Namanya William Arthur Nessen. Ia tak asing lagi bagi masyarakat Aceh, khususnya di kalangan aktivis dan pejuang GAM. Tak hanya itu, nama Nessen juga sempat bikin geger bahkan sampai Jakarta. Pasalnya, saat pemerintah Indonesia mengumumkan darurat militer di Aceh tahun 2003 silam, Nessen berada di salah satu markas GAM di kawasan Nisam, Aceh Utara. Nessen terjebak di markas pejuang kemerdekaan Aceh tersebut karena tak bisa keluar lagi. Pasukan TNI sudah mengambil posisi tempur di basis-basis GAM.
Keberadaan Nessen di sarang GAM saat itu tentu sebuah dilemma. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengeluarkan pernyataan membatasi warga asing di Aceh. Warga Negara asing yang tidak memiliki kepentingan, dilarang memasuki wilayah darurat militer. Jika ingin bisa tinggal di Aceh harus melapor ke Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Tak hanya itu, mereka juga harus mengantongi izin dari Departeman Luar Negeri dan dari Menteri Kehakiman dan HAM.
Keberadaan Nessen di Aceh, apalagi di markas GAM merupakan kecolongan bagi TNI. Saat itu, Pemerintah Indonesia ingin menutup Aceh dari pantauan internasional. Posisi Nessen, tentu saja menguntungkan GAM secara psikologi, karena bisa menggunakan wartawan asing tersebut untuk melaporkan berbagai kejadian faktual di lapangan dari versi GAM. Pasalnya, GAM tak dapat berharap banyak kepada media lokal apalagi nasional. Sangat tidak mungkin. Media lokal dan juga nasional sudah diwanti-wanti untuk tidak memuat informasi yang disampaikan oleh GAM. Para wartawan yang meliput di Aceh diminta untuk patriotik dan nasionalis. Mereka bahkan dilatih khusus di Sanggabuana, Magelang, sebelum meliput ke Aceh.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah saat itu tak lain karena tidak mau peristiwa Timor Timur terulang. Jika wartawan asing tidak dibatasi, berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan di lapangan akan terekspose ke luar negeri. Posisi ini tentu saja menyulitkan TNI yang ingin menjaga citranya pasca pelanggaran HAM yang dilakukan di Timor Timur dulu. Tak hanya itu, TNI juga sangat takut, kalau seandainya saat menyerbu markas GAM sampai mencederai Nessen. Besar resiko yang harus ditanggung. Karena, bagaimana pun, Nessen adalah warga Negara Amerika.
“Mudah-mudahan saya sangat bisa menjamin keselamatannya. Namun, jika setelah tanggal 14 Juni 2003 pukul 18.00 tidak lapor ke pos TNI, harap jangan menyalahkan TNI jika TNI menyerbu basis GAM, dan Nessen terkena. Operasi harus jalan terus dan tidak batal hanya karena ada Nessen,” kata Bambang kepada wartawan saat itu. Bambang tentu tak ingin kasus salah tembak yang menimpa jurnalis RCTI, Ersa Siregar, terulang kembali.
Bagi Bambang Darmono, sosok Nessen bukan orang asing lagi bagi dirinya. Soalnya, saat pengepungan Cot Trieng, Bambang mengaku sudah pernah bertemu dengannya.
"Sebetulnya kalau betul orang itu Nessen, saya sempat mengenalnya ketika pengepungan di Cot Trieng dulu. Dia juga punya nomor telepon genggam saya. Tetapi, sampai hari ini dia tidak menghubungi saya dan saya tidak tahu dia di mana," katanya.
Bambang mengaku mengetahui keberadaan Nessen di Markas GAM setelah pasukan TNI dari Batalyon Infanteri 502 terlibat kontak tembak senjata dengan GAM di Desa Alue Papeun, Kecamatan Sawang. Saat itu, Pasukannya sempat melihat ada orang bule bersama GAM yang berjumlah sekitar 20 orang. Keberadaan itu diketahui karena beberapa peralatan kerjanya tertinggal, dan tidak sempat diambil lagi.
Itu cerita dulu tentang Nessen saat Aceh masih dibalut konflik. Lalu, bagaimana kabar Nessen sekarang? Apa kesibukan dia? Tidak banyak orang yang tahu pria yang pernah menikahi wanita Aceh, Shadia Marhaban. Namun, kemarin, lagi-lagi namanya menghiasi media. Nessen kembali masuk daftar cekal (cegah tangkal).
Seperti diberitakan harian ini, Dirjen Imigrasi RI sebenarnya mengeluarkan kebijakan cekal untuk William Nessen terhitung sejak 8 Februari 2008 lalu. Tapi, pihak Imigrasi Aceh tidak berani mengkarantina jurnalis AS ini karena mendapat jaminan dari Gubernur. Selain itu surat cekal juga baru diterima imigrasi Aceh pada Ahad (9/3) malam pukul 22.00 WIB. Sehingga tidak bisa langsung dideportasi.
Seperti diberitakan, William Nessen kembali masuk ke Aceh sejak Ahad (9/3) pukul 12.30 WIB dengan pesawat Air Asia. Kehadirannya ke Aceh atas undangan Gubernur. Nessen terkejut begitu mengetahui dirinya masuk daftar cekal.
“Saya tidak tahu kenapa dicekal. Perang sudah berhenti, kenapa mereka masih memerangi saya,” tandasnya heran. Saat masuk ke Aceh, lanjutnya, pihak imigrasi langsung mengeluarkan visa untuk dirinya selama berada di Banda Aceh.
Sebenarnya, kasus cekal bagi William Nessen bukan hal baru. Sebelumnya dia sempat beberapa kali masuk daftar cekal, seperti pada tanggal 19 April 2006. William yang datang dengan pesawat Air Asia AK 392 pagi dari Kuala Lumpur ditolak masuk ke Indonesia melalui pintu masuk Bandara Polonia Medan. Saat itu, Nessen heran, karena menurutnya, perlakuan cekal terhadap dirinya tidak punya alasan yang kuat.
“Mengapa saya dilarang masuk ke Indonesia, padahal petinggi GAM saat itu saja sudah boleh. Mengapa saya tidak boleh? Apa alasannya?” keluhnya seperti dikutip Harian Analisa (20/4/06).
Nessen tidak mengira, bahwa mengunjungi di masa damai seperti sekarang lebih sulit ketika saat konflik dulunya. Saat konflik, dia bisa setiap saat pulang pergi ke Aceh. Bahkan hasil kunjungan ke Aceh sudah banyak yang ia dokumentasikan dalam bentuk film seperti Black Road (Jalan Hitam). Alasan Nessen memilih judul itu untuk filmnya karena sangat terkesan dengan seseorang yang dibunuh persis di depan dia di Jalan Hitam. Entahlah, benar atau tidak, yang pasti film dokumenter yang dihasilkannya banyak berkisah tentang kehidupan orang Aceh, pasukan GAM, atau pengalaman dia serta sejumlah pendapat orang Aceh tentang sejarah negerinya.
Selasa siang (11/03), Nessen resmi dideportasi dari Aceh. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang mendampinginya ikut sedih. "Saya sedih. Pemerintah salah memahami ini. Hal ini (pencekalan) seperti tamparan dari pemerintah untuk saya secara pribadi," ujar Irwandi di hadapan wartawan sesaat sebelum Nessen dideportasi.
Kedatangan Nessen, sebut Irwandi, atas undangannya. Sebelum mengundang Nessen ke Aceh, dirinya terlebih dahulu melakukan pengecekan atas status Nessen. "Dia clean. Bebas dari cekal," ujarnya. Irwandi menyebutkan kedatangan Nessen untuk membantu pemerintahannya melakukan penjajakan eksport pinang ke India dan import gula dari India.
William Nessen mengaku sangat cinta Aceh. "Saya sebenarnya tidak mau meninggalkan Aceh. Karena saya cinta Aceh. Apapun saya lakukan untuk Aceh," katanya. Tapi, lanjutnya, Irwandi meminta dirinya pulang dulu. Irwandi akan membereskan status dirinya. "Ya saya pulang. Dia berjanji akan membicarakan pencekalan saya dengan presiden SBY, jadi saya ikuti saja," ujarnya dalam bahasa Indonesia yang kurang fasih.
Jika dulu saat konflik dia bisa memotret dan merekam apa saja, maka saat damai peluang itu seperti hilang. Karena setiap kali mau masuk ke Aceh, dia selalu dilarang. Padahal, banyak cerita tentang Aceh yang belum selesai dibuatnya. Dia juga belum sempat berkunjung ke makam kawannya, Musliadi. Kita yakin, ceritanya belum selesai. []
Keberadaan Nessen di sarang GAM saat itu tentu sebuah dilemma. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengeluarkan pernyataan membatasi warga asing di Aceh. Warga Negara asing yang tidak memiliki kepentingan, dilarang memasuki wilayah darurat militer. Jika ingin bisa tinggal di Aceh harus melapor ke Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Tak hanya itu, mereka juga harus mengantongi izin dari Departeman Luar Negeri dan dari Menteri Kehakiman dan HAM.
Keberadaan Nessen di Aceh, apalagi di markas GAM merupakan kecolongan bagi TNI. Saat itu, Pemerintah Indonesia ingin menutup Aceh dari pantauan internasional. Posisi Nessen, tentu saja menguntungkan GAM secara psikologi, karena bisa menggunakan wartawan asing tersebut untuk melaporkan berbagai kejadian faktual di lapangan dari versi GAM. Pasalnya, GAM tak dapat berharap banyak kepada media lokal apalagi nasional. Sangat tidak mungkin. Media lokal dan juga nasional sudah diwanti-wanti untuk tidak memuat informasi yang disampaikan oleh GAM. Para wartawan yang meliput di Aceh diminta untuk patriotik dan nasionalis. Mereka bahkan dilatih khusus di Sanggabuana, Magelang, sebelum meliput ke Aceh.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah saat itu tak lain karena tidak mau peristiwa Timor Timur terulang. Jika wartawan asing tidak dibatasi, berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan di lapangan akan terekspose ke luar negeri. Posisi ini tentu saja menyulitkan TNI yang ingin menjaga citranya pasca pelanggaran HAM yang dilakukan di Timor Timur dulu. Tak hanya itu, TNI juga sangat takut, kalau seandainya saat menyerbu markas GAM sampai mencederai Nessen. Besar resiko yang harus ditanggung. Karena, bagaimana pun, Nessen adalah warga Negara Amerika.
Baca juga: Nessen dan Nurani Seorang Jurnalis dan Ersa Beda dengan NessenKarena itu, baik pihak TNI maupun Pemerintah AS meminta agar Nessen segera keluar dari sarang GAM. Panglima Komando Operasi TNI saat itu Bambang Darmono sampai memberi tenggat waktu untuk Nessen untuk keluar dari markas GAM. TNI tidak bisa menjamin keselamatannya.
“Mudah-mudahan saya sangat bisa menjamin keselamatannya. Namun, jika setelah tanggal 14 Juni 2003 pukul 18.00 tidak lapor ke pos TNI, harap jangan menyalahkan TNI jika TNI menyerbu basis GAM, dan Nessen terkena. Operasi harus jalan terus dan tidak batal hanya karena ada Nessen,” kata Bambang kepada wartawan saat itu. Bambang tentu tak ingin kasus salah tembak yang menimpa jurnalis RCTI, Ersa Siregar, terulang kembali.
Bagi Bambang Darmono, sosok Nessen bukan orang asing lagi bagi dirinya. Soalnya, saat pengepungan Cot Trieng, Bambang mengaku sudah pernah bertemu dengannya.
"Sebetulnya kalau betul orang itu Nessen, saya sempat mengenalnya ketika pengepungan di Cot Trieng dulu. Dia juga punya nomor telepon genggam saya. Tetapi, sampai hari ini dia tidak menghubungi saya dan saya tidak tahu dia di mana," katanya.
Bambang mengaku mengetahui keberadaan Nessen di Markas GAM setelah pasukan TNI dari Batalyon Infanteri 502 terlibat kontak tembak senjata dengan GAM di Desa Alue Papeun, Kecamatan Sawang. Saat itu, Pasukannya sempat melihat ada orang bule bersama GAM yang berjumlah sekitar 20 orang. Keberadaan itu diketahui karena beberapa peralatan kerjanya tertinggal, dan tidak sempat diambil lagi.
Itu cerita dulu tentang Nessen saat Aceh masih dibalut konflik. Lalu, bagaimana kabar Nessen sekarang? Apa kesibukan dia? Tidak banyak orang yang tahu pria yang pernah menikahi wanita Aceh, Shadia Marhaban. Namun, kemarin, lagi-lagi namanya menghiasi media. Nessen kembali masuk daftar cekal (cegah tangkal).
Seperti diberitakan harian ini, Dirjen Imigrasi RI sebenarnya mengeluarkan kebijakan cekal untuk William Nessen terhitung sejak 8 Februari 2008 lalu. Tapi, pihak Imigrasi Aceh tidak berani mengkarantina jurnalis AS ini karena mendapat jaminan dari Gubernur. Selain itu surat cekal juga baru diterima imigrasi Aceh pada Ahad (9/3) malam pukul 22.00 WIB. Sehingga tidak bisa langsung dideportasi.
Seperti diberitakan, William Nessen kembali masuk ke Aceh sejak Ahad (9/3) pukul 12.30 WIB dengan pesawat Air Asia. Kehadirannya ke Aceh atas undangan Gubernur. Nessen terkejut begitu mengetahui dirinya masuk daftar cekal.
“Saya tidak tahu kenapa dicekal. Perang sudah berhenti, kenapa mereka masih memerangi saya,” tandasnya heran. Saat masuk ke Aceh, lanjutnya, pihak imigrasi langsung mengeluarkan visa untuk dirinya selama berada di Banda Aceh.
Sebenarnya, kasus cekal bagi William Nessen bukan hal baru. Sebelumnya dia sempat beberapa kali masuk daftar cekal, seperti pada tanggal 19 April 2006. William yang datang dengan pesawat Air Asia AK 392 pagi dari Kuala Lumpur ditolak masuk ke Indonesia melalui pintu masuk Bandara Polonia Medan. Saat itu, Nessen heran, karena menurutnya, perlakuan cekal terhadap dirinya tidak punya alasan yang kuat.
“Mengapa saya dilarang masuk ke Indonesia, padahal petinggi GAM saat itu saja sudah boleh. Mengapa saya tidak boleh? Apa alasannya?” keluhnya seperti dikutip Harian Analisa (20/4/06).
Nessen tidak mengira, bahwa mengunjungi di masa damai seperti sekarang lebih sulit ketika saat konflik dulunya. Saat konflik, dia bisa setiap saat pulang pergi ke Aceh. Bahkan hasil kunjungan ke Aceh sudah banyak yang ia dokumentasikan dalam bentuk film seperti Black Road (Jalan Hitam). Alasan Nessen memilih judul itu untuk filmnya karena sangat terkesan dengan seseorang yang dibunuh persis di depan dia di Jalan Hitam. Entahlah, benar atau tidak, yang pasti film dokumenter yang dihasilkannya banyak berkisah tentang kehidupan orang Aceh, pasukan GAM, atau pengalaman dia serta sejumlah pendapat orang Aceh tentang sejarah negerinya.
Selasa siang (11/03), Nessen resmi dideportasi dari Aceh. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang mendampinginya ikut sedih. "Saya sedih. Pemerintah salah memahami ini. Hal ini (pencekalan) seperti tamparan dari pemerintah untuk saya secara pribadi," ujar Irwandi di hadapan wartawan sesaat sebelum Nessen dideportasi.
Kedatangan Nessen, sebut Irwandi, atas undangannya. Sebelum mengundang Nessen ke Aceh, dirinya terlebih dahulu melakukan pengecekan atas status Nessen. "Dia clean. Bebas dari cekal," ujarnya. Irwandi menyebutkan kedatangan Nessen untuk membantu pemerintahannya melakukan penjajakan eksport pinang ke India dan import gula dari India.
William Nessen mengaku sangat cinta Aceh. "Saya sebenarnya tidak mau meninggalkan Aceh. Karena saya cinta Aceh. Apapun saya lakukan untuk Aceh," katanya. Tapi, lanjutnya, Irwandi meminta dirinya pulang dulu. Irwandi akan membereskan status dirinya. "Ya saya pulang. Dia berjanji akan membicarakan pencekalan saya dengan presiden SBY, jadi saya ikuti saja," ujarnya dalam bahasa Indonesia yang kurang fasih.
Jika dulu saat konflik dia bisa memotret dan merekam apa saja, maka saat damai peluang itu seperti hilang. Karena setiap kali mau masuk ke Aceh, dia selalu dilarang. Padahal, banyak cerita tentang Aceh yang belum selesai dibuatnya. Dia juga belum sempat berkunjung ke makam kawannya, Musliadi. Kita yakin, ceritanya belum selesai. []
Sudah dimuat di Halaman Fokus Harian Aceh, Rabu 12 Februari 2008
Tags:
Artikel