Nessen dan Nurani Seorang Jurnalis

Suatu hari di tahun 2002, seorang pria bule singgah di Kantor Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh. Postur tubuhnya tinggi seperti kebanyakan pria bule, namun sedikit kurus. Rambutnya, acak-acakan. Di bahunya ada tas ransel, lengkap dengan peralatan kerja seperti camera dan handycam. Wajahnya pucat, kelihatan sangat lelah. Dialah William Arthur Nessen. 

Hari itu, dia tak datang sendiri, tapi bersama Shadia Marhaban. Wanita mungil ini adalah aktivis SIRA, bertugas sebagai international affairs (duta keliling). Seperti tamu-tamu lain, keduanya dijamu secara sederhana.

Di kantor SIRA, pria jangkung ini tak henti-hentinya memandang poster, gambar dan tulisan-tulisan yang ditempel di dinding kantor. Dengan lincah, dia memainkan kamera di tangannya, memotret apa saja. Dia seperti hendak mengabadikan kondisi kantor lembaga yang memperjuangkan referendum untuk Aceh itu. Dia juga gunakan waktu untuk beristirahat dari perjalanan jauh.

Kedatangannya hari itu ke kantor SIRA bukan semata-mata untuk istirahat dari perjalanan jauh. Nessen yang di kalangan GAM disapa Abu Willy juga hendak memperlihatkan hasil liputannya di lapangan. Ya…dia dan Shadia baru saja pulang dari Cot Trieng, Aceh Utara. 


Begitu mendengar kata Cot Trieng disebut, aktivis SIRA tersentak, dan setengah tak percaya. Banyak dari mereka penasaran. Soalnya, saat itu Cot Trieng sedang dikepung oleh ribuan pasukan TNI. Tak sembarang orang orang bisa masuk ke sana. Kini, ada orang bilang baru saja pulang dari Cot Trieng. Tentu saja aneh.

Lalu, keduanya silih berganti bercerita bagaimana bisa masuk ke Cot Trieng. Menurut mereka, Bambang Darmono, saat itu sebagai Panglima Komandan Operasi TNI (Pang Koops TNI) berjasa membuka akses untuk mereka.  Kepada Bambang, Nessen sempat berbohong. Soalnya, William datang bukan sendiri ke Cot Trieng, tapi bersama Shadia Marhaban.

Baca juga Cerita William Nessen Belum Selesai
Status William tidak begitu bermasalah, karena jurnalis. Warga Amerika lagi. Sementara Shadia Marhaban, dia bekerja untuk SIRA. Kehadiran dia di sana tentu saja berbahaya, tak hanya untuk dia tapi juga William. Tapi, saat memperkenalkan diri, Shadia mengaku bernama Kristin dari Timor Barat (Attambua). Tak hanya itu, Shadia sempat mengaku keturunan Portugal.

"Saya tipu Bambang dengan mengatakan keturunan Portugal," kata Shadia. Kepada Bambang, Shadia juga bilang sebagai penerjemah.

Ternyata berhasil. Malah mereka diperlakukan sangat istimewa. Keduanya diajak keliling oleh Bambang Darmono dengan Helikopter TNI. Mereka dibawa untuk melihat posisi-posisi TNI di hutan-hutan Aceh Utara dan Aceh Timur. Mereka terlihat sangat akrab. Sesekali bahkan bercanda. Semua itu direkam oleh Nessen. Termasuk kondisi pasukan TNI di sebuah wilayah rahasia yang sedang kelaparan karena telat datang logistik.

Dalam video yang diperlihatkan Nessen, tampak anggota TNI berlarian berhamburan berebutan mengambil logistik yang baru saja diturunkan dari helikopter. Para prajurit terlihat begitu senang. Kepada Bambang, mereka mengaku sudah lama putus kiriman logistik. Setelah seluruh bantuan diturunkan, rombongan Bambang Darmono pun pergi.

Nessen mengatakan, gambar video itu belum dirapikan dengan diberi narasi. Dia memutarnya di kantor SIRA, karena aktivis ingin melihat kondisi terakhir di lapangan seperti apa. Tapi Nessen minta agar filmnya tidak dibocorkan dulu. Sebab, bisa berbahaya untuk keselamatan dirinya dan juga Shadia.

Itulah sedikit cerita William Nessen, seorang wartawan freelance Koran San Fransico Cronicle, kontributor untuk The Boston Globe, The Sydney Morning Herald dan Koran Inggris The Independent. Dia sangat dekat dengan para aktivis Aceh dan pejuang GAM, seperti Irwandi Yusuf, Sofyan Dawood, Muzakkir Manaf, Cut Nur Asikin (alm), Muhammad Nazar, Shadia, Musliadi (alm) dan lain-lain. Kisah dengan Musliadi bahkan banyak direkam dalam hasil liputannya.

Nessen sampai menangis saat mendengar Musliadi diculik oleh SGI (Satuan Gabung Intelijen) di kantor KAGEMPAR (Koalisi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Barat) saat sedang berbuka puasa pada akhir November 2002 atau seminggu sebelum CoHA ditandatangani. 

Info penculikan Musliadi membuatnya tak tenang. Dia sibuk mencari informasi ke kawan-kawan aktivis mencari tahu keberadaan Musliadi. Dia juga tanya kabar Musliadi ke berbagai pihak termasuk Polda, Kodam dan Koops TNI. Informasi yang didapat sangat tidak memuaskannya.

Nessen baru bisa melihat Musliadi tiga hari kemudian, 3 Desember 2002. Tapi Musliadi sudah tidak bernyawa. Mayatnya ditemukan di Lembah Seulawah, Aceh Besar. Ketika mendapati mayat Musliadi di ruang IGD RSUZA, Nessen sama sekali tak percaya kalau Musliadi sudah meninggal. Karena belum lama dia baru saja bertemu dengannya. Bahkan, Musliadi berjasa membantu proses masuknya dia dalam Islam dan menjadi saksi nikahnya dengan Shadia.

Di pemakaman Musliadi di Desa Lambarieh, Lambaro, Nessen tak henti-hentinya mengabadikan proses pemakaman Musliadi. Bahkan dia ikut memegang salah satu bagian dari keranda, meski tangan satunya lagi memegang kamera. Sejak dari pemandingan sampai pemakaman, tak pernah absen dari bidikan kamera Nessen. Baginya, Musliadi tak hanya sebagai teman, tapi juga saudara. Dalam satu film dokumenternya, Nessen menyebut Musliadi sebagai temannya, “Musliadi…my friend from Aceh”. Itulah jiwa kemanusiaannya sebagai seorang jurnalis. [Taufik Al Mubarak]

Sudah dimuat di halaman fokus Harian Aceh, Rabu 12 Februari 2008

Post a Comment

Previous Post Next Post