Aceh, Dari Konflik ke Rekonsiliasi

(Melihat posisi Media dalam Percapaian Perdamaian)
Oleh Taufik Al Mubarak

I
Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh. Imbasnya masih terasa sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh.

Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh melakukan perompakan di selat Malaka, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatik dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Inggris dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong Belanda menyerang Aceh.

Pernyataan perang ini memicu respon yang cukup keras dari Kerajaan Aceh. Sehingga dalam sebuah riwayat yang beredar di dalam masyarakat Aceh, maklumat perang Belanda ini dijawab oleh Majelis Negara Aceh dalam bentuk pernyataan sindiran, “bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe nyang na lam nanggroe Aceh bek ka teumueng raba,” (Jangankan merebut Negeri, ayam yang tanpa gigi pun yang ada di bumi Aceh jangan coba-coba disentuh).

Apa yang terjadi pasca Maklumat perang itu? Aceh terjebak dalam perang berkepanjangan. Sekitar 70 ribu pejuang Aceh menjadi korban, sementara di pihak Belanda sebanyak 35 ribu jiwa ikut menjadi korban di samping kerugian material yang cukup besar. Banyaknya korban yang jatuh di antara kedua belah pihak membuat Belanda mengevaluasi kembali kebijakannya, karena perang ini sangat melelahkan dan mengakibatkan kerugian sangat besar di pihak Belanda.

Bahkan seorang perwira Belanda, Jenderal Kohler, yang memiliki kecakapan perang tewas di tangan pejuang Aceh dalam suatu peperangan di depan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kematian Jenderal Kohler berpengaruh besar terhadap keruntuhan mental para serdadu Belanda. Kerajaan Belanda terpaksa menarik pasukannya dari Aceh dan mempersiapkan rencana peperangan kedua secara besar-besaran.

Meski pada tahun 1942 Belanda keluar dari Aceh, namun maklumat perang tersebut tak pernah dicabut. Hal inilah kemudian yang menimbulkan persoalan baru bagi rakyat Aceh. Di mana tanggal 26 Maret selalu dikenang oleh masyarakat Aceh sebagai babak kelam sejarah Aceh. Rakyat Aceh selalu meminta agar maklumat perang itu dicabut. Karena, selama maklumat perang itu belum dicabut, berarti antara Aceh dan Belanda masih terlibat peperangan. Dan klaim Aceh sebagian dari Indonesia sama sekali keliru.

Warisan persoalan maklumat perang ini berlanjut sampai sekarang. Masalah kedaulatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tuntutan masyarakat Aceh. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan oleh Tgk Hasan Muhammad di Tiro meletakkan persoalan kedaulatan Aceh sebagai sumber perjuangan gerakannya. Baginya Aceh tak pernah secara sah diserahkan kepada Hindia Belanda (Indonesia).

Dalam pandangan Hasan Tiro, Belanda melakukan kesalahan besar dengan menggabungkan Aceh ke dalam wilayah teritorial Indonesia. Artinya, ketidakmampuan Belanda menaklukkan Aceh dibalas dengan tindakan menyerahkan Aceh secara sepihak kepada Hindia Belanda. Dan Belanda tidak mau mengakui kekalahan berperang melawan kerajaan Aceh.

II
Sebelum munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebenarnya benih-benih perlawanan rakyat Aceh sudah muncul dalam bentuk DI/TII yang dipimpin oleh tokoh Ulama Aceh Kharismatik, Tgk Muhammad Daud Beureu’eh pada Tahun 1953. Namun, gerakan ini masih mengikatkan diri dalam bingkai Republik, di mana DI/TII digabungkan dalam gerakan DI/TII di Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo. Gerakan ini sama sekali bukan bertujuan membentuk kembali Negara Aceh.

Munculnya Gerakan ini juga disebabkan oleh perlakuan Jakarta yang memasukkan Aceh sebagai bagian Sumatera Utara. Aceh yang telah berjuang mengusir Belanda hanya dijadikan sebagai sebuah keresidenan. Tuntutan rakyat Aceh agar diberi status khusus sebagai wilayah yang berlaku syariat Islam juga tak diakomodir oleh pemerintah di Jakarta.

Berbeda dengan DI/TII, Gerakan Hasan Tiro mencoba mengubah Aceh menjadi sebuah Negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia seperti sebelumnya. Hasan Tiro secara frontal memperjuangkan pemisahan Aceh dari Jakarta. Bagi Hasan Tiro, Aceh tak memiliki hubungan apapun dengan Indonesia. Menurutnya, Aceh hanya memiliki permasalahan dengan Belanda. Karena itu ada tuntutan agar Belanda mencabut maklumat perang dan memulihkan kedaulatan Aceh seperti sedia kala.

Konflik Aceh pun dimulai. Di satu sisi, Pemerintah sudah mengekalkan bahwa Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Indonesia. Apapun akan dilakukan jika demi mempertahankan sejengkal tanah NKRI ini. Klaim Indonesia terhadap Aceh sudah final: Aceh merupakan bagian dari Indonesia yang harus dipertahankan.

Sementara GAM mengampanyekan kemerdekaan untuk Aceh. Pada mulanya kampanye lebih diarahkan pada penyadaran ideologis rakyat Aceh sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan. Awalnya sangat sedikit masyarakat Aceh yang terpengaruh pada kampanye GAM ini. Gerakan ini hanya popular di tiga wilayah saja yaitu Pidie, Aceh Utara dan Timur. Tapi, selepas reformasi 1998, terutama setelah pencabutan DOM, tuntutan kemerdekaan menjadi menyeluruh, apalagi kemudian muncul tuntutan referendum.

Pada awalnya Pemerintah di Jakarta tak begitu merespon gerakan ini. Namun, karena ancaman terhadap keutuhan NKRI betul-betul telah nampak di depan mata, apalagi aktivis GAM di luar negeri sudah kembali ke Aceh dan memicu perang terbuka dengan serdadu republic di Aceh. Mau tak mau memaksa pemerintah menggunakan kekuatan bersenjata. Akibatnya sudah dapat ditebak, banyak rakyat Aceh yang tak terkait apa-apa dengan gerakan ini ikut menjadi korban.

Puncaknya pada tahun 1989 secara illegal pemerintah memberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, di mana sebelumnya dikenal dengan Operasi Jaring Merah. Aceh dipaksa masuk dalam pusara konflik. Ribuan serdadu dikirim ke Aceh untuk menumpas 120 anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Padahal munculnya gerakan ini juga tak terlepas dari kebijakan salah yang diterapkan pemerintah terhadap Aceh. Hasil alam Aceh yang sangat kaya raya dikeruk sedemikian rupa tetapi masyarakat Aceh hidup dalam kemiskinan. Rakyat Aceh menjadi penonton terhadap proyek-proyek besar pemerintah di Aceh. Hasil alam Aceh diekploitasi tanpa henti, sementara rakyat Aceh dijadikan sebagai sapi perahan dan budak di negeri sendiri. Tak hanya itu perlakuan refresif pemerintah juga membuat masyarakat Aceh semakin jauh dengan pemerintah di Jakarta.

Anehnya, operasi penumpasan GAM menimbulkan persoalan kemanusiaan yang sangat dahsyat. Banyak masyarakat Aceh menjadi korban dari kebijakan pemerintah meski tak ada sangkut pautnya dengan GAM. Operasi yang semula untuk menghancurkan GAM ternyata berubah wujud menjadi operasi pemusnahan etnis Aceh. Kesan ini yang kemudian muncul ketika munculnya gerakan reformasi di Aceh.

Begitu reformasi, tuntutan pencabutan DOM di Aceh menjadi salah satu isu yang menggelinding di kalangan mahasiswa Aceh. Mayoritas masyarakat menghendaki pencabutan status DOM di Aceh. Karena DOM tak lebih sebagai kebijakan legalitas memusnahkan masyarakat Aceh. Terbukti kemudian begitu DOM dicabut, ribuan masyarakat Aceh ternyata ikut menjadi korban keganasan serdadu pemerintah.

Perlakuan seperti ini di antaranya yang memaksa mahasiswa Aceh merumuskan ulang posisi Aceh di dalam Indonesia. Melalui Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) Tahun 1999, masyarakat Aceh mengirimkan pesan khusus terhadap Jakarta: Aceh sudah muak terus menerus menjadi bagian dari Indonesia; Aceh ingin merdeka. Sejak itulah lembaga perjuangan masyarakat sipil Aceh, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dilahirkan sebagai lembaga yang memperjuangkan referendum penentuan nasib sendiri untuk rakyat Aceh di bawah pengawasan internasional. Tak tanggung-tanggung, mereka mengusung dua opsi radikal untuk Aceh: Bergabung dengan Indonesia atau pisah (Merdeka).

Sejak saat itu, nasionalisme Aceh seperti menemukan bentuknya kembali. Di berbagai tempat dipasang spanduk berisi keinginan untuk kemerdekaan. Rakyat Aceh tenggelam dalam hysteria referendum untuk kemerdekaan. Gerakannya melingkupi seluruh pelosok Aceh. Nyanyian hikayat Perang Sabil dilantunkan di mana-mana, di berbagai tempat dan kesempatan. Kebencian terhadap Jakarta semakin menjadi-jadi. Jakarta saat itu di mata rakyat Aceh adalah penjajah.

Puncaknya, tepat tanggal 8 November 1999, sekitar 2 juta masyarakat Aceh dari berbagai wilayah di Aceh berkumpul di halaman Mesjid Raya Banda Aceh dan mengikrarkan diri siap berjuang sampai darah penghabisan untuk perjuangan referendum penentuan nasib sendiri bagi rakyat Aceh. Sebelumnya, di setiap wilayah sudah digelar konvoi dan aksi massa perjuangan referendum yang diikuti ratusan ribu masyarakat Aceh.

Presiden Gus Dur yang sedang melawat ke Pnom Phen, Kamboja, merespon tuntutan rakyat Aceh dengan mengatakan, “jika Timor-Timur bisa referendum, mengapa Aceh tidak? Itu kan tidak adil.”

Tak hanya itu, dalam suatu wawancara dengan Radio Netherland, Gus Dur juga berujar, “Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republic, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.”

Tuntutan rakyat Aceh untuk penentuan nasib sendiri tak juga menjadi kenyataan. Sementara kekerasan terus terjadi. Pembantaian demi pembantaian semakin menyayat hati. Operasi demi operasi digelar untuk menghancurkan GAM. Rakyat Aceh kembali terjepit di antara dua kubu yang sedang bertikai.

Beruntung pada medio Mei 2000, terjadi Jeda Kemanusiaan untuk memudahkan penyaluran bantuan kemanusiaan untuk rakyat Aceh. Tetapi, hanya pada fase pertama jeda kemanusiaan sangat efektif, setelah itu kekerasan kembali terjadi. Selanjutnya pembicaraan politik kembali terjadi dengan dicapainya Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), 9 Desember 2002 di Jenewa untuk penghentian permusuhan di Aceh. CoHA juga tak dapat bertahan lama, karena sulitnya membangun kepercayaan di antara para pihak bertikai. Selain itu, tidak dicapainya kata sepakat tentang formula penyelesaian konflik Aceh. GAM tetap pada pendiriannya menuntut kemerdekaan untuk Aceh, sementara RI memaksakan otonomi sebagai solusi penyelesaian Aceh. CoHA pun gagal dipertahankan.

Tepatnya tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat perang dalam bentuk pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Kekuatan militer dikerahkan secara besar-besaran ke Aceh. Inilah pengerahan Militer secara besar-besaran setelah invasi ke Timor-Timur pada Tahun 1975. Tak ada orang yang bisa meramalkan kapan perang itu akan diakhiri. Pembicaraan tentang perdamaian tak ada ruangnya lagi. Pemerintah telah bersikap akan menghancurkan GAM sampai ke akar-akarnya. Malah, pimpinan TNI secara sombong mengatakan bahwa hanya butuh waktu 6 bulan untuk membasmi kekuatan GAM. Nyatanya, hampir dua tahun DM kekuatan GAM tak bisa dihancurkan. Malah, masyarakat Aceh semakin benci kepada TNI/Polri. Karena, tak hanya GAM, masyarakat sipil juga jadi sasaran kekerasan.

III
Bagaimana sebenarnya solusi penyelesaian konflik Aceh? Pertanyaan ini yang selalu merangsang para pengamat untuk menganalisanya. Tetapi, baik RI, GAM dan Masyarakat Aceh memiliki tafsir tersendiri terhadap solusi penyelesaian Aceh.

Pertama, tafsir pemerintah RI. Bagi pemerintah konflik Aceh dianggap selesai jika GAM menerima otonomi dan kembali ke pangkuan NKRI. Upaya satu-satunya yang lebih cepat membuat GAM menerima otonomi adalah melalui jalan operasi Militer. Meski, pemerintah juga membuka dialog dengan GAM (seperti dirintis oleh Gus Dur). Tetapi, dialog juga bertujuan meminta GAM menerima otonomi khusus dan meletakkan senjata.

Kedua, tafsir GAM. Bagi GAM konflik Aceh dianggap selesai jika Aceh Merdeka. TNI/Polri keluar dari Aceh. Bagi GAM, keberadaan RI di Aceh adalah penjajah, karena itu harus diperangi dan diusir dari Aceh. GAM tak hanya mengandalkan kekuatan militer, melainkan juga menempuh jalur diplomasi untuk mencari dukungan internasional mendukung kemerdekaan Aceh. Tafsir ini merupakan sikap GAM sejak diproklamirkan oleh Hasan Tiro 4 Desember tahun 1976.

Ketiga, tafsir ketiga adalah Referendum, penentuan pendapat rakyat Aceh tentang masa depan Aceh. Opsi ini dipilih untuk memberikan peluang kepada rakyat Aceh apakah ikut RI atau GAM. Alasan para mahasiswa adalah bahwa konflik RI dan GAM telah mengakibatkan jatuhnya korban di kalangan masyarakat sipil. Karena itu, mahasiswa membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga mengorganisir perjuangan referendum untuk Aceh.

Tafsir-tafsir ini menyebabkan kekerasan di Aceh semakin massif. Karena semua pihak yakin pada tafsir pihaknya sendiri.

IV
Bagian akhir tulisan ini, saya mencoba melihat adakah peran media dalam penyelesaian konflik (penghentian perang) di Aceh?

Menarik untuk disimak pernyataan Tuan Keuner dalam cerita Bertholt Brecht seperti dikutip dalam buku Konflik Multikultur terbitan LSPP Jakarta, “Jika Koran (media) dipandang sebagai sarana membuat kekacauan, maka Koran (media) pun dapat digunakan sebagai saran membangun perdamaian.” Tinggal sekarang bagaimana media menyikapi peran yang sangat bertolak belakang ini.

Ada beberapa fungsi media di Aceh dalam menyikapi sebuah kondisi konflik. Pertama, sebuah media hendaknya tidak memprovokasi timbulnya sebuah peperangan. Namun bagaimana mengajak membangun perdamain. Hal ini bisa kita simak saat awal-awal sebelum Darurat Miiter digelar. Pemberitaan di media lebih banyak terjebak pada alur berfikir pemerintah dan elite penguasa. Media cenderung mengondisikan public bahwa opsi militer adalah satu-satuny jalat/media untuk penyelesaian konflik Aceh.

Pemberitaan di media diwarnai dengan adu kekuatan dari kedua belah pihak: RI dan GAM untuk menaklukkan lawan-lawan mereka. Yang terjadi kemudian adalah perang sudah duluan terjadi di dalam pemberitaan media, padahal pemerintah belum memutuskannya.

Kedua, media dapat menjadi saluran alternative mempertemukan pihak-pihak yang bertikai dengan pernyataan yang menyejukkan, khususnya tentang keinginan untuk berdamai. Dengan pemberitaan seperti ini, setidaknya public mengetahui apa pemicu perang dan konflik.

Ketiga, berita-berita yang dimuat di media hendaknya menjadi penyeru perdamaian. Sebisa mungkin pemberitaan yang bersifat provokatif atau corong propaganda dihindari. Sehingga tidak memancing salah satu pihak untuk mempertajam permusuhan dan memaksa mempercepat perang.

Pengalaman sewaktu DM, para jurnalis terjebak dalam scenario pemerintah. GAM dikondisikan sebagai musuh bersama yang harus dihancurkan. Apalagi, ada kebijakan pemerintah yang meminta media harus memiliki jiwa nasionalis dan patriotic. Sehingga berita-berita di media selama DM lebih didominasi oleh talking news dan minim hasil invesitigasi (liputan langsung) dan sepertinya media cukup mengutip keterangan petinggi militer di Media Center PDMD (Penguasa Darurat Militer Daerah).

Keempat, pemberitaan di media hendaknya lebih banyak berisi masukan atau ajakan bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menggunakan nurani kemanusiaan. Selain itu, harus berisi kritikan bagi pemerintah agar menilai kembali kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya.

Ada gambaran menarik di Aceh saat DM berlangsung. Bahwa bagi rakyat Aceh membaca Koran bukan membuat mereka tahu atas kebenaran suatu kejadian, melainkan membutakan. Masyarakat ragu ketika membaca Koran karena ketidakbenaran yang ditulisnya (banyak sumber miilter). Fakta sebuah kejadian jadi kabur ketika menjadi sebuah berita. Sehingga di sana popular ajakan untuk, bacalah apa yang tidak ditulis oleh Koran!

Beruntung para jurnalis di Aceh cepat tanggap dengan kondisi yang ada. Meski banyak juga yang takut pada intruksi pemerintah: dukung operasi terpadu atau berpihak kepada GAM. Media diberikan aba-aba agar tidak menyuarakan propaganda GAM atau berita yang menguntungkan GAM. Media wajib menjadi media perekat nasionalisme Indonesia. Untuk tujuan itu, beberapa media nasional diberikan latihan khusus oleh TNI dalam menghadapi operasi atau dalam meliput perang, yang dikenal dengan embedded journalist.

Saya begitu ingat, para jurnalis yang kritis mempelopori lahirnya sebuah media alternative yang menyuarakan kondisi korban. Sebutlah ACEHKITA.COM, yang lahir di tengah kebimbangan media untuk bersikap, antara tetap teguh memegang idealisme atau terjebak arus mendukung apa saja kebijakan pemerintah. ACEHKITA memilih berseberangan dengan pemerintah dan termasuk yang paling berani bersuara di tengah arogansi penguasa saat itu. ACEHKITA menjadi media tempat jurnalis menulis fakta-fakta yang disaksikannya.

Pendekatan pemberitaan yang digunakan oleh ACEHKITA saat itu adalah memberikan porsi yang lebih kepada korban. Melalui pendekatan ini, sebuah berita lebih dipercaya kebenarannya ketimbang dari sumber dominant.

Ada juga jurnalis yang memilih bekerja sendirian seperti kasus Ersa Siregar. Ersa ingin melihat langsung dan berharap dapat menyiarkannya kepada khalayak apa yang menjadi keinginan pihak GAM. Karena, sepertinya perang tak bisa dihentikan lagi. Masyarakat yang tak berdosa terus menjadi korban. Ersa berfikir kondisi ini harus dihentikan. Tetapi nasibnya berakhir tragis. Dalam sebuah kontak senjata, Ersa tertembak peluru TNI. Kematiannya menjadi kematian yang paling memilukan hati di penghujung 2003.

Kematian Ersa tentu mengajarkan kepada kita betapa mahalnya harga yang harus dibayar dari sebuah konflik yang berkepanjangan. Jika kita tidak menghentikan perang, maka yakinlah peranglah yang akan menghentikan kita. Demikian ungkapan yang sering kita dengar. Dan Ersa telah berkorban cukup besar untuk sebuah perdamaian.

Karena itulah, kondisi perdamaian yang tercipta di Aceh sekarang ini tak terlepas dari peran media. Meski kita percaya bahwa Gempa dan Tsunami menjadi pemicu utama tercapainya perdamaian di Aceh. Tetapi harus diingat, peran media tak kecil dalam menyuarakan ajakan untuk berdamai. Media secara terus menerus mempublikasikan kondisi miris masyarakat Aceh yang terkena musibah. Bahwa sudah cukup penderitaan masyarakat Aceh karena tsunami. Karena itu, hendaknya RI dan GAM memahami kondisi masyarakat agar keduanya serius menghentikan perang dan menanggalkan perbedaan sikap politik masing-masing. Saatnya memikirkan bagaimana membangun kembali Aceh yang hancur diterjang tsunami.

Media secara terus menerus mewartakan bahwa tak mungkin rekontruksi dan rehabilitasi Aceh dapat berjalan sempurna jika konflik tak diakhiri. Tepat tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah RI dan GAM menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki sebagai langkah awal mewujudkan perdamaian di Aceh secara permanent dan bermartabat.

Dan kita sekarang bersyukur sudah dapat menikmati suasana perdamaian. Kita berharap perdamaian ini dapat terus terpelihara dengan baik termasuk juga oleh kalangan media.

(Makah untuk mengikuti workshop internasional tentang peace journalism yang dibuat oleh LP3ES bekerjasama dengan Ford Foundation dan USM Malaysia, 2-3 Desember 2006 di Hotel Millenium Jakarta)

Post a Comment

Previous Post Next Post