunggu waktu saja dia akan memimpin
Banda Aceh, dan ikut menentukan siapa yang berhak mendampinginya, sebagai Wakil
Walikota. Dalam hal ini pun, sekali lagi, kita harus mengakui kehebatan dan
kejeniusan berpolitiknya: menyingkirkan kandidat Demokrat, Yudi Kurnia, secara halus.
Menyimak sepak terjangnya tersebut, saya jadi ragu
sendiri. Jangan-jangan Walikota Banda Aceh, Hj Illiza Sa’aduddin Djamal, adalah
penggemar berat Game of Thrones. Dia pasti hafal kutipan menarik dari Cersei
Lannister, "when you play the game of
thrones, you win or you die. There is no middle ground (Ketika anda
memainkan permainan tahta, anda menang atau mati. Tidak ada jalan tengah)." Karenanya dia pun sadar dengan risiko yang bakal didapatnya dalam permainan
kekuasaan itu.
Tapi, sebagai warga Banda Aceh, saya mengingatkan Bunda
Eli, agar terus berhati-hati, terutama dalam permainan kekuasaan. Bunda
harus hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, mengangkat para pembantunya,
serta dalam bersiasat memilih teman dan lawan. Karena dalam Game of Thrones,
kawan dan lawan hanya peduli pada keuntungan politik dan ekonomi: siapa yang
menguntungkan dan memberikan lebih banyak. Jika tak hati-hati, Bunda akan
tergilas oleh kebijakannya sendiri.
Karena Bunda Eli sedang sibuk dan mungkin saja tak sempat
menonton Game of Thrones Session 5 (terutama episode ke-6 dan 7), saya akan
coba mereview sedikit, lagi-lagi karena saya adalah warga kota yang baik.
Kita tahu dengan agenda Bunda yang cukup padat, terutama dalam memperbaiki dan
menjaga moral warganya, beliau pasti tak punya waktu menunggu rilis Game of
Thrones yang seperti air PDAM di Banda Aceh belakangan ini.
Di session 5 episode 6, Cersei Lannister, yang begitu semangat
menjatuhkan istri dari anaknya Tommen (King Tommen), Maargery, memanfaatkan
tangan High Septon, penjaga keyakinan ajaran agama di Wasteros. Perilaku
tercela Sir Loras sebagai pecinta sesama jenis adalah senjata untuk menghabisi
pengaruh Ratu Maargery yang dianggap berpotensi mengendalikan
Raja Tommen. Dalam sebuah sidang tak resmi, Loras dihukum bersalah karena
berbohong: mengaku tak pernah berhubungan dengan Renly Baratheon, begitu juga
Maargery, karena bersumpah palsu: mengaku tidak tahu perilaku adiknya, Loras.
Keduanya dipenjara sambil menunggu sidang pengadilan.
Itulah awal petaka untuk Cersei Lannister. Seperti kita
tahu dari Session-session sebelumnya, Cersei juga terlibat incest dengan Jamie Lannister, kakaknya, hingga melahirkan anak,
termasuk Raja Jofrey dan Tommen. Seusai menjenguk Maargery di penjara, Cersei
menghadap High Septon dan mendengar ceramahnya tentang rumah ibadah di King’s
Landing, tentang perhiasan keluarga Tyrells yang akan dilucuti dan kebohongan mereka
akan terungkap. “Isi hati mereka akan ditelanjangi agar semua orang melihatnya.
Dan hati kita juga akan diperlakukan seperti itu. Bangsawan dan orang biasa
akan diperlakukan sama.” Septon mengatakan itu dengan mimik serius, termasuk
ketika bertanya pada Cersei, “apa yang akan kami temukan ketika kami melucuti
perhiasanmu?” Cersei jelas tak mengira akan ditanya begitu, dan dia pun mulai
tak nyaman. Ada ketakutan di wajahnya, terutama setelah Septon mengatakan ada
anak muda yang banyak bercerita tentang dirinya. Setelah melihat wajah pemuda itu,
Cersei cepat-cepat ingin menyingkir dari Septon, tapi petugas perempuan
menghalangi dan menangkapnya. Dia pun dijebloskan ke penjara.
Kisah itu memang hanya ada di film dan cuma fantasi
penulis novel Game of Thrones. Mudah-mudahan pelbagai kebohongan dan
kemunafikan para tokohnya, tidak terjadi di kota madani kita tercinta ini. Upaya
Bunda memperbaiki dan menjaga moral warganya, agar masuk surga
nantinya di akhirat, mudah-mudahan benar-benar bukan pencitraan. Sekali lagi, karena kita
tahu, Bunda Eli adalah anak seorang ulama. Apa yang dilakukannya, termasuk
dengan memberlakukan jam malam, demi kebaikan kita bersama. Karena itu, dalam
tulisan terdahulu saya, saya berani mengatakan bahwa Bunda Eli adalah walikota
jempolan. Ya, kita harus memberi jempol untuk Bunda Eli, yang sukses melarang perayaan malam tahun baru masehi 2015 lalu, sekali pun kita tahu, peringatan ulang tahunnya masih menggunakan tahun masehi, demikian pula peringatan hari lahir Kota Banda Aceh. Bunda tak perlu takut, karena hal itu, tak mengurangi rasa kagum saya pada dirinya.
Tapi, siapa pun yang pernah menonton serial Game of Thrones tak
akan pernah lupa dengan frasa “Winter is
coming”. Kalau dikonstekstualisasikan dalam dunia kita di Banda Aceh, kira-kira
akan berbunyi begini: musim politik segera datang! Berhati-hatilah. []
Tags:
Artikel