Menjelang Helsinki IV: Membebaskan Aceh dari Kondisi Darurat

Beberapa peristiwa penting terkait Aceh akan terjadi di hari-hari mendatang: mulai rekonstruksi dan rehabilitasi, berakhirnya perpanjangan status darurat sipil 19 Mei sampai pertemuan Helsinki IV 25-31 Mei 2005.

Sebagaimana dimaklumi, rekonstruksi Aceh telah dimulai beberapa hari lalu. Seremoninya ditandai dengan pelepasan burung merpati putih oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab dan beberapa pejabat terkait. Proses rekonstruksi dilangsungkan, meski banyak mengundang pro-kontra dari berbagai kalangan.

Sementara itu, berakhirnya status darurat sipil (DS) yang sudah berlangsung setahun—rencananya akan diturunkan menjadi tertib sipil—ikut memarakkan proses rekonstruksi yang sedang berjalan itu. Banyak pihak menilai, kondisi darurat tidak kondusif bagi pelaksanaan rekonstruksi Aceh. Karena itu, Menteri Pertahanan RI, Widodo AS mengemukakan darurat sipil akan dicabut, dan status Aceh akan dikembalikan ke kondisi normal. Meski demikian, operasi militer tetap akan dijalankan di Aceh.

Dalam pada itu, pertemuan Helsinki IV akan berlangsung pada 25-31 Mei nanti. Pertemuan tersebut diharapkan dapat memberi jalan bagi terwujudnya perdamaian di Aceh. Pasalnya, pertemuan akan mendengarkan jawaban Pemerintah Indonesia atas proposal yang diajukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada pertemuan sebelumnya. Ada kemungkinan pertemuan itu melahirkan kesepakatan, misalnya dilakukan gencatan senjata dan dipenuhinya beberapa permintaan GAM seperti hak memiliki bendera sendiri, lagu kebangsaan dan pemerintahan sendiri (pemerintahan di tingkat desa), dan beberapa permintaan lainnya. Jika itu terjadi berarti suatu era baru sedang terjadi di Aceh.

Namun, kemungkinan ‘baik’ itu menghadapi kendala dan tantangan. Seperti dilaporkan RRI Online (12/05), Kapolda Aceh, Bachrumsyah Kasman sudah mengintruksikan kepada Kapolres dan Kapolsek di seluruh Aceh untuk memantau pergerakan aktivis yang selama berlangsungnya darurat militer dan sipil bersembunyi. Kapolda mensinyalir, para aktivis itu sudah mulai memasuki Aceh dan beraktivitas di beberapa LSM lokal dan asing.

Operasi Militer akan tetap dijalankan oleh TNI/Polri sekalipun status Darurat Sipil sudah berakhir (dicabut). Seperti diungkapkan oleh Panglima TNI Endriartono Sutarto, status Aceh tidak berpengaruh pada operasi keamanan. Pernyataan ini merupakan preseden buruk bagi proses rekonstruksi Aceh, dus terhadap perundingan Helsinki IV nanti. Pernyataan Sutarto tersebut menjadi isyarat betapa pertarungan di internal Pemerintah Indonesia menguat. Tajamnya friksi di tubuh Pemerintah Indonesia ini menjadi taruhan bagi upaya perwujudan perdamaian di Aceh.

Tantangan
Berakhirnya status darurat sipil harus menjadi momen berakhirnya kondisi darurat di Aceh (khususnya darurat keamanan). Kekuatan TNI/Polri yang selama ini menjadi pelaksana operasi keamanan di Aceh harus dikurangi secara signifikan. Kekuatan militer harus dikembalikan seperti dalam kondisi normal. Operasi keamanan dikurangi. Dalam arti pasukan non-organik/BKO harus ditarik dari Aceh. Kendali keamanan Aceh harus dikembalikan kepada kepolisian. Sementara Brimob yang selama ini menjadi kekuatan tempur dikembalikan untuk tugas-tugas polisional biasa.

Penulis berpandangan, kehadiran militer (TNI) tak pernah menjadi solusi untuk Aceh. Karena militer juga bagian dari problem berlarutnya kondisi Aceh. Hadirnya militer dalam jumlah besar ke Aceh tak akan berpengaruh pada membaiknya kondisi Aceh, meski sering diungkapkan bahwa milter ke sana untuk melindungi rakyat Aceh. Penulis tak pernah menangkap kesan, bahwa rakyat Aceh merasa terlindungi dengan kehadiran militer di sana. Atas pemikiran inilah, dengan beberapa teman, kami mendirikan Himpunan Aktivis Antimiliterisme (HANTAM) tiga tahun silam, sebagai bentuk perlawanan terhadap berbagai kebijakan dan opsi militer dalam hal penyelesaian Aceh.

Meski status darurat sipil berakhir, tidak serta merta menjadi jaminan bahwa operasi keamanan juga berakhir di Aceh, mengingat kuatnya ‘birahi’ perang yang masih dipendam kalangan TNI. Kenyataan ini terlihat dari sikap TNI yang tidak rela kehilangan lahannya di Aceh, baik sebagai lahan bisnis, mencari popularitas atau karir (kenaikan pangkat dan promosi jabatan).

Karena itu, perubahan status dari Darurat Sipil menjadi Tertib Sipil tidak memberikan banyak makna terhadap Aceh jika kekuatan TNI/Polri masih menguat di sana (belum dikurangi secara signifikan, red). Perubahan itu hanyalah untuk menghilangkan kesan darurat saja, sehingga rekonstruksi bisa dijalankan, meski di balik itu operasi keamana tetap berjalan. Implikasi status darurat “terselubung” ini tetap menguntungkan mereka (TNI). Pernyataan Panglima TNI harus dilihat dalam konteks ini.

Membebaskan Aceh dari Darurat
Kebijakan mempertahankan kekuatan TNI dan operasi keamanan di Aceh, juga akan berpengaruh pada perundingan di Helsinki akhir Mei ini. Hal tersebut bukan hanya bentuk ketidakrelaan pihak militer terhadap perundingan, melainkan juga sebagai isyarat bahwa perundingan Helsinki—jika berhasil membuat beberapa kesepakatan, seperti gencatan senjata—akan mengalami kegagalan. Juga semakin menegaskan kuatnya friksi di tubuh pemerintah Indonesia.

Apa yang saya takutkan ini menjadi sempurna ketika dikaitkan dengan berbagai kejadian belakangan ini. Intensitas dan eskalasi kontak senjata antara TNI vs GAM terus meningkat. Yang terakhir dan menyita banyak perhatian adalah apa yang terjadi di Aceh Utara, yang menewaskan seorang bocah dan seorang warga. Padahal, Helsinki III memuat beberapa komitmen, meski bukan kesepakatan, seperti keharusan kedua belah pihak mengontrol pasukannya di lapangan.

Hal ini tidak terwujud. Kedua belah tidak menunjukkan isyarat positif bagi masyarakat Aceh. Terlihat pascapertemuan Helsinki III, kondisi keamanan Aceh tak kunjung membaik, untuk tidak mengatakan semakin memburuk. Kejadian-kejadian ini, menjadi taruhan bagi sukses-tidaknya pertemuan Helsinki mendatang. Jika masing-masing pihak tidak bisa mengontrol pasukannya di lapangan, dipastikan Pertemuan Helsinki IV tidak memberikan banyak makna. Apalagi jika Helsinki tidak berhasil membuat kesepakatan-kesepakatan sebagai terobosan pemulihan Aceh. Dapat dipasikan Aceh akan semakin gelap oleh asap yang dihembuskan ujung senapan para pihak!

Karena itulah, kita perlu mendorong agar perubahan status Aceh dan pertemuan Helsinki IV dapat membuka jalan bagi upaya membebaskan Aceh dari berbagai atribut darurat: darurat sipil, darurat keamanan, darurat kemanusiaan dan entah darurat apalagi yang tidak kita ketahui. Tujuan kita hanya satu agar rakyat Aceh dapat kembali tersenyum dan optimis, sehingga masa depan mereka akan cerah. [A]

*) Seorang warga Aceh.
sumber www.acehkita.com (16 Mei 2005)

Post a Comment

Previous Post Next Post