Pungo

Pungo. Saya yakin, orang Aceh sangat paham dan mengerti tentang arti dari kata Pungo ini. Malah, saking Pungo-nya, orang Belanda memberi label untuk orang Aceh dengan istilah Aceh Moorden yang sering diterjemahkan secara bebas sebagai Aceh Pungo. Kata Pungo, kalau diterjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia berarti gila, tidak waras, atau mengalami penyakit saraf.

Bagi orang Aceh sendiri, sebutan Pungo tak hanya karena seseorang terganggu saraf, melainkan juga melihat perilakunya. Misalnya, orang tua yang terkenal sangat kejam dan suka memukul anaknya, sering diberi label oleh tetangga dengan istilah ureung syik pungo bui. Istilah pungo juga diberikan oleh masyarakat terhadap suatu perbuatan yang mengganggu ketentraman orang lain.

Contohnya, jika ada anak muda yang membawa sepeda motor dengan kencang di jalan Gampong, juga disebut pungo. “Jeh si Gam pungo, di gampong pih balap Honda teuga-teuga,” begitu teriak orang Gampong yang sedang duduk di bale jaga. Malah, untuk anak muda seperti ini, sering didoakan beubagah mate (semoga cepat mati). “Nyan misue cot reuda u langet, bek tatem peubeudoh, bah bagah wabah kireuh.”

Sementara untuk orang yang benar-benar terganggu sarafnya, orang Gampong hanya mengatakan, “Si Gam nyan saket ulee.” Jika saket-nya sudah pada taraf yang cukup parah, orang tersebut biasanya di-noek (dipasung). Itu pun jika perilakunya sudah sangat mengganggu warga kampung.

Tapi, sekilas memang benar, kalau orang Aceh itu pungo. Kita boleh sepakat dengan julukan yang diberikan orang Belanda ini. Dulu, katanya, label Pungo untuk orang Aceh diberikan karena satu orang Aceh berani menyerang konvoi atau pasukan Belanda yang sedang operasi. Ada juga yang mengatakan, orang Belanda memberi label pungo untuk orang Aceh, karena ketika pasukan Belanda sedang jalan-jalan melihat orang Aceh naik pohon kelapa sambil mengikat kakinya.

Orang Belanda sebenarnya pungo juga, karena tidak tahu bahwa yang digunakan orang Aceh untuk mengikat kakinya adalah singkreut atau seuringkuet atau tali yang dipergunakan untuk menahan kaki ketika sedang memanjat kelapa. Tapi, apapun itu, sebenarnya pelabelan Aceh Moorden kepada orang Aceh tak terlepas karena terbatasnya pemahaman mereka, terutama tentang perilaku orang Aceh. Orang Eropa, dan khususnya Belanda, tak pernah memiliki pengalaman atau menghadapi pejuang segigih orang Aceh. Mereka berani mati dan lalu menganggapnya syahid jika sudah membunuh seorang kaphe. Untuk menyebut keberanian di atas rata-rata itu, orang Belanda tak punya kosa-kata yang cukup. Lalu, mereka menjuluki orang Aceh itu Pungo karena kekagumannya.

Sekarang, ketika sedang musim tender, Saya mendapati banyak orang tergila-gila ingin naik mobil mewah merek Harrier. Keinginan tersebut lebih tinggi dari tahun lalu, yang hanya ingin bisa memiliki mobil Honda CRV atau New CRV. Pantas, jika ada orang di kampung saya menyebut untuk orang-orang ini dengan istilah Pungo Moto.

Tentang keinginan ini, Saya jadi teringat saat-saat awal reformasi. Saat itu, orang Aceh hanya meminta pelanggar HAM diadili, tetapi tak juga digubris oleh pemerintah pusat. Lalu, orang Aceh menaikkan permintaannya, dengan meminta agar Aceh diberikan perimbangan keuangan, 70% untuk Aceh dan 30% untuk pusat, serta minta Negara federal. Permintaan ini juga tidak digubris, lalu Aceh meminta Referendum. Tuntutan ini juga tak kunjung diberikan. Karena marah, orang Aceh serentak meminta Merdeka.

Dari sinilah terlihat, bahwa orang Aceh dalam meminta sangat Pungo, dan selalu menaikkan penawaran. Bagi orang Aceh, itulah gensi. Tetapi, ternyata Indonesia lebih bisa pungo lagi, orang Aceh minta Merdeka, yang diberikan malah darurat militer! Biet-biet pungo. (HA 170608)

Post a Comment

Previous Post Next Post