Jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Begitulah kiasan yang cocok untuk menggambarkan keberadaan milisi di Aceh. Banyak pihak beranggapan keberadaan milisi akan menjadi kendala bagi implementasi MoU di lapangan. Apalagi, sejauh ini keberadaan milisi sudah sangat meresahkan masyarakat khususnya ketika masih berlakunya status Darurat Militer (DM) dan Darurat Sipil (DS) di Aceh.
Malah Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud, pada saat penandatanganan MoU mempertanyakan tentang masih banyaknya front milisi bentukan militer Indonesia di Aceh. Dalam pandangan Malik Mahmud, keberadaan milisi-milisi bisa memunculkan persoalan baru dan mengancam proses damai jika tidak segera diambil tindakan preventif oleh para pihak dan mediator.
Meski begitu, keberadaan milisi di Aceh sampai sekarang masih terjadi perdebatan. Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Supiadin As, menegaskan bahwa dalam penanganan konflik di Aceh TNI belum pernah membentuk milisi. (serambi, 21/09). Menurut Pangdam bentuk perlawanan yang dilakukan pasukan Berantas, Front Merah Putih dan front lainnya di Aceh, satu pun tak menggunakan senjata. Pernyataan Pangdam itu, tak dapat dijadikan pegangan. Sebab, sudah jadi rahasia umum bahwa selama berlangsungnya DM dan DS marak yang namanya pembentukan gerakan perlawanan GAM yang dibentuk dan difasilitasi oleh TNI di berbagai wilayah di Aceh untuk melawan GAM.
Terakhir seperti dilansir oleh koran Rakyat Aceh (29/09), Panglima GAM Wilayah Linge Tgk Fauzan Azima telah melapor ke petinggi TNI/Polri tentang keberadaan milisi yang dinilai telah memprovokasi pihak GAM dalam berbaur kembali dengan masyarakat. Seperti diketahui, wilayah Aceh Tengah merupakan basis tempat lahir dan tempat latihan milisi terbesar di Aceh.
Beberapa Front Milisi
Selama berlangsungnya DM dan DS (sepanjang 2003-2005), beberapa front perlawanan rakyat atau milisi dibentuk di Aceh. Bahkan dari sebuah dokumen PDMD yang saya dapatkan terlihat bahwa pembentukan front ini hampir merata di seluruh Aceh dan dipimpin oleh tokoh dengan berbagai profesi, PNS, kontraktor, Anggota DPRD dan lain-lain. Agar menjadi pengetahuan bagi masyarakat umum dan Aceh Monitoring Mission (AMM), saya menulis beberapa lembaga Front yang sangat marak di Aceh, sehingga ada kebijakan pencegahan.
Di Aceh Besar dibentuk Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG) yang dipimpin oleh Suhaimi alias Iomi yang berprofesi PNS. Front ini mengklaim memiliki anggota lebih kurang 15.000 orang. Front yang dideklarasikan pada 24 Desember 2003 ini dipimpin oleh 22 orang jumlah pengurus. Lembaga ini aktif menggalang ikrar setia NKRI di berbagai tempat di wilayah Aceh Besar.
Sementara di Banda Aceh, front perlawanan rakyat berhimpun dalam Gerakan Penyelamat Aceh Republik Indonesia (GPA-RI) yang dipimpin oleh Agus seorang wiraswasta. Front ini memiliki anggota lebih kurang 10.000 orang dengan jumlah pengurus 14 orang. GPA-RI dibentuk pada 4 Januari 2004. Sabang yang sering dipandang sebagai wilayah yang sepi dari bau konflik juga dibentuk front milisi yang diberi nama Ormas Pembela NKRI (Ormas-NKRI) yang dipimpin oleh Adnan Hasyim, seorang PNS. Ormas-NKRI ini mengklaim punya jumlah pengikut 10 ribu orang dengan 37 orang pengurus. Front ini dibentuk pada 7 Februari 2004.
Di Pidie front perlawanan itu menamakan diri Geurakan Rakyat Anti Separatis Aceh (GEURASA) yang dipimpin oleh seorang anggota DPRD Pidie, Zulkifli Gede. GEURASA memiliki jumlah simpatisan 15 ribu orang yang tersebar di berbagai kecamatan dan kampung. Lembaga ini dibentuk pada 18 Desember 2003 ini memiliki 38 orang pengurus.
Di Kabupaten Bireuen juga dibentuk front perlawanan yang diberinama Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG). Front ini dipimpin oleh seorang kontraktor, Sofyan Ali atau lebih dikenal dengan Yan PT. Kelompok Yan PT ini yang berdiri pada 1 Oktober 2003 mengklaim punya basis massa 10 ribu orang dengan jumlah pengurus inti 20 orang. Selain sebagai pemimpin FPSG, Yan PT dikenal sebagai tokoh kelompok perlawanan GAM seluruh Aceh.
Di Aceh Utara front itu diberinama Benteng Rakyat Anti Separatis (BERANTAS) yang dipimpin oleh M Satria Insan Kamil, anggota PKPI, dan memiliki jumlah simpatisan 10 ribu orang. BERANTAS dibentuk pada tanggal 12 November 2003 di Lhokseumawe.
Di Kabupaten Aceh Tengah ada Gerakan Perlawanan Separatis GAM (FPSG) di bawah pimpinan Syukur Khobat, dosen dan anggota DPRD Aceh Tengah. Sementara di Kabupaten Bener Meriah dikenal dengan Persatuan Perlawanan Rakyat Merah Putih (FPRMP) yang dipimpin oleh H. Misriady MS, anggota PKPI. Nama Misriady mencuat ke permukaan ketika terjadi demontrasi besar-besaran menentang JSC di Aceh Tengah, dan berbuntuk pada pembakaran kantor JSC tersebut. Di dua Kabupaten ini, gerakan perlawanan itu mendapat dukungan penuh dari Ir Tagore, anggota DPRD Aceh Tengah, yang juga punya andil dalam aksi pembakaran kantor JSC.
Lembaga serupa masih banyak lagi di Kabupaten lain dan tidak mungkin ditulis semuanya. Keberadaan mereka di bawah koordinasi Kodim setempat. Karena itu sebagian dari anggota front itu mendapatkan senjata dari aparat keamanan. Malah di akhir-akhir Darurat Militer, aksi mereka kian gencar mencari anggota GAM. Mereka digunakan sebagai tameng dalam pencarian anggota GAM.
Milisi Ancaman Perdamaian?
Ketika kondisi berbalik, tentunya keberadaan mereka juga patut dipertanyakan. Apalagi keberadaan mereka sudah merata di seluruh Aceh dan memiliki persenjataan, tentu sangat potensial untuk merusak citra perdamaian yang mulai bersemi di Aceh.
Dalam nota kesepahaman Pengaturan Keamanan yang disepakati oleh RI, GAM dan AMM tidak disebutkan secara jelas tindakan apa yang harus diambil berkaitan dengan keberadaan para milisi tersebut. Hanya saja, dalam salah satu butir disebutkan bahwa Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.
Karena itu AMM perlu membuat aturan khusus untuk menetralisir front-front perlawanan rakyat itu yang marak ketika Aceh masih berstatus DM dan DS. Pemda, DPRD dan TNI/Polri harus menghentikan dana melalui APBD dan fasilitas lainnya kepada mereka dan plot dana yang selama ini diberikan kepada mereka dapat dialihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan.
Jika tidak, keberadaan mereka akan meresahkan masyarakat. Aksi kriminal mereka bisa saja dengan mengatasnamakan kelompok lain dengan tujuan memperburuk keadaan. Pengalaman seperti itu sudah pernah ada di hadapan kita. Karenanya perlu segera dipecahkan.
Jangan sampai umur perdamaian Aceh yang baru seumur jagung bisa berantakan jika keberadaan milisi di Aceh tidak segera dilucuti dan dibubarkan. Keberadaan front-front itu juga tidak lagi relevan dengan semangat perdamaian sekarang ini.
Sebab, jika keberadaan milisi yang selama DM dan DS begitu perkasa dan sangat berkuasa tidak ikut dilucuti akan mengundang masalah di kemudian hari. Kekuatan milisi potensial merobek kesepakatan Helsinki. Contoh nyata untuk itu dapat dilihat, bagaimana kekuatan milisi menghancurkan CoHA dalam bentuk show of force menolak keberadaan Joint Security Committee (JSC) dan pengrusakan segala fasilitasnya. Bukan tidak mungkin, MoU juga bisa terancam dengan ulah para milisi itu, misalnya, dalam bentuk mobilisasi masyarakat agar menolak MoU.
Karena penandatanganan MoU sendiri banyak melahirkan protes-protes baik di tingkat pusat oleh gerakan PDI-P maupun di Aceh yang dimotori oleh para milisi. Jika sekarang sepertinya semua pihak menerima Helsinki, maka itu hanyak bentuk kecenderungan ikut pendapat umum dan keinginan internasional. Jadi hanya sebatas euphoria saja. Dan euphoria itu biasanya tidak bertahan lama. Apalagi, tidak seluruh elemen bisa menerima MoU. TNI sendiri sebelumnya juga terkesan tidak bisa menerima perjanjian Helsinki. Makanya, potensi-potensi ke arah itu mesti dihambat agar perdamaian di Aceh tetap terjaga.[]
Malah Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud, pada saat penandatanganan MoU mempertanyakan tentang masih banyaknya front milisi bentukan militer Indonesia di Aceh. Dalam pandangan Malik Mahmud, keberadaan milisi-milisi bisa memunculkan persoalan baru dan mengancam proses damai jika tidak segera diambil tindakan preventif oleh para pihak dan mediator.
Meski begitu, keberadaan milisi di Aceh sampai sekarang masih terjadi perdebatan. Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Supiadin As, menegaskan bahwa dalam penanganan konflik di Aceh TNI belum pernah membentuk milisi. (serambi, 21/09). Menurut Pangdam bentuk perlawanan yang dilakukan pasukan Berantas, Front Merah Putih dan front lainnya di Aceh, satu pun tak menggunakan senjata. Pernyataan Pangdam itu, tak dapat dijadikan pegangan. Sebab, sudah jadi rahasia umum bahwa selama berlangsungnya DM dan DS marak yang namanya pembentukan gerakan perlawanan GAM yang dibentuk dan difasilitasi oleh TNI di berbagai wilayah di Aceh untuk melawan GAM.
Terakhir seperti dilansir oleh koran Rakyat Aceh (29/09), Panglima GAM Wilayah Linge Tgk Fauzan Azima telah melapor ke petinggi TNI/Polri tentang keberadaan milisi yang dinilai telah memprovokasi pihak GAM dalam berbaur kembali dengan masyarakat. Seperti diketahui, wilayah Aceh Tengah merupakan basis tempat lahir dan tempat latihan milisi terbesar di Aceh.
Beberapa Front Milisi
Selama berlangsungnya DM dan DS (sepanjang 2003-2005), beberapa front perlawanan rakyat atau milisi dibentuk di Aceh. Bahkan dari sebuah dokumen PDMD yang saya dapatkan terlihat bahwa pembentukan front ini hampir merata di seluruh Aceh dan dipimpin oleh tokoh dengan berbagai profesi, PNS, kontraktor, Anggota DPRD dan lain-lain. Agar menjadi pengetahuan bagi masyarakat umum dan Aceh Monitoring Mission (AMM), saya menulis beberapa lembaga Front yang sangat marak di Aceh, sehingga ada kebijakan pencegahan.
Di Aceh Besar dibentuk Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG) yang dipimpin oleh Suhaimi alias Iomi yang berprofesi PNS. Front ini mengklaim memiliki anggota lebih kurang 15.000 orang. Front yang dideklarasikan pada 24 Desember 2003 ini dipimpin oleh 22 orang jumlah pengurus. Lembaga ini aktif menggalang ikrar setia NKRI di berbagai tempat di wilayah Aceh Besar.
Sementara di Banda Aceh, front perlawanan rakyat berhimpun dalam Gerakan Penyelamat Aceh Republik Indonesia (GPA-RI) yang dipimpin oleh Agus seorang wiraswasta. Front ini memiliki anggota lebih kurang 10.000 orang dengan jumlah pengurus 14 orang. GPA-RI dibentuk pada 4 Januari 2004. Sabang yang sering dipandang sebagai wilayah yang sepi dari bau konflik juga dibentuk front milisi yang diberi nama Ormas Pembela NKRI (Ormas-NKRI) yang dipimpin oleh Adnan Hasyim, seorang PNS. Ormas-NKRI ini mengklaim punya jumlah pengikut 10 ribu orang dengan 37 orang pengurus. Front ini dibentuk pada 7 Februari 2004.
Di Pidie front perlawanan itu menamakan diri Geurakan Rakyat Anti Separatis Aceh (GEURASA) yang dipimpin oleh seorang anggota DPRD Pidie, Zulkifli Gede. GEURASA memiliki jumlah simpatisan 15 ribu orang yang tersebar di berbagai kecamatan dan kampung. Lembaga ini dibentuk pada 18 Desember 2003 ini memiliki 38 orang pengurus.
Di Kabupaten Bireuen juga dibentuk front perlawanan yang diberinama Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG). Front ini dipimpin oleh seorang kontraktor, Sofyan Ali atau lebih dikenal dengan Yan PT. Kelompok Yan PT ini yang berdiri pada 1 Oktober 2003 mengklaim punya basis massa 10 ribu orang dengan jumlah pengurus inti 20 orang. Selain sebagai pemimpin FPSG, Yan PT dikenal sebagai tokoh kelompok perlawanan GAM seluruh Aceh.
Di Aceh Utara front itu diberinama Benteng Rakyat Anti Separatis (BERANTAS) yang dipimpin oleh M Satria Insan Kamil, anggota PKPI, dan memiliki jumlah simpatisan 10 ribu orang. BERANTAS dibentuk pada tanggal 12 November 2003 di Lhokseumawe.
Di Kabupaten Aceh Tengah ada Gerakan Perlawanan Separatis GAM (FPSG) di bawah pimpinan Syukur Khobat, dosen dan anggota DPRD Aceh Tengah. Sementara di Kabupaten Bener Meriah dikenal dengan Persatuan Perlawanan Rakyat Merah Putih (FPRMP) yang dipimpin oleh H. Misriady MS, anggota PKPI. Nama Misriady mencuat ke permukaan ketika terjadi demontrasi besar-besaran menentang JSC di Aceh Tengah, dan berbuntuk pada pembakaran kantor JSC tersebut. Di dua Kabupaten ini, gerakan perlawanan itu mendapat dukungan penuh dari Ir Tagore, anggota DPRD Aceh Tengah, yang juga punya andil dalam aksi pembakaran kantor JSC.
Lembaga serupa masih banyak lagi di Kabupaten lain dan tidak mungkin ditulis semuanya. Keberadaan mereka di bawah koordinasi Kodim setempat. Karena itu sebagian dari anggota front itu mendapatkan senjata dari aparat keamanan. Malah di akhir-akhir Darurat Militer, aksi mereka kian gencar mencari anggota GAM. Mereka digunakan sebagai tameng dalam pencarian anggota GAM.
Milisi Ancaman Perdamaian?
Ketika kondisi berbalik, tentunya keberadaan mereka juga patut dipertanyakan. Apalagi keberadaan mereka sudah merata di seluruh Aceh dan memiliki persenjataan, tentu sangat potensial untuk merusak citra perdamaian yang mulai bersemi di Aceh.
Dalam nota kesepahaman Pengaturan Keamanan yang disepakati oleh RI, GAM dan AMM tidak disebutkan secara jelas tindakan apa yang harus diambil berkaitan dengan keberadaan para milisi tersebut. Hanya saja, dalam salah satu butir disebutkan bahwa Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.
Karena itu AMM perlu membuat aturan khusus untuk menetralisir front-front perlawanan rakyat itu yang marak ketika Aceh masih berstatus DM dan DS. Pemda, DPRD dan TNI/Polri harus menghentikan dana melalui APBD dan fasilitas lainnya kepada mereka dan plot dana yang selama ini diberikan kepada mereka dapat dialihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan.
Jika tidak, keberadaan mereka akan meresahkan masyarakat. Aksi kriminal mereka bisa saja dengan mengatasnamakan kelompok lain dengan tujuan memperburuk keadaan. Pengalaman seperti itu sudah pernah ada di hadapan kita. Karenanya perlu segera dipecahkan.
Jangan sampai umur perdamaian Aceh yang baru seumur jagung bisa berantakan jika keberadaan milisi di Aceh tidak segera dilucuti dan dibubarkan. Keberadaan front-front itu juga tidak lagi relevan dengan semangat perdamaian sekarang ini.
Sebab, jika keberadaan milisi yang selama DM dan DS begitu perkasa dan sangat berkuasa tidak ikut dilucuti akan mengundang masalah di kemudian hari. Kekuatan milisi potensial merobek kesepakatan Helsinki. Contoh nyata untuk itu dapat dilihat, bagaimana kekuatan milisi menghancurkan CoHA dalam bentuk show of force menolak keberadaan Joint Security Committee (JSC) dan pengrusakan segala fasilitasnya. Bukan tidak mungkin, MoU juga bisa terancam dengan ulah para milisi itu, misalnya, dalam bentuk mobilisasi masyarakat agar menolak MoU.
Karena penandatanganan MoU sendiri banyak melahirkan protes-protes baik di tingkat pusat oleh gerakan PDI-P maupun di Aceh yang dimotori oleh para milisi. Jika sekarang sepertinya semua pihak menerima Helsinki, maka itu hanyak bentuk kecenderungan ikut pendapat umum dan keinginan internasional. Jadi hanya sebatas euphoria saja. Dan euphoria itu biasanya tidak bertahan lama. Apalagi, tidak seluruh elemen bisa menerima MoU. TNI sendiri sebelumnya juga terkesan tidak bisa menerima perjanjian Helsinki. Makanya, potensi-potensi ke arah itu mesti dihambat agar perdamaian di Aceh tetap terjaga.[]
Tags:
Artikel